Saudi dan Indonesia adalah dua negara yang sama-sama rawan terhadap
terorisme. Sudah puluhan kali terjadi aksi bom bunuh diri di kedua
negara ini yang dilakukan oleh kelompok teroris. Di Saudi, sasaran
terorisme bukan hanya masjid-masjid Syiah saja tetapi juga properti
milik pemerintah dan aparat keamanan. Oleh karena itu wajar jika kedua
negara ini belakangan menandatangani perjanjian kerjasama bertajuk
"Defense Cooperation Agreement" (DCA) yang antara lain untuk menangani
masalah terorisme dan "konter-terorisme" di kedua negara.
Yang
menarik adalah setiap terjadi aksi-aksi terorisme, para ulama dan
kelompok agama di Saudi selalu ramai-ramai mengecam aksi brutal para
teroris. Ketika terjadi aksi bom bunuh diri yang menyasar sejumlah
masjid Syiah di Qatif, Saihat, Khobar, atau Ahsa, yang menewaskan
puluhan orang tak berdosa itu, para ulama juga ramai-ramai mengecam
keras.
Bahkan Mufti Besar Saudi Shaikh Abdulaziz bin Abdullah Al
Shyaikh menganggap terorisme sebagai bentuk "kejahatan kemanusian
terbesar" dimana para pelakunya adalah para kriminal yang kelak akan
menjadi "bahan bakar neraka". Bukan hanya itu, para ulama dan pemerintah
biasanya secepatnya mengunjungi lokasi kejadian dan menyambangi para
korban.
Mereka juga menggelar pertemuan dengan para ulama Syiah
berpengaruh untuk diajak sama-sama memerangi terorisme yang menjadi
"musuh bersama" Saudi. Mereka bukan mengsyukuri karena warga Syiah, yang
sering dipersepsikan sebagai "musuh Wahabi", telah menjadi korban
serangan kaum teroris. Para ulama juga tidak menganggap pengeboman
sebagai "pengalihan isu".
Ada sekitar 10-15 % penduduk Saudi
adalah warga Syiah yang tersebar di berbagai kawasan. Menariknya lagi,
setiap kali terjadi pengeboman, baik warga Syiah maupun non-Syiah yang
saya temui menganggap para pelaku sebagai "para bigot pengecut" tanpa
memberi embel-embel agama atau aliran agama tertentu. Warga Syiah tidak
menuduh Sunni sebagai pelakunya. Warga Sunni juga menolak pelaku
pengeboman bunuh diri sebagai "Sunni". Kaum Salafi juga sama, tidak
mengakui tindakan terorisme sebagai "aksi legal" yang mendapat
legitimasi agama. Buat mereka, terorisme tidak punya agama.
Memang, saya sendiri berkeyakinan bahwa jika ada orang beragama tetapi
melakukan tindakan terorisme yang mengorbankan masyarakat sipil tak
berdosa, maka perlu dievaluasi pemahaman agama mereka. JIka ada umat
Islam yang begitu bangganya dengan terorisme dan aneka kekerasan dan
kejahatan kemansusiaan, maka layak kita pertanyakan kualitas keislaman
mereka.
Jika ada orang yang merasa diri sebagai ulama tetapi
malah "cengegesan" dengan kejahatan dan kebiadaban kaum teroris, tidak
berempati dengan para korban terorisme, dan justru sibuk mengurusi yang
lain, maka perlu kita pertanyakan kualitas keulamaannya.
Pula,
jika ada umat Islam yang menganggap Tuhan Allah ikut menjadi "suporter"
aksi-aksi terorisme dan kekerasan terhadap non-Muslim, maka sejatinya
mereka telah mengfitnah, mencemarkan, dan mendiskreditkan Tuhan sebagai
Zat pencipta dan pelindung alam semesta berserta semua mahluk-Nya.
Orang-orang sejenis ini pada hakikatnya jauh lebih buruk daripada setan
yang sering mereka kambinghitamkan itu.
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment