LOKER OTOMOTIF

Thursday, January 19, 2017

Pembantu Lebih Galak dari Majikan

Ungkapan "pembantu lebih galak dari majikan" atau "anjing herder lebih garang dari majikan" kadang ada benarnya juga. Lihat saja, misalnya, fenomena merebaknya kelompok "Wahabi KW" dan "Wahabi mualaf" atau Wahabi anyaran di Indonesia dewasa ini. Mereka betul-betul lebih galak dan lebih garang dari "Wahabi ori" dan "Wahabi lawas" di Saudi atau Qatar.

Kolega dan murid-muridku yang "Wahabi" (saya pakai "tanda kutip" karena kebanyakan dari mereka lebih sreg disebut Salafi. Dulu kelompok ini menamakan diri "Muwahhidun" karena doktrin tauhid yang kuat) itu banyak tetapi beraneka ragam tingkat pengamalan "ajaran" dan ekspresi ke-Salafi-annya: ada yang moderat, konservatif, pragmatis. Meskipun berbeda-beda, mereka tidak saklek dan "kaku-njeku" seperti tiang listrik atau patung Nyonya Meneer dalam mengimplementasikan norma-norma kesalafian dan keislaman.


Bahkan yang konservatif pun, mereka tidak main paksa apalagi ngamuk-ngamuk sambil mengkopar-kapirkan orang / kelompok lain. Konservatisme buat mereka hanya berlaku "ke dalam" (untuk diri sendiri) bukan "ke luar" (untuk orang lain). Dengan kata lain, ke dalam mereka "intoleran", ke luar mereka toleran. Misalnya, meskipun mereka mengharamkan musik, film, atau rokok tetapi menghormati orang lain yang mendengarkan musik, menonton film, dan merokok kebal-kebul. Begitu pula, meskipun mereka berjenggot lebat tetapi menghargai orang lain yang tidak suka memelihara jenggot.

Yang menarik adalah pandangan mereka tentang busana gamis atau jubah. Mereka sama sekali tidak memandang mengenakan pakaian gamis atau jubah itu dalam rangka untuk "nyunah rasul" atau mengikuti Nabi Muhammad. Mereka memakai gamis/jubah semata-mata karena menganggap itu pakaian tradisional mereka saja yang sayangnya kini mulai tergerus oleh busana modern (jeans, kaos, baju, dlsb).

Bagi mereka, Nabi Muhammad memakai jubah karena beliau adalah bagian dari masyarakat Arab yang hidup dalam kultur Arab itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah "lebih relijius" atau tidak, "lebih bermoral" atau tidak. Yang menentukan kualitas relijiusitas dan moralitas seseorang itu buat mereka bukan masalah jenis pakaian (gamis atau bukan) melainkan adab, tata-cara dan etika berpakaian di ruang publik. Mereka juga sama sekali tidak mempermasalahkan orang lain untuk berbusana sesuai dengan kebudayaan dan pilihan masing-masing individu. Karena itu di kampusku, mereka sangat warna-warni dalam berbusana bukan melulu pakai gamis saja tapi juga pakai jeans, kaos, baju, katok kolor, training, dlsb.

Sebagai antropolog, saya juga respek dengan pilihan masing-masing individu. Misalnya, saat saya menggunakan film dokumenter sebagai medium mengajar, saya selalu mempersilakan kepada murid-muridku yang memandang menonton film itu haram untuk keluar ruangan saat pemutaran film tetapi mereka harus kembali ke kelas saat film usai untuk mendiskusikan konten film. Biasanya ada 2-3 murid yang minta ijin untuk keluar ruangan. Saya juga sama sekali tidak mempermasalahkan mereka mau berjenggot atau tidak, berjubah atau tidak. Buatku itu nggak penting.

Teman dan murid-muridku yang Arab Salafi ini bahkan mengecam keras kelompok-kelompok Islam yang mengatasnamakan Salafi tetapi menggunakan cara-cara intoleransi dan kekerasan dalam menyampaikan pesan-pesan universal keislaman.

Jabal Dhahran, Arabia

0 komentar: