Sebagai seorang ilmuwan sosial, apalagi sebagai antropolog yang
"kesengsem" dengan filosofi humanisme dan individualisme, secara pribadi
saya tidak mempermasalahkan "kaum agamis" di Indonesia (baik Muslim
maupun non-Muslim) untuk mengekspresikan budaya suku-bangsa mana saja,
atau dengan kata lain, mereka bebas menjadi apa saja: menjadi Arab,
menjadi Yahudi, menjadi Kurdi, menjadi Berber, "menjadi bule", menjadi
Jawa, menjadi Betawi, dlsb. Itu hak masing-masing individu untuk
merayakan kebebasan asal jangan "pecicilan" dan maksa-maksa saja.
Hanya saja masalahnya tidak sesimpel yang mereka imajinasikan karena
suku/etnis mana saja, termasuk Arab, bukanlah sebuah kelompok sosial
yang bersifat tunggal atau monolitik dalam pengertian segalanya:
agamanya, budayanya, karakteristiknya, ideologinya, politiknya,
ormasnya, parpolnya, warna kulitnya, dlsb. Ada sekitar 450 juta "orang
Arab" di dunia ini yang menempatkan Arab sebagai etnis terbesar kedua di
dunia setelah etnis Han China.
Membayangkan Arab sebagai
"bangsa Muslim", misalnya, sama konyolnya dengan mengimajinasikan Barat
sebagai "bangsa Kristen" karena memang ada banyak warga Arab non-Muslim
dan warga Barat non-Kristen. Khusus Arab Kristen, biasanya mereka
mengikuti "Gereja-Gereja Kristen Timur": Maronite, Koptik, Assyria,
Ortodoks Yunani, Chaldean, Melkite, dlsb. Komunitas Arab Muslim pun
beraneka ragam: ada yang mengikuti Sunni dari berbagai mazhab, ada pula
yang mengikuti aliran Ibadi, Alawi, Druze, dan Syiah dari berbagai
denominasi (Zaidiyah, Imamiyah, Ismailiyah, dan seterusnya).
Selanjutnya, secara geografi, "bangsa Arab" tidak hanya tinggal di
kawasan Timur Tengah saja tetapi juga di negara-negara Barat,
Indo-Pakistan, Asia Tenggara, dlsb. Sebagaimana komunitas China atau
Filipino, komunitas Arab juga tersebar di berbagai kawasan (Arab
diaspora). Di kawasan Arab dan Timur Tengah sendiri, bangsa Arab
tersebar di sekitar 22 negara sekarang ini: bukan hanya di negara-negara
Arab Teluk saja tetapi juga Aljazair, Comoros, Djibouti, Sudan, Maroko,
Mauritania, Somalia,Tunisia, dlsb. Jadi Arab yang mana yang dimaksud?
Pecahnya bangsa Arab menjadi negara-negara Arab itu sebetulnya sebagai
dampak dari gerakan "Nasionalisme Arab" yang embrionya sudah ada sejak
abad ke-19 sebagai reaksi atas kolonialisme Eropa maupun rezim "monarkhi
Islam". Menariknya para arsitek dan tokoh gerakan nasionalisme Arab ini
bukan hanya Arab Muslim saja tetapi juga Arab non-Muslim seperti Michel
Aflaq, yang kelak bersama sahabatnya Salahuddin al-Bitar mendirikan
"Garakan Renaissance Arab" (harakah al-ba'ath al-Arabi) yang bertumpu
pada ajaran-ajaran sosialisme dan nasionalisme.
Jadi, meskipun
ada sejumlah kelompok / komunitas Muslim Indonesia yang heppiii "menjadi
Arab" (misalnya dengan "berjubah ria". Ingat ya jubah itu budaya Arab,
bukan ajaran Islam!) tetapi dalam realitasnya, mereka sebetulnya tidak
memahami pluralitas dan kompleksitas "bangsa Arab". Anggapan Arab
sebagai "bangsa tunggal" dan monolitik hanya ada di alam imajiner saja.
Kembali ke laptop. Jadi, haruskah Muslim Indonesia "menjadi Arab"? Murid-murid, ayoo jawab he he
Postingan Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby
0 komentar:
Post a Comment