Ini sambungan kuliah virtual-ku tentang "Bab Perkafiran". Kalau
tidak salah ingat, sudah tiga kali saya memosting masalah perkafiran
ini. Dalam perspektif antropologi, kata "kafir" memang sangat majemuk
dan kompleks alias njlimet. Ia tidak merujuk pada satu arti saja seperti
yang banyak disalahpahami oleh kaum Muslim.
Kata "kafir" yang
ditafsiri sebagai "non-Muslim" yang dianggap tidak mengimani kebenaran
teologi Islam, hanyalah satu dari sekian banyak tafsir atau
interpretasi tentang si "kafir" ini. Saya sudah sebutkan sebelumnya,
dalam Al-Qur'an sendiri ada sekitar 421 kata yang menggunakan kata
"k-f-r" yang memiliki makna dan konteks beragam, jauh dari kesan tunggal
dan monolitik. Al-Qur'an juga banyak menyebutkan kelompok non-Muslim
khususnya dalam rumpun Agama Semit seperti Yahudi dan Nasrani sebagai
kelompok monoteistik yang berkitab suci dan "lurus" sebagaimana Islam.
Dalam konteks sejarah klasik dan kontemporer, penggunaan kata "kafir"
juga sangat variatif tergantung pada situasi dan kondisi
sosial-politik-budaya masyarakat itu serta kepentingan kelompok-kelompok
tertentu. Kafir menurut orang dan kelompok tertentu, belum tentu kafir
menurut orang dan kelompok lain. Tidak kafir menurut orang dan kelompok
tertentu, tidak menjamin tidak kafir juga menurut orang dan kelompok
lain.
Dari aspek kajian sejarah kebahasaan, kata "kafir" awalnya
sangat "netral" seperti laiknya kata-kata lain, tidak mengandung
konotasi peyoratif yang merendahkan orang atau umat lain. Kata ini pada
mulanya juga tidak ada sangkut pautnya dengan masalah keimanan
seseorang. Semua orang yang melakukan aktivitas "menutupi atau
menyembunyikan" sesuatu disebut sebagai "kafir". Ia bisa saja berdimensi
teologi-keagamaan, moralitas-kemanusiaan, politik-pemerintahan, ataupun
tradisi-kebudayaan.
Dalam konteks inilah maka kata "kafir" ini
bisa sangat elastis dan fleksibel dan bisa dikenakan kepada siapa saja
(yang melakukan aktivitas "menutupi" dan "menyembunyikan" tadi) tidak
peduli Muslim atau bukan. Petani bisa disebut "kafir" karena telah
menutupi benih dengan tanah. Koruptor juga bisa disebut sebagai "kafir"
karena telah menutupi dan menyembunyikan uang-uang haram baik dengan
menyimpan di bank-bank di luar negeri maupun dengan praktek money
laundry.
Hakim, jaksa, polisi, atau pengacara bisa juga disebut
"kafir" kalau mereka menutupi dan menyembunyikan kebenaran perkara dan
keadilan. Kalau Anda mempunyai "istri-istri simpanan" juga bisa disebut
"kafir" he he. Kalau Anda menutupi atau menyembunyikan prestasi gemilang
seseorang hanya untuk mengusung orang lain yang Anda favoritkan, pada
hakekatnya Anda juga "kafir". Demikian seterusnya. Jadi, jelasnya, kata
"kafir" ini tidak melulu berdimensi teologi-keagamaan (misalnya "orang
yang telah menutupi kebenaran keimanan") seperti yang banyak
disalahpahami oleh (sebagian besar) umat Islam. Selamat berhari Minggu,
eh salah, "Ahad" maksudku. Minggu kan "hari kafir" he he (bersambung).
Jabal Dhahran, Arabia. Postingan Prof. DR.Sumanto Al Qurtuby
0 komentar:
Post a Comment