LOKER OTOMOTIF

Sunday, January 15, 2017

Komunisme Itu Beda Dengan Ateisme Bro

Ini lanjutan kuliah virtualku kemarin yang berjudul "Komunisme di Timur Tengah". Mumpung masih ingat, saya tulis saja sekarang. Bagi yang belum sempat baca postinganku kemarin, silakan dibaca dulu supaya kalau mau komen disini agak nyambung dan "ilmiah" dikit, tidak asal njeplak kayak preman Terminal Pulo Gadung he he.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, sebagai sebuah konsep, filosofi, dan sistem, komunisme itu jauh berbeda dengan ateisme. Tidak seperti ateisme yang "ngurusi" masalah agama-kepercayaan orang (kapan-kapan saya bahas tentang teisme dan ateisme ini), komunisme lebih pada urusan sosial-politik dan ekonomi. Jadi menganggap komunisme = ateisme itu tidak nyambung alias "Joko Sembung naik ojek" he he.

Bahwa pada perkembangnnya kelak, ada orang-orang ateis yang bergabung di gerbong komunisme memang iyyess. Orang ateis mah ada dimana-mana atuh mang dan mpok, bukan monopoli komunisme aja. Kaum ateis ini ada yang menjadi pendukung sosialisme, kapitalisme, nasionalisme, dan isme-isme yang lain. Kaum ateis, baik yang ateis konservatif maupun ateis libertarian, juga banyak yang anti ideologi komunis (silakan baca buku-buku yang ditulis oleh Gary Marks, Seymour Lipset, Paul Buhle, Jeff Woods, dlsb).


Bahwa ada komunis yang ateis bukan berarti komunis itu ateis, kan? (Hayooo paham gak dengan pernyataan ini? he he). Bahwa ada para simpatisan komunisme yang terlibat kekerasan dan kejahatan memang iyyess tetapi jangan, meminjam gaya omongan Pak Harto, "menyalahken atau mengkambinghitamken daripada komunisme"-nya sebagai sebuah filosofi, ideologi, gerakan, dan sistem sosial-politik-ekonomi. Soal kekerasan dan kejahatan mah dilakukan oleh pendukung ideologi apa saja atuh: kapitalisme, liberalisme, sekularisme, Islamisme, sosialisme, nasionalisme, pan-Arabisme, dlsb.

Pada awal perkembangan ideologi "komunisme modern" di Eropa (saya sebut "komunisme modern" karena "ajaran" komunisme yang bertumpu pada doktrin egalitarianisme dan anti-hierarkhisme sudah dipraktekkan sejak zaman klasik oleh masyarakat "pre-modern") memang sejumlah tokoh sekularis dan ateis ikut berkontribusi dan kebetulan menjadi pioneer komunisme. Tetapi mereka sebetulnya bukan anti-teisme atau anti-agama melainkan anti terhadap perilaku sejumlah tokoh atau elit agama dan pemimpin politik di Eropa kala itu yang menjadikan agama semata-mata sebagai "topeng monyet" untuk mengelabui, membodohi, menipu, dan menindas masyarakat. Agama yang dijadikan sebagai instrumen pembodohan, ketidakadilan, dan penindasan inilah yang menjadi target kritisisme mereka.

Dalam konteks inilah, Karl Marx bilang "agama adalah candu" karena agama, bagi Marx, bisa membuat pengikutnya menjadi "teler" alias "mabok" sehingga tidak bisa membedakan mana keadilan dan ketidakadilan, mana kebenaran hakiki dan mana kesalahan permanen, mana dosa dan mana pahala, dan seterusnya. Sudah tahu kalau korupsi adalah merusak moral tapi malah dihalalkan, sudah tahu kalau kekerasan adalah kejahatan atau tindakan kriminal tetapi malah diberi "justifikasi teologis", sudah paham kalau pengrusakan dan terorisme itu haram tapi malah "dilegalkan", sudah paham kalau intoleransi itu tindakan buruk tapi malah dibiarkan, sudah paham kalau banjir dan malapetaka alam lain itu produk dari keteledoran manusia tetapi malah berdoa minta Tuhan menyelesaikan banjir, dlsb.

Kembali ke laptop (maap Mas Thukul). Karena memang tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme itulah maka kenapa banyak para pengikut agama dulu (Muslim, Kristen, Yahudi, dlsb) ikut menjadi pendukung komunisme. Di kawasan Arab dan Timur Tengah dulu, para pentolan Partai Komunis di Palestina, Mesir, Irak, Libanon, Iran, Yordania, Maroko, Aljazair, dlsb adalah para tokoh agama, baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi. Beberapa di antara mereka seperti Mahmud Husni al-Urabi (pendiri partai komunis di Mesir) bahkan belajar komunisme langsung ke Moscow.

Bersambung lagi aja yah, entar tambah bingung kalau kepanjangan postingannya, akang mau pikinik dulu ke itu tuh Tempat Piknik Gunung Kidul he he... Postingan Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby

0 komentar: