Di kalangan umat Islam, sebutan atau panggilan untuk anak-cucu atau
keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Binti Nabi Muhammad itu
bermacam-macam. Di sebagian kawasan Arab Teluk (Saudi, Oman, Qatar,
Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait), mereka dipanggil "syarif" atau
"sayyid" untuk laki-laki, "syarifah" atau "sayyidah" untuk perempuan.
Tetapi sebutan ini hanya dikenal di kalangan atau kelompok Islam
tertentu saja karena pengaruh "kaum sadah" (jamak dari kata "sayyid")
atau "aysraf" (jamak dari kata "syarif") sangat minim di kawasan ini.
Tidak seperti di Yaman selatan atau di Indonesia, dimana kaum sadah
sangat dihormati oleh masyarakat Muslim setempat sehingga mendorong
munculnya sejumlah "habib palsu" supaya naik kelas dikit (seperti
fenomena "habib bibza hat" itu he he), di Arab Teluk tidak demikian
karena memang bukan kelompok Arab sadah yang memimpin, mengendalikan,
dan menguasai masalah politik-pemerintahan, ekonomi, sosial-budaya,
maupun wacana keagamaan dan dunia pendidikan.
Beberapa kali saya
menyinggung soal ini ke murid-muridku, tetapi respons mereka
biasa-biasa saja hambar tak bergaram dan tak bersambal. Bahkan banyak
juga yang tidak paham dengan sebutan "sayyid" aau "syarif".
Murid-muridku yang dari "kaum sadah" juga ada (baik dari Saudi sendiri
maupun dari Yaman, baik Syiah maupun Sunni) tetapi sikap mereka juga
biasa-biasa saja. Tidak "gemagus" (kata orang Jawa) atau merasa diri
"superior" karena dari golongan sadah. Dengan kata lain, identitas sadah
atau non-sadah itu tidak penting, bukan sesuatu yang "woow" gitu.
Selain sebutan sayyid atau syarif, ada pula yang menyebut "chorfa" yang
merupakan Bahasa Arab dialek Darija Maghreb (Maroko, Aljazair, Tunisia,
dan Libia). Ada juga sebagian yang menyebut "alawi" atau "alawiyah"
(untuk perempuan). Di India dan Asia Selatan, populer juga sebutan "Mir"
atau "Mirza" (yang ini sebutan untuk anak hasil dari perkawinan
perempuan sayyidah dengan laki-laki non-sayyid).
Nah, untuk
masalah perkawinan antara kaum sadah dan non-sadah ini menarik untuk
diteliti. Dulu, di Indonesia pernah terjadi konflik dan percekcokan di
kalangan Arab sendiri antara boleh dan tidaknya perempuan dari keluarga
sadah menikah dengan laki-laki non-sadah. Konflik itu terjadi gara-gara
Ahmad Surkati, seorang sarjana / ulama Arab-Sudan yang juga menjadi
pengajar di sekolah Jamiat al-Khair, menyatakan dibolehkannya perkawinan
antara laki-laki non-sayyid dengan perempuan sayyidah. Karena masalah
ini, akibatnya, Ahmad Surkati dipecat dari Jamiat al-Khair sehingga
kelak ia mendirikan al-Irsyad pada tahun 1915.
Seperti dulu
pernah saya singgung, kaum Arab di Indonesia bukan hanya dari kaum sadah
saja tetapi juga kaum non-sadah (Irshadi, qaba'il, dhu'afa) yang
jumlahnya jauh lebih besar. Ada sejumlah tokoh non-sayyid yang cukup
terkenal dulu termasuk Ahmad Surkati ini. Tokoh lain seperti Muhammad
bin Abdul Hamid (Sudan), Muhammad al-Tayyib (Maroko), Muhammad bin Usman
(Tunisia), dlsb.
Sebagian kaum sadah memang mempraktekkan
kebijakan "pernikahan endogami", yaitu pernikahan antar-kelompok mereka
saja (golongan sadah), untuk memelihara "kemurnian darah / genetik
sadah" (baca, "keturunan Nabi Muhammad"). "Kebijakan" ini menarik untuk
dikaji karena "secara genetik", mereka ini adalah "keturunan Ali", bukan
"keturunan Nabi Muhammad". Tetapi ada juga yang mempraktekkan
"pernikahan eksogami" atau "perkawinan dengan kelompok lain / non-sadah.
Beberapa muridku yang dari kaum sadah juga tidak mempermasalahkan
menikah dengan siapapun. Asisten risetku, seorang Arab non-sadah, juga
ada yang baru saja menikah dengan perempuan sayyidah (bersambung ke Arab Tak Berarti Habib (10).
0 komentar:
Post a Comment