Ungkapan "pembantu lebih galak dari majikan" atau "anjing herder
lebih garang dari majikan" kadang ada benarnya juga. Lihat saja,
misalnya, fenomena merebaknya kelompok "Wahabi KW" dan "Wahabi mualaf"
atau Wahabi anyaran di Indonesia dewasa ini. Mereka betul-betul lebih
galak dan lebih garang dari "Wahabi ori" dan "Wahabi lawas" di Saudi
atau Qatar.
Kolega dan murid-muridku yang "Wahabi" (saya pakai
"tanda kutip" karena kebanyakan dari mereka lebih sreg disebut Salafi.
Dulu kelompok ini menamakan diri "Muwahhidun" karena doktrin tauhid yang
kuat) itu banyak tetapi beraneka ragam tingkat pengamalan "ajaran" dan
ekspresi ke-Salafi-annya: ada yang moderat, konservatif, pragmatis.
Meskipun berbeda-beda, mereka tidak saklek dan "kaku-njeku" seperti
tiang listrik atau patung Nyonya Meneer dalam mengimplementasikan
norma-norma kesalafian dan keislaman.
Bahkan yang konservatif
pun, mereka tidak main paksa apalagi ngamuk-ngamuk sambil
mengkopar-kapirkan orang / kelompok lain. Konservatisme buat mereka
hanya berlaku "ke dalam" (untuk diri sendiri) bukan "ke luar" (untuk
orang lain). Dengan kata lain, ke dalam mereka "intoleran", ke luar
mereka toleran. Misalnya, meskipun mereka mengharamkan musik, film, atau
rokok tetapi menghormati orang lain yang mendengarkan musik, menonton
film, dan merokok kebal-kebul. Begitu pula, meskipun mereka berjenggot
lebat tetapi menghargai orang lain yang tidak suka memelihara jenggot.
Yang menarik adalah pandangan mereka tentang busana gamis atau jubah.
Mereka sama sekali tidak memandang mengenakan pakaian gamis atau jubah
itu dalam rangka untuk "nyunah rasul" atau mengikuti Nabi Muhammad.
Mereka memakai gamis/jubah semata-mata karena menganggap itu pakaian
tradisional mereka saja yang sayangnya kini mulai tergerus oleh busana
modern (jeans, kaos, baju, dlsb).
Bagi mereka, Nabi Muhammad
memakai jubah karena beliau adalah bagian dari masyarakat Arab yang
hidup dalam kultur Arab itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
"lebih relijius" atau tidak, "lebih bermoral" atau tidak. Yang
menentukan kualitas relijiusitas dan moralitas seseorang itu buat mereka
bukan masalah jenis pakaian (gamis atau bukan) melainkan adab,
tata-cara dan etika berpakaian di ruang publik. Mereka juga sama sekali
tidak mempermasalahkan orang lain untuk berbusana sesuai dengan
kebudayaan dan pilihan masing-masing individu. Karena itu di kampusku,
mereka sangat warna-warni dalam berbusana bukan melulu pakai gamis saja
tapi juga pakai jeans, kaos, baju, katok kolor, training, dlsb.
Sebagai antropolog, saya juga respek dengan pilihan masing-masing
individu. Misalnya, saat saya menggunakan film dokumenter sebagai medium
mengajar, saya selalu mempersilakan kepada murid-muridku yang memandang
menonton film itu haram untuk keluar ruangan saat pemutaran film tetapi
mereka harus kembali ke kelas saat film usai untuk mendiskusikan konten
film. Biasanya ada 2-3 murid yang minta ijin untuk keluar ruangan. Saya
juga sama sekali tidak mempermasalahkan mereka mau berjenggot atau
tidak, berjubah atau tidak. Buatku itu nggak penting.
Teman
dan murid-muridku yang Arab Salafi ini bahkan mengecam keras
kelompok-kelompok Islam yang mengatasnamakan Salafi tetapi menggunakan
cara-cara intoleransi dan kekerasan dalam menyampaikan pesan-pesan
universal keislaman.
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment