Jika Libanon adalah negara mayoritas Muslim dengan struktur
pemerintahan yang unik karena mengikuti “sistem konfesionalisme” untuk
bagi-bagi kekuasaan antara Sunni, Shiah, Kristen, dan berbagai kelompok
agama lain dalam struktur pemerintahan, maka Qatar memiliki keunikan
sendiri, yakni negara ini tidak memiliki “lembaga ulama kolektif”
(semacam MUI di Indonesia) maupun “Grand Mufti” (seperti di Saudi atau
Yarusalem).
Sepertinya Qatar (Daulat Qatar), yang berbatasan
dengan Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Iran ini, tidak begitu
menganggap penting dengan lembaga ulama. Meskipun Qatar yang dipimpin
oleh “Dinasti Al Thani” (anak-cucu Shaikh Jassim bin Muhammad Al Thani)
“formalnya” mengikuti “Wahabisme” tetapi prakteknya cukup
“liberal-sekuler”. Dengan kata lain, “de jure” agamis (misalnya, Hukum
Islam dijadikan sebagai salah satu basis sistem perundang-undangan,
selain “hukum sipil”), de facto “sekuler.” Karakter masyarakatnya agak
mirip-mirip dengan Turki.
Perempuan sangat maju disini dan
menjadi tokoh di berbagai bidang. Perempuan juga boleh menyetir mobil
dan pergi sendiri tanpa harus ditemani muhrim. Perempuan di Qatar
mengenakan abaya dan hijab tetapi abaya dan hijab yang sangat modis dan
modern. Mereka juga tidak mengenakan cadar (burqa, niqab, atau himar).
Pemerintah juga membolehkan warga non-Muslim untuk mengonsumsi alkohol
(beer, wine, tequila, dlsb) dan daging babi. Berbagai pertunjukan dan
gedung seni serta museum seni kelas dunia bertaburan di Qatar.
Menarik untuk dicermati bahwa Kementerian Islam dan Wakaf baru dibikin
22 tahun setelah Qatar merdeka pada 1971. Sementara fakultas-fakultas
syariah yang jumlahnya tidak seberapa di Qatar, mahasiswanya didominasi
oleh kaum perempuan yang kelak menjadi guru atau pegawai pemerintahan
ketimbang menjadi “ulama” (clergymen/clergywomen) atau sarjana agama.
Para “sarjana agama” kebanyakan menempuh karir sebagai hakim agama
(qadi) di berbagai lembaga peradilan agama.
Karena minimnya
“kampus agama” di Qatar, maka para calon “sarjana agama” yang akan
menjadi calon hakim agama itu pada umumnya belajar Islam di Mesir
(Universitas Al-Azhar), bukan di Saudi (seperti Universitas Islam
Madinah atau Imam Muhammad bin Saudi Islamic University). Kampus-kampus
di Qatar kebanyakan adalah “kampus-kampus sekuler” yang mengfokuskan
pada bidang-bidang keilmuan non-agama (sciences, engineering, komputer,
bisnis, dlsb). Qatar juga menjadi rumah bagi kamapus-kampus Barat.
Banyak universitas-universitas di Barat yang membuka cabang disini
(Goergetown, Texas A&M University, Northwestern University, Carnegie
Mellon University, dlsb.)
Sementara itu, sekolah-sekolah agama
di Qatar berada di bawah Kementerian Pendidikan, bukan Kementerian
Islam dan Wakaf. Menariknya lagi, para staf dan pengajar sekolah-sekolah
agama ini juga bukan warga Arab-Qatar. Begitu pula para ulama atau
sarjana agama tadi juga umumnya dari India, Pakistan, atau Arab
non-Qatar. Warga Arab-Qatar sendiri kurang tertarik menekuni profesi
“ahli surga” ini. Qatar memang salah satu negara dengan populasi migran
terbesar di kawasan Arab dan Timur Tengah jadi wajar kalau banyak kaum
migran yang dipekerjakan di berbagai sektor. Para elit Qatar hanya
mengontrol politik-pemerintahan.
Karakter Qatar yang “agamis
tapi sekuler” ini tersyirat dari pernyataan salah satu ulama Qatar,
Shaikh Abdul Hamid Al Ansari: “Saya menganggap diriku sebagai Wahabi
tetapi ‘Wahabi modern’ yang memahami Islam dengan cara terbuka atau
‘open-minded’ karena dengan mentalitas keterbukaan inilah umat Islam
akan bisa menghadapi dunia yang terus berkembang.”
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment