Banyak orang masih bingung dengan "makhluk" yang bernama MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Banyak pula yang salah paham dengan MUI: ada
yang "menjunjung tinggi setengah mati", ada pula yang "memaki-maki
setengah mati."
Begini, bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah
Facebookers, MUI itu adalah "lembaga", tepatnya "lembaga plat merah"
yang dibentuk oleh Pak Harto dulu pada tahun 1975 dalam rangka untuk
"menyenangkan" atau "membahagiakan" umat Islam dan sejumlah tokoh
Muslim.
Pada awal-awal pendirian rezim Orde Baru dulu, Pak Harto
dianggap lebih pro dan "menganakemaskan" kelompok abangan, khususnya
lagi kaum "Kejawen" (baik sipil maupun militer), dalam struktur
pemerintahan, dan kuran memberi "porsi" kepada umat Islam. Nah, supaya
tidak disorot "miring ke kiri", beliau mendirikan MUI ini yang tugasnya
memberi nasehat kepada pemerintah terkait dengan masalah atau isu-isu
keagamaan dan keislaman.
Jadi, jelasnya, MUI itu hanya sebuah
lembaga tempat ngumpulnya sejumlah ormas Islam di Indonesia (kecuali
Syiah dan Ahmadiyah yang dianaktirikan). Seperti lembaga atau ormas
lain, baik yang "plat merah", "plat hijau" maupun "plat kuning", MUI
memiliki cabang sampai ke daerah-daerah di Indonesia, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten. Pula, seperti umumnya lembaga dan ormas
keagamaan, MUI juga mempunyai banyak divisi atau "departemen" yang
mengurusi banyak hal.
Apakah semua pengurus MUI itu "ulama"?
Belum tentu. Di berbagai daerah diluar Jawa, para pengurus dan elit MUI
itu banyak yang berprofesi sebagai birokrat, politisi, polisi, tentara,
pengusaha, dlsb yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi keulamaan
serta "nol jumbo" wawasan keislamannya, tetapi mereka "ditokohkan" oleh
masyarakat Islam setempat karena dipandang memiliki status sosial
tinggi.
Apakah semua pengurus MUI dari pusat sampai daerah itu
memiliki pandangan yang sama dan seragam mengenai masalah keislaman,
sosial-keagamaan, dan kebangsaan? Tentu saja tidak. Tidak semua pengurus
MUI itu berpandangan "saklek", konservatif, intoleran, anti-pluralisme,
anti-kebangsaan, dst. Banyak dari mereka yang berwawasan terbuka,
progresif, toleran, cinta kebangsaan, dlsb. Jadi semua tergantung dari
individu-individu. Banyak teman-temanku yang "keren abis" juga duduk di
kepengurusan MUI, baik di pusat maupun daerah.
Apakah semua
pernyataan yang keluar dari MUI itu disebut "fatwa? Tentu saja tidak.
Ada yang hanya sebatas pendapat biasa atau "sikap keprihatinan" untuk
menyikapi kondisi atau masalah sosial-politik-keagamaan-kebangsaan.
Disebut "fatwa" jika itu diputuskan melalui "departemen fatwa" di MUI
serta melalui prosedur penggalian hukum Islam tertentu.
Apakah
umat Islam wajib mengikuti fatwa yang dikeluarkan MUI? Tentu saja tidak.
Namanya saja "fatwa" alias pendapat hukum yang tidak mengikat. Fatwa
itu hanya sebuah "pendapat" yang bisa dikeluarkan oleh siapa saja yang
memiliki kualifikasi sebagai "mufti". Dan MUI bukan satu-satunya yang
mengeluarkan fatwa. Ormas-ormas Islam lain, seperti NU atau
Muhammadiyah, juga sering sekali mengeluarkan fatwa yang tidak jarang
berseberangan dengan fatwa MUI dan ormas lain. Umat Islam bebas dan
merdeka untuk memilih fatwa mana yang dianggap paling "oye".
Lalu, kenapa akhir-akhir ini orang-orang pada "hiruk-pikuk" sampai ada
gerakan jihad "pengawal fatwa MUI" segala? Ya itu biasa orang-orang yang
"lebay njeblay" yang dimobilisasi oleh para "makelar politik" dan
"bisnismen agama" itu. Mudeng?
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment