Salah satu problem mendasar dari kelompok "Islam garis lurus" adalah
hilangnya rasa atau selera humor. Karena tidak lagi mempunyai selera
humor, maka pengikut "sekte Islam garis lurus" ini sepertinya susah
sekali tersenyum atau tertawa. Padahal, menurut teori-teori psikologi
humor itu sangat sehat dan menyehatkan. Sementara itu menurut
teori-teori spiritual-keagamaan, humor itu adalah pemberian, hadiah,
atau berkat dari Tuhan.
Islam sendiri mengajarkan
bahwa "senyum itu ibadah". Jadi, bagi umat Islam, tidak ada alasan
untuk tidak beribadah karena ibadah itu gampang sekali, tidak melulu
"menghitamkan jidat" atau menjual kerbau untuk naik haji. Mesam-mesem
atau tersenyum saja dinilai ibadah. Ayo, silakan dipraktekkan di
jalan-jalan he he.
Sejarah humor sudah sangat tua, setua sejarah manusia itu sendiri.
Teori-teori tentang humor juga sudah ada sejak masa peradaban Yunani
Kuno di zaman Plato atau Sokrates. Sastrawan India Kuno, Bharata Muni,
mendefinisikan humor sebagai salah satu dari sembilan respons emosi atau
rasa.
Dalam konteks Islam Arab, teori-teori tentang humor ini diperkenalkan oleh seorang filsuf Arab Kristen bernama Abu Bishr Matta bin Yunus al-Qunnai di abad ke-9 M. Ia adalah pendiri "Akademi Aristoteles" di Baghdad yang kelak melahirkan banyak ilmuwan Muslim ternama termasuk Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Bukan hanya ilmuwan Muslim saja, kampus ini juga melahirkan sejumlah ilmuwan Kristen beken seperti Yahya Ibnu Adi dari Suriah.
Pada masa Dinasti Islam Abbasiyah, memang banyak ilmuwan Kristen yang sangat berjasa dalam memajukan keilmuwan Islam. Dulu, Khalifah Harun al-Rasyid, juga Khalifah Al-Makmun, menunjuk seorang sarjana Kristen keren bernama Hunayn bin Ishaq untuk menrjemahkan karya-karya para filsuf Yunani ke dalam Bahasa Arab. Kontras dengan sikap dan gaya “Islam garis lurus” di Indonesia yang mengidap semacam penyakit “Christianophobia”, para tokoh dan sarjana Muslim di zaman Abbasiyah sangat akrab dengan umat Kristen. Banyak umat Islam yang berguru dengan para sarjana dan ilmuwan Kristen, sebagaimana banyak pula para “santri Kristen” yang berguru dengan para sarjana dan ilmuwan Muslim.
Kembali pada masalah humor di atas, karena “sekte Islam garis lurus” kehilangan selera humor, akibatnya mereka ini sering panas, cemberut dan monyong-monyong kalau menyikapi persoalan sosial-politik-kegamaan. Dikit-dikit ngamuk. Dikit-dikit marah. Ciri-ciri kelompok “Islam garis lurus” ini adalah tidak bisa menyikapi perbedaan dengan tenang dan “guyonan”. Beda Tuhan ngamuk, beda nabi protes, beda agama berantem, beda sekte jengkel, beda pemikiran ngambek, beda ormas ribut, beda parpol mencak-mencak, beda mazhab demo, beda kelamin tegang he he.
Padahal dengan humor, Islam akan kelihatan indah dan mengasyikkan. Bukan suram dan menakutkan.
Jabal Dhahran, Arabia
Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby
Dalam konteks Islam Arab, teori-teori tentang humor ini diperkenalkan oleh seorang filsuf Arab Kristen bernama Abu Bishr Matta bin Yunus al-Qunnai di abad ke-9 M. Ia adalah pendiri "Akademi Aristoteles" di Baghdad yang kelak melahirkan banyak ilmuwan Muslim ternama termasuk Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Bukan hanya ilmuwan Muslim saja, kampus ini juga melahirkan sejumlah ilmuwan Kristen beken seperti Yahya Ibnu Adi dari Suriah.
Pada masa Dinasti Islam Abbasiyah, memang banyak ilmuwan Kristen yang sangat berjasa dalam memajukan keilmuwan Islam. Dulu, Khalifah Harun al-Rasyid, juga Khalifah Al-Makmun, menunjuk seorang sarjana Kristen keren bernama Hunayn bin Ishaq untuk menrjemahkan karya-karya para filsuf Yunani ke dalam Bahasa Arab. Kontras dengan sikap dan gaya “Islam garis lurus” di Indonesia yang mengidap semacam penyakit “Christianophobia”, para tokoh dan sarjana Muslim di zaman Abbasiyah sangat akrab dengan umat Kristen. Banyak umat Islam yang berguru dengan para sarjana dan ilmuwan Kristen, sebagaimana banyak pula para “santri Kristen” yang berguru dengan para sarjana dan ilmuwan Muslim.
Kembali pada masalah humor di atas, karena “sekte Islam garis lurus” kehilangan selera humor, akibatnya mereka ini sering panas, cemberut dan monyong-monyong kalau menyikapi persoalan sosial-politik-kegamaan. Dikit-dikit ngamuk. Dikit-dikit marah. Ciri-ciri kelompok “Islam garis lurus” ini adalah tidak bisa menyikapi perbedaan dengan tenang dan “guyonan”. Beda Tuhan ngamuk, beda nabi protes, beda agama berantem, beda sekte jengkel, beda pemikiran ngambek, beda ormas ribut, beda parpol mencak-mencak, beda mazhab demo, beda kelamin tegang he he.
Padahal dengan humor, Islam akan kelihatan indah dan mengasyikkan. Bukan suram dan menakutkan.
Jabal Dhahran, Arabia
Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby
0 komentar:
Post a Comment