Sebagian orang di Indonesia “khawatir” kalau kelompok “Islam garis
keras” atau kelompok “Islam ekstrim” akan berkembang biak karena “laku
di pasaran”. Tetapi menurutku kelompok ini tidak akan laku di “pasar
global” masyarakat Indonesia. Saya mengkaji berbagai perkembangan
kelompok ini di berbagai negara sejak negara-negara pecahan Uni Soviet
di Asia Tengah sampai negara-negara di kawasan Asia Seatan, Afrika,
Arab, dan Timur Tengah, mereka gagal “memasarkan” ide-ide keagamaan
mereka kepada masyarakat.
Ciri-ciri kelompok “Islam Sontoloyo”
(istilah ini dari Bung Karno) ini hobi menebarkan pandangan dan tindakan
intoleransi, anti-pluralitas, “takfiri” (gemar mengafir-sesatkan orang
atau kelompok lain), tidak ramah alias “mbesengut” dengan kelompok luar,
tertutup dalam pergaulan alias tidak mau membuka diri dengan dunia
luar, arogan alias seenak perutnya sendiri, dan juga gampang ngamuk.
Dikit-dikit marah, tersinggung, main pentungan. Silakan kenali ciri-ciri
mereka di lingkungan Anda masing-masing. Juga jangan lupa pesan “Bang
Napi”.
Di berbagai negara, pemerintah menumpas habis
kelompok-kelompok “tengil” pengganggu stabilitas politik, harmoni
sosial, dan perdamaian antar-umat manusia ini, sementara di
negara-negara lain, pemerintah melarang ormas “Islam garis keras” dan
terus diawasi aktivitas dan gerak-gerik kelompok ini.
Karena
tidak laku memasarkan ide-ide dan praktek keislaman yang mereka anut dan
percayai, maka mereka menggunakan cara-cara kekerasan: pemaksaan,
menakut-nakuti, sampai pada kekerasan fisik. Kalau laku kan gak perlu
pakai cara-cara kekerasan karena orang akan dengan suka rela memeluk
versi atau jenis keislaman yang mereka “pasarkan”. Dengan kata lain,
kekerasan bagi kelompok ini adalah akibat sekaligus strategi untuk
memasarkan “dagangan Islam” yang mereka tawarkan. Maka Anda jangan heran
kalau sejarah eksistensi kelompok “Islam garis keras” ini selalu
diiringi dengan kekerasan.
Kultur masyarakat Islam Indonesia itu
pada umumnya adalah “kultur Islam nominal” yang sangat fleksibel dalam
beragama dan berislam serta kurang begitu menyukai “ekstrimitas”
keagamaan. “Geografi kutural” Indonesia yang warna-warni, yang kontras
dengan kawasan Arab dan Timur Tengah, sangat mempengaruhi corak
keislaman dan keberislaman kaum Muslim disini. Budaya keislaman
Indonesia itu tidak dibentuk secara tiba-tiba tetapi melalui proses
sejarah yang begitu panjang. Karena itu sejak abad-abad silam, munculnya
aneka kelompok keislaman yang kaku-regeng kayak tiang listrik ini
selalu mendapatkan penolakan dan reaksi negatif masyarakat setempat.
Jangan melihat atau mengukur Islam di Indonesia dari yang tampak
hingar-bingar di tv-tv atau di titik-titik tertentu di sejumlah kota
besar. Tetapi tengoklah ke kota-kota kecil di berbagai daerah, ke
pinggiran-pinggiran kota, ke kampung-kampung, maka kita akan merasakan
Islam seperti apa yang didambakan oleh kaum Muslim di Indonesia.
Tidak seperti kelompok “Islam eskrim” eh “ekstrim” maksudku, yang hobi
berkoar-koar seperti ayam mau bertelur, kaum Muslim kebanyakan di
Indonesia itu lebih memilih diam dan fokus dengan aktivitas sehari-hari
ketimbang grudak-gruduk kesana-kemari. Meski begitu, mereka tahu mana
yang baik, mana yang buruk. Pada waktunya nanti mereka akan bersikap.
Terbukti setiap Pemilu, kaum Muslim kebanyakan tidak menggubris ajakan,
seruan, dan propaganda para elit “Islam garis keras” ini. Ya kan?
Kannn...
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment