Setiap menjelang Natal kok mesti ribut dan sibuk soal "fatwa Natal"
sampai bosan aku mengomentari. Begini, terhadap fatwa sejumlah ulama dan
institusi Islam seperti MUI yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal
itu harus disikapi dengan santai dan biasa-biasa saja. Tidak perlu
overdosis dalam bersikap. Tidak perlu reaksioner, dan tidak perlu
"lebay-njeblay".
Kelompok yang reaksioner biasanya mengaggap
ulama / lembaga ulama yang mengfatwakan haram bagi umat Islam untuk
mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen sebagai kaum intoleran,
anti-pluralisme, tidak berwawasan kebangsaan, dlsb. Sementara kelompok
"lebay-njeblay" menggalang massa untuk mengawal fatwa sambil sweeping
atribut-atribut Natal dimana-mana. Atribut-antribut Natal itu seperti
ketupat atau opor ayam saat Idul Fitri gak ada urusannya dengan Natal
apalagi "iman Kristen", jadi buang-buang energi saja antum ini he he.
Begini, tentunya para ulama yang mengfatwa haram bagi kaum Muslim untuk
mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen itu juga didukung oleh
dalil yang valid, tidak sembarangan. Jadi harus dihormati pendapat
mereka. Biasanya dasar atau sebab pengharaman itu lantaran dengan
mengucapkan Natal berarti umat Islam secara diam-diam telah mengakui
kebenaran akidah Kristen.
Jadi, mengucapkan Natal itu semacam
"tacit endorsement" atau "dukungan terselubung / diam-diam" atas
keimanan dan sistem teologi umat Kristen, dan karena itu haram bagi kaum
Muslim untuk mengucapkannya. Inilah yang diungkapkan oleh Ibnu
Taimiyah, ulama abad ke-14 yang sangat berpengaruh di kalangan kelompok
Salafi, dalam kitabnya Iqtidlaus Shirathil Mustaqim, yang banyak dikutip
oleh para ulama hingga kini sebagai dasar pendukung pengaharaman tadi.
Apapun dasar atau dalilnya, yang namanya "fatwa" itu tetap saja sebuah
pendapat hukum yang tidak mengikat. Setiap ulama atau lembaga keulamaan
bisa mengeluarkan fatwa sesuai dengan dalil, dasar, dan argumen
masing-masing. Karena hanya sebuah pendapat, untuk apa dikawal? Kalau
setiap fatwa MUI harus dikawal, apa tidak pening kepala dan gempor tuh
badan karena ada ribuan fatwa yang dikeluarkan MUI. Coba, silakan
dikawal fatwa MUI yang mengharamkan rokok? Ya gak mungkin mau mengawal
wong mereka pada merokok semua he he.
Nah, sekarang
bagaimana kalau mengucapkan "Selamat Natal" sebagai "simbol pertemanan"
saja, tidak ada urusannya dengan kekhawatiran menjadi "kafir" atau
"musyrik"? Ya, silakan dimaknai sendiri, boleh atau tidak. Wong cuma
mengucapkan "Selamat Natal" doang kok serius amat sampai urusan teologi.
Di kawasan Arab, ungkapan selamat Natal biasanya diterjemahkan
sebagai "Id al-milad milad sa'id". Di Iran atau Afganistan, dengan
ungkapan "Christmas Mubarak". Para tokoh dan kaum Muslim, khususnya di
Palestina, Lebanon, Irak, dan kawasan yang banyak populasi umat
Kristennya biasanya di Hari Natal begini mengucapkan: "led Mîlâd
Sa'îdah, wa Sanah Jadîdah. Kullu 'Âm wa Antum bi-Khayr. Âmîn (Selamat
Natal dan tahun baru. Semoga sepanjang tahun Anda selalu dikaruniai atau
berada dalam kebaikan. Amin).
Kalau menurutku sih gampang saja,
kalau hanya dengan mengucapkan "Selamat Natal" kepada teman-teman
Kristen kok dianggap telah keluar dari Islam, ya nanti tinggal masuk
lagi. Gitu aja kok repot...
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment