Lanjutan Sejarah Islam di Tiongkok
Selamat pagi (waktu Saudi) "murid-murid" di belahan dunia manapun
kalian berada. Hari ini cik gu mau melanjutkan "kuliah virtual" yang
sempat tertunda tentang sejarah dan perkembangan Islam di China
(Tiongkok). Bagi yang ketinggalan pelajaran karena sering mbolos,
silakan dibaca-baca dulu postingan-postinganku sebelumnya.
Seperti sudah saya jelaskan, Islam masuk ke Tiongkok sejak masa-masa
awal perkembangan Islam di abad ketujuh Masehi yang bertepatan dengan
Dinasti Tang di Tiongkok. Sejak wafatnya Nabi Muhammad, di era Khulafaur
Rasyidin, Daulah Umayyah, dan Daulah Abbasiyah dan pasca-Islam
Abbasiyah sudah terjalin relasi politik-ekonomi-budaya dengan sejumlah
kekaisaran di Tiongkok: Tang, Song (Sung), Yuan, Ming, Ching. Hubungan
ini terus berlanjut di era-era berikutnya.
Dinasti Tang dulu
menyediakan tempat / daerah khusus untuk kaum Muslim yang disebut Fan
Fang. Di era Kekaisaran Tang dan Song dulu, agama Islam disebut Dashi fa
(atau ta-shi fa) atau "Hukum atau agama [orang-orang] Arab". Nama
"Dashi" ini diambil dari "tashi" atau "tazi", yaitu sebutan orang-orang
Persi terhadap Bangsa Arab.
Sebutan "Dashi" ini kemudian diganti
menjadi Hui Hui Jiao yang artinya kurang lebih "sebuah agama yang
pasrah dan kembali kepada Tuhan". Sebelum akhir abad ke-11, nama Hui Hui
Jiao ini yang dipakai untuk menyebut Islam oleh orang-orang China,
Mongol, Khiran, dan Turki yang tinggal di berbagai perbatasan di
Tiongkok.
Konon yang memperkenalkan nama Hui Hui Jiao sebagai
pengganti Dashi fa ini adalah Amir Sufair (kadang disebut Su Fei-erh
atau So-fei-er), seorang pemimpin politik-pemerintahan Muslim dari
Bukhara (dulu bagian dari Russia tapi kini masuk wilayah Uzbekistan).
Imam Bukhari (Abu Abdullah Muhammad bin Ismail), seorang ahli Hadis
kenamaan yang berdarah Persi yang koleksi hadis-hadisnya banyak dipakai
oleh umat Islam itu lahir di daerah Bukhara ini.
Amir Su Fei-erh
ini merupakan tokoh penting di balik islamisasi etnis Hui di China.
Etnik Hui adalah pemeluk Muslim terbesar di Tiongkok, kemudian disusul
etnik Uyghur yang campuran Turki yang mendiami kawasan Xinjiang. Amir
Sufair dulu diundang khusus oleh Kekaisaran Song untuk ikut membantu
memerangi kaum Khitan (disebut juga Kitan, Kidan, Khitai) yaitu suku
nomad dari Mongolia yang mendiami kawasan timur laut Tiongkok. Kaum
Khitan ini mendirikan Dinasti Liao, yang dipimpin oleh Khagan Abaoji
pasca runtuhnya Kekaisaran Tang. Karena itu, oleh Dinasti Song, mereka
dianggap sebagai kelompok berbahaya yang bisa menggerogoti kekuasaan
Song.
Dalam rangka untuk membantu menghalau kaum Khitan inilah,
Kaisar Shenzong (Shen-tsung) dari Dinasti Song mengundang Amir Sufair
beserta ribuan milisi ke Tiongkok. Mereka kemudian tinggal di Kaifeng
(ibuota Song) dan Yenching atau Yanjing (sekarang Peking atau Beijing),
daerah yang dulu sering diserbu oleh kaum nomad Khitan. Sejarawan
Raphael Israeli dalam bukunya, "Islam in China", bahkan menyebut Dinasti
Song juga mendatangkan ribuan orang Arab untuk bergabung dengan milisi
Bukhara pimpinan Amir Sufair ini. Mereka mendiami bebrbagai kawasan di
Tiongkok seperti Shandong, Hunan, Anhui, Hubei, dlsb.
Karena
jasa-jasanya dalam membantu Kekaisaran Song inilah, maka Amir Sufair
diberi gelar "Putra Mahkota" oleh Kaisar Shengzong. Amir Sufair juga
disebut-sebut sebagai "pendiri" dan "bapak" komunitas Muslim di Tiongkok
(Bersambng Ke Sejarah Islam di Tiongkok (5) ).
0 komentar:
Post a Comment