Jasad Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid boleh terkubur, tetapi
spiritnya tidak pernah terkubur. Gus Dur tak pernah mati. Ia selalu
"hidup" dan terus memberi penghidupan banyak orang meskipun raganya
sudah dikebumikan. Tengoklah ke Jombang. Makamnya tak pernah sepi.
Bahkan menjelma menjadi tempat wisata reliji yang selalu ramai
dikunjungi banyak orang, baik Muslim maupun bukan. Gus Dur selalu
memberi berkah baik saat ada maupun tiada.
Dulu, ketika belum
menjadi almarhum, Gus Dur selalu menjadi kontroversi: dibenci sekaligus
dicinta. Bagi yang membenci, Gus Dur dianggap sebagai kiai dan tokoh
Muslim yang pro-Kristen, pro-Konghucu, pro-Syiah, pro-Ahmadiyah,
pro-minoritas, dan seterusnya. Ia dianggap lebih membela non-Muslim
ketimbang Muslim. Anggapan itu keliru besar.
Bagiku, Gus Dur
bukan membela Kristen, Konghucu, Syiah, Ahmadiyah, dan minoritas agama
atau etnik lain, tetapi membela orang-orang tertindas. Siapapun yang
tertindas, tidak peduli mayoritas atau minoritas, Muslim atau bukan,
pasti akan beliau bela. Beliau ingin memanusiakan manusia dan tidak rela
jika ada manusia tapi tidak dianggap sebagai manusia oleh sebagian
kelompok manusia. Proses dan praktek dehumanisasi itulah yang terus
dilawan oleh Gus Dur sejak zaman Orde Baru dulu. Dalam konteks ini, maka
Gus Dur adalah seorang humanis sejati yang menghargai manusia dan
kemanusiaan.
Gus Dur juga seorang pluralis sejati karena
membiarkan "taman" Indonesia dipenuhi oleh aneka ragam "tanaman dan
bunga agama dan kepercayaan" yang warna-warni sehingga indah dipandang
mata. Gus Dur juga seorang nasionalis sejati karena mengabdikan hidupnya
untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia sebagai "rumah bersama"
berbagai etnis, suku, dan agama. Pula, Gus Dur adalah seorang pacifis
sejati karena terus-menerus membangun spirit perdamaian dan dialog
konstruktif dengan berbagai kalangan demi mewujudkan Indonesia damai.
Demi mewujudkan spirit humanisme, pluralisme, nasionalisme, dan
pacifisme itulah, Gus Dur selama hidupnya, baik melalui tulisan maupun
tindakan nyata, selalu melawan berbagai kelompok (baik kelompok politik
maupun agama) yang arogan dan intoleran yang ingin "mengebumikan"
humanisme, pluralisme, nasionalisme, dan pacifisme atas nama ideologi
tertentu, partai tertentu, agama tertentu, mazhab tertentu, dlsb.
Karena spirit humanisme, pluralisme, nasionalisme, dan pacifisme yang
begitu kuat itu pulalah, Gus Dur dituduh tidak Islami dan anti-Islam.
Padahal, justru karena Gus Dur sangat Islami dan mencintai Islam itulah,
beliau menjadi sosok humanis, pluralis, nasionalis, dan pacifis
sekaligus.
Kualitas keislaman seseorang bukan diukur dari
fasihnya berbahasa Arab, mahirnya membaca kitab, banyaknya salat dan
haji, putihnya gamis, panjangnya jenggot, hitamnya jidat, dlsb. Tetapi
dari sejauh mana ia memperlakukan umat lain, sejauh mana ia memanusiakan
orang lain, sejauh mana ia menghargai dan menghormati komunitas lain.
Inilah makna dari Islam sebagai "rahmat bagi seluruh alam", dan saya
melihat dan membaca sosok Gus Dur bak "rahmat untuk alam semesta" yang
melampaui batas-batas primordial etnis dan agama. Disinilah Gus Dur
merupakan teladan hidup yang luar biasa bagi kita semua. Semoga beliau
damai di alam baka...
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment