Seperti saya jelaskan pada postingan sebelumnya, pada masa awal
perkembangan Islam, "ulama" merupakan "istilah generik" untuk para
ilmuwan, baik ilmuwan ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan /
keislaman. Kata ini bukanlah sebuah "gelar akademik" yang dicapai
melalui sebuah pendidikan tertentu. Dulu umat Islam belum mempunyai
universitas. Yang ada adalah madrasah. Itu pun baru muncul pada abad
ke-11 di era Dinasti Saljuq untuk menandingi sistem pendidikan Syiah
sekaligus membendung gerakan Syiah yang dipelopori oleh Dinasti
Fatimiyah di Mesir.
Sebelum pendirian madrasah ini, umat Islam
belajar ilmu apa saja secara informal di masjid, di rumah-rumah para
shaikh, atau di perpustakaan. Meski belajar informal, ada cukup banyak
yang serius yang akhirnya menjadi ilmuwan (ulama) yang menguasai
berbagai ilmu pengetahuan dan menulis banyak kitab (buku) di berbagai
bidang, tidak hanya di bidang ilmu-ilmu keislaman saja tetapi juga
ilmu-ilmu umum. Dulu tidak ada perbedaan antara "ilmu kapir" dan "ilmu
agama". Semua ilmu pengetahuan itu dianggap sebagai "Islami" atau
"religius" karena bersumber dari Zat yang sama, yaitu Tuhan.
Singkatnya, kata "ulama" ini merupakan sebutan umum dan biasa saja yang
diberikan oleh publik atau masyarakat kepada orang-orang tertentu yang
dianggap telah menguasai ilmu pengetahuan yang ditujukkan dengan
karya-karya maupun kepandaian mereka dalam mengajar para murid mereka.
"Ulama" bukanlah gelar formal yang diberikan pemerintah atau kerajaan
misalnya. Kualifikasi seorang ulama adalah kedalaman penguasaan atas
ilmu pengetahuan bukan sekedar bisa mengaji Al-Qur'an dan ceramah
pletar-pletor kayak "bakul obat". Yang terakhir ini namanya "dai" atau
"mubalig".
Dulu, ulama juga tidak ada kaitannya dengan pemberian
fatwa. Ulama itu urusannya dengan ilmu pengetahuan sebagaimana seorang
ilmuwan dewasa ini. Tukang memberi "fatwa" itu namanya "mufti" atau
"muftu" dalam Bahasa Turki. Mufti ini biasanya dilakukan oleh "faqih"
atau ahli hukum Islam (jamak: fuqaha).
Fatwa itu biasa saja
seperti sebuah pendapat tentang masalah sosial-keagamaan, tidak memiliki
"ikatan hukum" dan tidak mengikat publik. Setiap faqih bisa
mengeluarkan fatwa. Namanya saja pendapat. Nah, kalau sebuah fatwa yang
semula merupakan pendapat individual para fuqaha itu kemudian "dinaikkan
statusnya" menjadi sebuah keputusan hukum, baru dapat "mengikat" publik
Muslim. Yang bertugas "melegalkan" sebuah fatwa itu bernama qadi atau
"hakim syariat". Karena qadi ini adalah "pegawai kerajaan" maka tidak
jarang keputusan-keputusan hukum itu dilakukan atas keinginan rezim
penguasa politik.
Beda dengan ulama, qadi ini "jabatan" yang
diberikan oleh khalifah, dan bersifat hierarkhi. Qadi yang paling tinggi
tingkatannya bernama "qadi qudlat" atau Hakim Agung yang selalu
berpartner dengan "raja" atau apapun namanya. Struktur Hakim Agung ini
kelak, di zaman Dinasti Turki Usmani (Ottoman) di abad ke-13/14, dihapus
diganti dengan Shaikhul Islam. Rezim Turki Usmani juga melakukan
perombakan besar-besaran mengenai struktur atau lembaga keulamaan ini
(bersambung).Lanjutan dari Ulama dalam Sejarah Islam
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment