Ini lanjutan “kuliah virtual” tentang pluralisme supaya lebih “ngeh”
(jelas dan paham) karena saya perhatikan masih ada sebagian yang belum
“ngeh” dengan penjelasanku tentang pluralisme kemarin. Saya sarankan
bagi Anda yang belum membaca postinganku kali ini untuk membaca
postingangku sebelumnya (“Antara Pluralitas dan Pluralisme”) supaya
nyambung.
Seperti saya katakan sebelumnya, jika pluralitas atau
keragaman adalah sesuatu yang bersifat alami (natural) sebagai anugerah,
rahmat, atau pemberian Tuhan, maka pluralisme merupakan “konstruksi
sosial” umat manusia untuk menyikapi fakta-fakta pluralitas tadi agar
tetap tumbuh menjadi plural dan tidak berubah menjadi “bencana
kemanusiaan”. Pluralitas harus dipandang sebagai sebuah “nikmat Tuhan”
yang harus disyukuri, dirawat, dan dikelola dengan baik agar tidak
berubah menjadi “bencana kemanusiaan” tadi.
Sayangnya, di
masyarakat kita—dari dulu hingga sekarang—masih cukup banyak kelompok
agama, etnis, suku, budaya, dlsb yang memandang pluralitas agama, etnis,
suku, budaya, dlsb sebagai “malapetaka” dan “ancaman” terhadap
eksistensi kelompok mereka. Karena overdosis kekhawatiran inilah,
sejumlah kelompok melakukan berbagai macam cara untuk menolak pluralitas
tadi dan pada saat yang sama memperkenalkan dan memaksakan
“singularitas” alias penyeragaman agama, suku, etnis, budaya, dlsb yang
dilakukan atas nama dogma, ideologi, negara, mazhab, supremasi etnis,
dlsb.
Pluralisme, termasuk pluralisme agama, susah dan
tidak akan terwujud di masyarakat tanpa adanya upaya serius dan kerja
keras untuk mewujudkannya. Pluralisme sulit terwujud jika kita
memaksakan klaim-klaim kebenaran dan superioritas atas kelompok dan umat
lain. Pluralisme juga susah terlaksana tanpa adanya komitmen yang tulus
dan dialog yang sehat untuk mengerti dan memahami “yang lain”.
Kita kadang gampang sekali menghakimi sesuatu atau properti milik agama,
sekte, atau mazhab lain sebagai buruk, bengkok, sesat, dlsb tanpa
berusaha untuk belajar dan mencari penjelasan dari kelompok yang mereka
hakimi itu. Karena tidak ada semangat untuk belajar dari “yang lain”
serta nihilnya komitmen untuk memahami dan mengerti “yang lain”, maka
yang terjadi adalah kesalahpahaman sehingga gampang mengolok-olok
kelompok lain dan menuduh pihak lain keliru atau “salah jalan”. Fenomena
ini terjadi di semua agama, bukan hanya Islam atau Kristen saja.
Jadi, pluralisme baru akan terwujud jika masing-masing kelompok
bersedia untuk “mendengar” pihak lain dan menurunkan ego dan rasa
superioritas untuk kemudian bersedia belajar dari dan bergumul dengan
“yang lain” itu. Tanpa niatan tulus untuk belajar, bergumul, dan
berdialog ini, maka pluralitas akan tetap menjadi pluralitas tidak akan
menjadi pluralisme.
Misalnya, di beberapa kota di Indonesia,
kita melihat ada sejumlah bangunan tempat ibadah dari berbagai kelompok
agama dan sekte berdiri berjejer-jejer berdekatan. Atau di Maryland,
Amerika Serikat, terdapat berbagai tempat ibadah yang berdekatan seperti
gereja Katolik Vietnam, kuil Budha Kamboja, gereja Ortodoks Ukraina,
Muslim Community Center, gereja Disciples of Christ, kuil Hindu Mandir
Mongolia, dll.
Semua ini adalah contoh dari “pluralitas” bukan
“pluralisme”. Tanpa adanya dialog intensif atau pergumulan terus-menerus
antara satu komunitas dengan lainnya, maka pluralitas itu tidak akan
menjelma menjadi pluralisme. Jadi, sekali lagi saya tegaskan, kata kunci
dari pluralisme adalah “pergumulan kreatif-intensif” terhadap fakta
pluralitas itu guna menciptakan apa yang disebut “masyarakat bersama”.
Dengan demikian, pluralisme itu sesuatu yang sangat positif yang
mestinya harus diupayakan, bukan malah dicaci-maki dan difatwa haram
(bersambung)
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment