LOKER OTOMOTIF

Sunday, January 15, 2017

Arab Tak Berarti Habib (5)

Menjadi atau menyandang status sebagai "keluarga besar" Nabi Muhammad (ahl al-bait) tidak secara otomatis dimulyakan secara sosial-politik. Sejak dulu, paska wafatnya Nabi Muhammad SAW, perseteruan antar-suku dan klan demi politik-kekuasaan selalu terjadi. Bahkan sebelum Islam lahir, spirit tribalisme itu sangat kuat dan menjadi karakteristik masyarakat Arab, khususnya di kawasan Jazirah Arab. Sejak sebelum era Islam, suku-suku dan klan Arab selalu ingin menguasai Mekah dan Ka'bah sebagai simbol otoritas politik-ekonomi-agama masyarakat Jazirah Arab.

Sering kali perseteruan antar-suku/klan Arab itu berakhir tragis: perang dan pembunuhan. Tidak peduli apakah mereka berperang melawan keluarga nabi atau tidak, sesama suku atau tidak. Perang sipil antar-umat Islam sudah meletus sejak awal-awal perkembangan agama Islam paska wafatnya Nabi Muhammad. Banyak para sahabat nabi dan tokoh-tokoh Muslim awal yang terbunuh atau dibunuh dengan tragis oleh kaum Muslim itu sendiri karena persoalan rebutan kekuasaan.

Perang sipil antar-umat Islam pertama kali adalah Perang Jamal atau Perang Basrah antara Aisyah (istri Nabi Muhammad) melawan para pendukung Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad). Aisyah marah karena mendengar Khalifah Usman dibunuh. Kelak, Ali juga dibunuh. Anak-anak Ali: Hasan dan Husain yang melahirkan kaum "sadah" atau "syarif" juga mati dibunuh. Hasan mati diracun oleh istrinya yang bernama Ja'da binti al-Ash'at dari suku Kindah di Yaman.


Para sejarawan Syiah maupun Sunni seperti Baladhuri, al-Waqidl, Haitham, dlsb mencatat Ja'da bersedia membunuh suaminya sendiri karena disuruh Muawiyah, Gubernur Syam (wilayahnya mencakup Suriah, Palestina, dan Yordania), yang kelak mendirikan Dinasti Umayah. Konon Mu'awiyah mengiming-imingi Ja'da harta-benda, kekuasaan, serta menjanjikannya kawin dengan putranya, Yazid, sehingga ia bersedia meracun suaminya.

Mu'awiyah ini dari klan Bani Umayah (satu klan dengan Khalifah Usman yang terbunuh diatas. Klan ini adalah keturunan dari Umayah bin Abdus Syam) yang tidak terima tampuk "kekuasaan Islam" jatuh ke tangan Bani Hasyim (Ali cs termasuk Nabi Muhammad berasal dari klan Bani Hasyim yang merupakan keturunan dari Hasyim bin Abdul Manaf). Karena ambisi kekuasaan yang sudah diubun-ubun, Mu'awiyah yang merasa diri lebih senior dan perpengalaman dalam urusan pemerintahan, tidak mau tunduk kepada Hasan yang menggantikan Ali sebagai Gubernur Kufah (Irak) yang ditahbiskan oleh pengikutnya sebagai "Khalifah Islam" ke-5 sepeninggal Ali. Oleh Muawiyah, Hasan dipandang sebagai "anak ingusan" yang tidak memiliki pengalaman dalam urusan politik-pemerintahan.

Perseteruan terus berlanjut. Kelak, putra Mu'awiyah, Yazid, mengibarkan perlawanan melawan Husain (putra kedua Ali yang dinobatkan sebagai pemimpin sepeninggal Hasan) dan pendukungnya dalam Perang Karbala yang berakhir tragis dan kekalahan di pihak Husain. Husain sendiri mati dipenggal. Kurang lebih 90 tahun, Dinasti Umayah berdiri dengan pusatnya di Damaskus, sebelum akhirnya dihancurkan oleh Abbul Abbas as-Shafah yang merupakan keturunan dari salah satu paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul Muttalib, yang kemudian menandai berdirinya Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad.

Yang menarik adalah baik klan Bani Hasyim, klan Bani Umayah maupun klan Bani Abdul Muttalib yang saling berseteru itu sama-sama dari Suku Quraisy, yaitu keturunan dari Fihr al-Quraisy yang juga keturunan Nabi Ismail (putra Ibrahim) dari jalur Adnan.

Nah, bagaimana dengan para keturunan / anak-cucu Hasan dan Husain sepeninggal orang tua mereka? Kemana mereka mengungsi? Sebagian dari mereka kelak ada yang mendirikan dinasti-dinasti kecil seprti Alid di Iran, Idrisi di Maroko, Sulaimani di Maghreb, dslb. Ada pula yang menjadi para imam Syiah atau "Partai pendukung Ali" di Yaman, Iran, Irak, dlsb. Lanjut lagi aja ya ceritanya, biar penasaran...
diambil dari postingan Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby

0 komentar: