Dalam postinganku sebelumnya (silakan baca dulu “Pluralisme Kafir”
supaya nyambung dengan postingan ini), saya sudah menjelaskan tentang
arti dan makna kata “k-f-r” itu sangat beragam dan kompleks. Kata
“k-f-r” ini bukan hanya terdapat dalam Bahasa Arab saja tetapi juga di
berbagai bahasa: Hebrew, Aram, Persi, Turki, Albanian, Nuristan, dan
bahkan Sanskrit. Implementasi kata ini juga beraneka ragam, tidak pernah
merujuk pada satu subyek saja. Semua tergantung pada konteks
sosial-politik-budaya masing-masing masyarakat.
Dalam bahasa
Arab juga sama. Kata kerja “k-f-r” (kufr) yang diderivasi dari Bahasa
Hebrew, Aram, dan Persi, mempunyai arti dasar yang beragam, antara lain
“menutupi, menyembunyikan, menolak, mengelabui, memindahkan,
melenyapkan”, dlsb. Karena itu kata kerja “k-f-r” dalam Bahasa Arab
(baik sebelum maupun sesudah era keislaman pada abad ke-7 M) juga
digunaan untuk berbagai akivitas yang mengandung makna menutupi,
menyembunyikan, menolak, mengelabui, memindahkan, melenyapkan”, dlsb
itu.
Karena kata kerja (fi’il) “k-f-r” itu beragam, maka arti
kata “kafir” atau pelaku (fa’il) tindakan “kufr” itu juga
bermacam-macam. Saya sudah katakan dalam postingan sebelumnya, misalnya,
kata “kafir” (jamak: “kuffar”) dalam Bahasa Arab juga merujuk pada
“petani” (lihat misalnya dalam Al-Qur’an, Surat Al-Hadid ayat 20).
Kenapa petani disebut “kafir”? Karena aktivitas petani adalah “menutupi
benih di dalam tanah”. Semua pelaku aksi atau aktivitas yang bernuansa
“menutupi” atau “menyembunyikan” bisa disebut “kafir”.
Dari kata
“k-f-r” inilah kemudian menjadi kata “coverir” atau “covrir”
(Anglo-Perancis), “cooperire” (Latin), “koffer” (Belanda), dan “cover”
(Inggris), antara lain. Kata “koper” dalam Bahasa Indonesia juga
memiliki akar yang sama dengan “k-f-r” ini karena “koper” dipakai untuk
“menutupi barang”. Lalu, bagaimana dengan kata “kuper”? Ya Anda cari
sendirilah, masak saya terus? He he
Dalam Al-Qur’an pun, kata
yang mengandung unsur “k-f-r” ini beraneka ragam. Ada sekitar 421 kata
“k-f-r” yang disebut dalam Al-Qur’an dan penggunaanya bermacam-macam,
maknanya bermacam-macam, konteksnya juga bermacam-macam, latar belakang
sejarahnya juga bermacam-macam.
Kata “kafir” misalnya, ada yang
bermakna petani, ada pula yang merujuk pada kelompok suku-suku Mekah,
kaum politeis, kelompok “non-teis” atau “kaum tak bertuhan”, kelompok
penentang misi dakwah Nabi Muhammad, kelompok penyekutu Tuhan
(musyrikun), kaum yang tidak percaya kepada Allah SWT sebagai “Tuhan”,
umat yang tidak percaya pada Hari Pembalasan atau Hari Kiamat, umat yang
tidak percaya terhadap kehidupan paska-kematian dan dan hal-ikhwal yang
berkaitan dengan alam ahirat termasuk surga & neraka, orang-orang
korup, tiran, penganiaya dan anti-kemanusiaan (dzalim), dlsb.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebut Yahudi maupun Kristen sebagai “kafir”
merujuk pada kelompok suku-suku Arab Yahudi dan Kristen tertentu di
Jazirah Arab (misalnya di Yasrib atau Najran) yang mengingkari terhadap
“misi kenabian” atau melanggar terhadap “kontrak sosial” antara mereka
dan Nabi Muhammad atau yang mempraktekkan konsep-konsep teologi “secara
ekstrim”. Bukan ditujukan untuk kaum Yahudi atau Kristen secara umum.
Singkatnya, kata “kafir” itu tidak melulu berkonotasi teologi-keagamaan
tetapi juga sosial-politik-ekonomi-kebudayaan. Semua “kata” dalam
bahasa apapun (termasuk kata “kafir” dalam Bahasa Arab) awalnya adalah
“netral” atau “bebas nilai” tetapi kemudian dipakai dengan “makna
tertentu” oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan
tertentu. Misalnya, sejumlah kelompok “Salafi-Wahabi ekstrim” menyebut
Syiah, Ahmadiyah, dan sekte-sekte tertentu sebagai “kafir” meskipun
mereka mengimani eksistensi Allah SWT. Padahal, orang-orang yang hobi
teriak “kafir” pada orang lain itu bisa jadi seorang “kafir” itu
sendiri. Ini yang namanya “kafir teriak kafir” he he. Bersambung aja ah
capek nulisnya.
Jabal Dhahran, Arabia. Postingan Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby
0 komentar:
Post a Comment