Ini lanjutan kuliah virtualku kemarin yang berjudul "Komunisme di
Timur Tengah". Mumpung masih ingat, saya tulis saja sekarang. Bagi yang
belum sempat baca postinganku kemarin, silakan dibaca dulu supaya kalau
mau komen disini agak nyambung dan "ilmiah" dikit, tidak asal njeplak
kayak preman Terminal Pulo Gadung he he.
Seperti saya jelaskan
sebelumnya, sebagai sebuah konsep, filosofi, dan sistem, komunisme itu
jauh berbeda dengan ateisme. Tidak seperti ateisme yang "ngurusi"
masalah agama-kepercayaan orang (kapan-kapan saya bahas tentang teisme
dan ateisme ini), komunisme lebih pada urusan sosial-politik dan
ekonomi. Jadi menganggap komunisme = ateisme itu tidak nyambung alias
"Joko Sembung naik ojek" he he.
Bahwa pada perkembangnnya
kelak, ada orang-orang ateis yang bergabung di gerbong komunisme memang
iyyess. Orang ateis mah ada dimana-mana atuh mang dan mpok, bukan
monopoli komunisme aja. Kaum ateis ini ada yang menjadi pendukung
sosialisme, kapitalisme, nasionalisme, dan isme-isme yang lain. Kaum
ateis, baik yang ateis konservatif maupun ateis libertarian, juga banyak
yang anti ideologi komunis (silakan baca buku-buku yang ditulis oleh
Gary Marks, Seymour Lipset, Paul Buhle, Jeff Woods, dlsb).
Bahwa
ada komunis yang ateis bukan berarti komunis itu ateis, kan? (Hayooo
paham gak dengan pernyataan ini? he he). Bahwa ada para simpatisan
komunisme yang terlibat kekerasan dan kejahatan memang iyyess tetapi
jangan, meminjam gaya omongan Pak Harto, "menyalahken atau
mengkambinghitamken daripada komunisme"-nya sebagai sebuah filosofi,
ideologi, gerakan, dan sistem sosial-politik-ekonomi. Soal kekerasan dan
kejahatan mah dilakukan oleh pendukung ideologi apa saja atuh:
kapitalisme, liberalisme, sekularisme, Islamisme, sosialisme,
nasionalisme, pan-Arabisme, dlsb.
Pada awal perkembangan
ideologi "komunisme modern" di Eropa (saya sebut "komunisme modern"
karena "ajaran" komunisme yang bertumpu pada doktrin egalitarianisme dan
anti-hierarkhisme sudah dipraktekkan sejak zaman klasik oleh masyarakat
"pre-modern") memang sejumlah tokoh sekularis dan ateis ikut
berkontribusi dan kebetulan menjadi pioneer komunisme. Tetapi mereka
sebetulnya bukan anti-teisme atau anti-agama melainkan anti terhadap
perilaku sejumlah tokoh atau elit agama dan pemimpin politik di Eropa
kala itu yang menjadikan agama semata-mata sebagai "topeng monyet" untuk
mengelabui, membodohi, menipu, dan menindas masyarakat. Agama yang
dijadikan sebagai instrumen pembodohan, ketidakadilan, dan penindasan
inilah yang menjadi target kritisisme mereka.
Dalam konteks
inilah, Karl Marx bilang "agama adalah candu" karena agama, bagi Marx,
bisa membuat pengikutnya menjadi "teler" alias "mabok" sehingga tidak
bisa membedakan mana keadilan dan ketidakadilan, mana kebenaran hakiki
dan mana kesalahan permanen, mana dosa dan mana pahala, dan seterusnya.
Sudah tahu kalau korupsi adalah merusak moral tapi malah dihalalkan,
sudah tahu kalau kekerasan adalah kejahatan atau tindakan kriminal
tetapi malah diberi "justifikasi teologis", sudah paham kalau
pengrusakan dan terorisme itu haram tapi malah "dilegalkan", sudah paham
kalau intoleransi itu tindakan buruk tapi malah dibiarkan, sudah paham
kalau banjir dan malapetaka alam lain itu produk dari keteledoran
manusia tetapi malah berdoa minta Tuhan menyelesaikan banjir, dlsb.
Kembali ke laptop (maap Mas Thukul). Karena memang tidak ada
hubungannya antara komunisme dan ateisme itulah maka kenapa banyak para
pengikut agama dulu (Muslim, Kristen, Yahudi, dlsb) ikut menjadi
pendukung komunisme. Di kawasan Arab dan Timur Tengah dulu, para
pentolan Partai Komunis di Palestina, Mesir, Irak, Libanon, Iran,
Yordania, Maroko, Aljazair, dlsb adalah para tokoh agama, baik Muslim,
Kristen, maupun Yahudi. Beberapa di antara mereka seperti Mahmud Husni
al-Urabi (pendiri partai komunis di Mesir) bahkan belajar komunisme
langsung ke Moscow.
Bersambung lagi aja yah, entar tambah
bingung kalau kepanjangan postingannya, akang mau pikinik dulu ke itu
tuh Tempat Piknik Gunung Kidul he he... Postingan Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby
0 komentar:
Post a Comment