LOKER OTOMOTIF

Wednesday, February 8, 2017

Politik Ulama dan Ulama Politik

Setiap kali pagelaran politik digelar--apakah itu bernama Pilpres, Pemilu Parpol, Pilkada--para ulama dan tokoh agama ikut sibuk menjadi "corong” atau "echo” para politisi dan kandidat atau pasangan calon (paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang ikut terjun langsung menjadi "paslon” dan "cawan” (calon dewan) bersaing dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.

Tentu saja tidak ada salahnya jika ada ulama yang terjun langsung menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat. Itu sah-sah saja. Berpolitik praktis adalah hak setiap individu. Yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk ke gelanggang kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang profan dan cenderung berpotensi korup itu. Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni kualitas individual, integritas moral, dan kemampuan untuk memahami politik dengan baik.

Ulil: Antara Cendekiawan dan Politisi

Beberapa hari terakhir ini banyak pihak yang minta saya menanggapi tentang sikap Mas Ulil (Ulil Abshar Abdalla) yang belakangan gencar "menyerang" dan "mengkritik" Ahok (atau Jokowi). Menanggapi sikap Mas Ulil ini, ada yang menyayangkan tapi ada pula yang kemudian "meledek" atau "menyerang balik" Mas Ulil sebagai intelektual yang tidak konsisten dengan gagasan dan pemikirannya selama ini. Ada pula yang menganggap Mas Ulil sekarang sudah berubah, tidak lagi seperti dulu yang liberal-pluralis dan kontra-konservatisme.

Berbeda dengan yang lain, saya menanggapinya dengan santai, biasa, dan wajar saja. Saya kenal Mas Ulil sudah sejak lama, lama sekali. Beliau adalah teman baik sekaligus seniorku yang saya hormati. Waktu kuliah di AS dulu, kami juga pernah sama-sama tinggal di Newton, Boston, dan kami sama-sama alumni Boston University. Kami juga sama-sama mendirikan NU Amerika dan Kanada, bersama sejumlah teman lain seperti Syaikh Akhmad Sahal, Syaikh Achmad Munjid, Syaikh Achmad Tohe, dlsb (sengaja saya sebut yang ada "Ahmad"-nya saja he he, mohon maap bagi yang lain).

Konsep "Negara Islam" Itu Sekuler (2)

Seperti saya jelaskan sebelumnya, ide atau konsep "Negara Islam" itu adalah profan-sekuler, bukan sakral-relijius, karena konsep ini merupakan buah dari ijtihad, tafsir, pemikiran dan pemahaman manusia atas sejumlah ayat, teks, dan diskursus keislaman. Apapun yang lahir dari kreativitas pemikiran-kebudayaan manusia, maka itu adalah sekuler.

Dalam konteks ini, maka kosnsep "Negara Islam" itu sama dengan konsep negara lainnya yang dibangun atas dasar atau dipengaruhi oleh sejumlah filosofi tertentu. Yang berbeda adalah fondasi filosofi atau sumber inspirasi negara tersebut. Misalnya, jika "Negara Islam" dibangun atas dasar atau diengaruhi oleh sejumlah teks dan wacana keislaman, maka "Negara Komunis" dibangun atas, dipengaruhi oleh, atau bersumber dari filosofi "Komunisme". Begitu pula negara-negara lain yang mengklaim sebagai "Negara Demokrasi" dibangun atas dasar sejumlah filosofi seperti liberalisme dlsb.

Konsep "Negara Islam" itu Sekuler

Anggapan sejumlah tokoh, sarjana, dan kelompok Islam di Indonesia (dan juga berbagai negara lain) bahwa konsep "Negara Islam" itu yang paling "agamis", "Islami", "Qur'ani", atau bahkan "Allahi" (maksudnya, sesuai dengan "kehendak Allah") itu sama sekali tidak benar. Semua konsep sistem politik-pemerintahan atau sistem ekonomi--apapaun namanya--adalah sekuler, dalam pengertian "produk pemikiran kebudayaan manusia".

Sebagaimana sistem-sistem politik-pemerintahan lain yang ada di muka bumi dewasa ini, konsep "Negara Islam" (atau "daulah islamiyah") adalah buah dari ijtihad, pemahaman, tafsir, dan pemikiran sekelumit umat manusia, baik para sarjana-ideolog maupun politisi-aktivis Muslim, sebagai bentuk respons atas perkembangan sosial-politik-ekonomi yang terjadi di wilayah mereka masing-masing. Apapun yang namanya "produk pemikiran kebudayaan manusia" itu bersifat profan-sekuler bukan sakral-relijius. Jadi jangan mau dikibulin oleh kaum propagandis ideologi itu.

Imajinasi Jihad di Jalan Allah

Kalau dilihat dari foto ini (itupun kalau bukan hoax alias "foto editan" he he), sepertinya Pak Ustad Arifin Ilham sedang semangat latihan perang-perangan menggunakan parang. Ciaattt ciaaatttt. Mungkin ia sedang kangen dan merindukan suasana masa lampau Islam. Pak ustad yang hobi mewek dan nangis-nangis kalau ceramah ini juga beberapa kali menyerukan "jihad" (maksudnya "perang") dengan heroiknya dan "gagah perkasa".

Jihad melawan siapa? Mau jihad dimana? Jihad melawan Pak Jokowi dan pemerintah? Itu mah bukan jihad namanya bro. Kalian baru "valid" melakukan jihad di Indonesia, kalau hak-hak seorang Muslim untuk beribadah dan berekspresi dibatasi dan diberangus seperti dulu zaman pemerintah kolonial. Lah sekarang, kalian bebas-merdeka mau melakukan apa saja gak ada masalah. Mau haji atau umrah puluhan kali silakan. Mau bikin masjid / musalla di tiap gang silakan. Mau bengak-bengok ceramah silakan. Bahkan sangking bebasnya, kalian bisa salat seenaknya di jalan raya, kan? Yang itu susah terjadi kalau bukan di Indonesia mas bro. Jihad itu kalau melihat pemerintah telah berbuat jahat dan kekerasan serta korup dan menindas rakyat. Itupun tidak perlu pakai pedang kaleee. Jadul amat.

Tugas Utama Umat Beragama

Bagiku, tugas utama umat beragama itu bukan untuk mengagamakan manusia, bukan pula untuk mengafirkan manusia, apalagi untuk "menuhankan" manusia. Tapi untuk memanusiakan manusia. Selama Anda masih sibuk mengagamakan, mengafirkan, dan "menuhankan" manusia, maka sejatinya Anda belum beragama meskipun mungkin di KTP, Anda mencantumkan agama idolamu. Tapi ingat: agama idolamu itu belum tentu "agama idola" Tuhan. Bahkan Tuhan sendiri tidak jelas agamanya apa atau punya agama atau tidak, kan?

"Wayang Itu Haram!" Haram Lambemu...

Wayang (Bahasa Jawa Krama: "ringgit"), konon dari kata "bayang", adalah sebuah pertunjukan seni tradisional yang sudah sangat klasik dan membudaya bagi masyarakat Indonesia. Sejarah dan asal-usul wayang di Indonesia bisa jadi dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Budha India (atau Tiongkok). Sikitar abad ke-10 M, sudah ada inskripsi "Si Galigi Mawayang" (Tuan Galigi Bermain Wayang). Itu menunjukan tradisi wayang sudah sangat tua di Nusantara.

Ada banyak jenis wayang di Indonesia: wayang kulit, wayang golek, wayang orang, wayang potehi (yang ini berasal dari Tiongkok), wayang suket (ini dipopulerkan oleh Ki Slamet Gundono), wayang menak, wayang gedog/wayang topeng, wayang klitik, wayang beber, wayang sadat, wayang wahyu, dlsb.

Diantara sekian jenis wayang, saya kira wayang kulit yang paling populer, mengakar dan membudaya sehingga UNESCO dulu, tahun 2003, pernah menganugerahi wayang kulit sebagai "Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity" yang mengsyarakatkan warga Indonesia untuk memelihara tradisi dan seni adiluhung ini.

Sejarah Islam di Tiongkok (5)

Lanjutan Sejarah Islam di Tiongkok (4)

Jika pada masa Dinasti Tang dan Dinasti Song, komunitas Muslim belum menunjukkan peran maksimal (simak "Kuliah Virtual" sebelumnya), maka pada masa Dinasti Yuan, umat Islam mulai memegang peran penting dan central di China (Tiongkok). Berdiri secara resmi pada tahun 1271, Yuan adalah dinasti yang dikontrol oleh etnik Mongol yang sebelumnya sukses menggulingkan Dinasti Song (Sung) yang dikendalikan oleh etnik Han.

Sejak akhir abad ke-12 / awal abad ke-13, Mongol adalah kekuatan besar di seantero Asia dan Timur Tengah. Mongol menjadi kerajaan superpower sejak Jenghis Khan (w. 1227) berhasil menyatukan sejumlah suku nomad di berbagai kawasan di Asia. Kelak, Imperium Mongol mengalami masa kejayaan yang gemilang di tangan para cucu Jenghis Khan, terutama Hulagu Khan dan Kubilai Khan.

Tuesday, January 31, 2017

Yahudi di Arabia dan Timur Tengah (3)


Tidak seperti Kristen yang cukup terbatas populasinya di sekitar Semenanjung Arabia (kini: Arab Saudi dan Yaman), eksistensi umat Yahudi cukup signifikan di kawasan ini jauh sebelum Nabi Muhammad mewartakan Islam pada abad ke-7 M. Umat Yahudi ini tersebar di berbagai daerah di Semenanjung Arabia utara: Khaibar, Madinah (dulu: Yasrib), Makah, Jeddah, dlsb.

Di "Yaman Kuno", umat Yahudi juga eksis terutama sejak Kerajaan Himyar (al-Mamlakah al-Himyar, berdiri sejak 110 SM) konversi ke Yahudi pada tahun 380 M meninggalkan tradisi politeisme. Salah satu Raja Arab Yahudi dari Kerajaan Himyar yang sangat populer adalah Tubba Abu Karab As'ad (memimpin antara 390-420) yang kemudian agresif melakukan "Yahudiisasi" di Semenanjung Arabia.

Saturday, January 28, 2017

Yahudi di Arabia dan Timur Tengah (2)


Meski judulnya berbeda, postingan ini adalah kelanjutan dari "kuliah virtual" sebelumnya yang berjudul "Arab Yahudi, Yahudi Arab, dan Suku-Suku Yahudi di Jazirah Arab". Bagi yang kemarin "mbolos sekolah", silakan baca dulu postinganku itu supaya nyambung. Kata "Arabia" yang saya maksud di judul ini adalah Semenanjung Arab yang wilayahnya kini mencakup Arab Saudi dan Yaman, dua wilayah yang sangat penting dalam formasi Islam awal.

Secara garis besar, ada dua kelompok atau komunitas Yahudi di Arab dan Timur Tengah dewasa ini. Pertama, Yahudi Mizrahi atau Mizrahim atau al-Masyriqiyyun (kadang disebut "Yahudi Timur"), yaitu komunitas "Yahudi asli" (native) Timur Tengah yang nenek-moyangnya sudah ada sejak zaman biblikal sekitar 1,500 SM. Mereka tinggal di berbagai kawasan Arab dan Timur.

Arab Yahudi, Yahudi Arab, dan Suku-Suku Yahudi di Jazirah Arab

Topik "kuliah virtual" kali ini cukup rumit dan perlu konsentrasi ekstra untuk mencernanya. Sebelum saya jelaskan tentang topik ini, perlu Anda pahami dulu konsep dan istilah Arab dan Yahudi ini supaya tidak simpang siur dan salah paham yang kemudian berpotensi mengantarkan pada "paham yang salah" he he.
Arab adalah sebuah "entitas etnik". Konon, etnik Arab ini terbesar kedua di dunia (sekitar 450 juta) setelah etnik Han di Tiongkok. Mereka tidak hanya tinggal di kawasan Afrika dan Timur Tengah saja tetapi juga di berbagai belahan dunia ("Arab Diaspora"), termasuk Amerika, Eropa, dan Asia.

Sebagai sebuah etnik, Arab terbagi menjadi ribuan suku, sub-suku, dan klan. Mereka juga tinggal di berbagai negara, tidak hanya di 22 negara yang tergabung di Liga Arab saja tetapi juga di negara-negara lain di "bumi yang tidak datar" ini, termasuk di Indonesia. Perlu diketahui, tidak semua orang Arab yang tinggal di kawasan "Arab diaspora" diluar Timur Tengah itu bisa berbahasa Arab (membaca, menulis, dan "bercakap") karena sudah ratusan tahun tinggal di daerah baru dan beradaptasi dengan bahasa dan budaya masyarakat setempat.

Wednesday, January 25, 2017

Arab Tak Berarti Habib (10)

Setelah kekuasaan Syarif Husain yang keturunan Ali bin Abi Talib rontok di Makah pada tahun 1924, ia beserta keluarganya migrasi ke Transjordan (kini: Yordania) menyusul putranya. Sekitar tiga tahun sebelumnya, 1921, putra Syarif Husain kedua (Abdullah) sudah menjadi seorang amir (raja) di Emirat Trans-Yordania (Emirate of Transjordan), yang didirikan atas bantuan Inggris, dan memang waktu itu menjadi proktektorat (daerah perlindungan) Inggris.

Wilayah Transjordan itu dulu meliputi Yordania, Suriah dan Palestina. Sudah sejak 1916, Syarif Husain memimpin "Revolusi Arab" untuk melawan kekuasaan Turki Usmani (Ottoman). Revolusi ini disokong oleh Inggris, Perancis, suku-suku Arab Badui lokal, serta komunitas Kristen dan Kirkasia. Dulu, beberapa negara Eropa berkongsi untuk menggembosi kekuasaan Turki di Arab dan Timur Tengah. Mereka berpartner dengan kelompok lokal mana saja yang bersedia dijadikan sebagai "mitra koalisi". Tentang sejarah Transjordan, akan saya jelaskan di kemudian hari (insya Allah).

Monday, January 23, 2017

Para Orientalis Barat Pro-Islam

Setiap membicarakan tentang kaum orientalis, umat Islam di Indonesia biasanya langsung berpikiran negatif, yakni bahwa kaum orientalis itu jahat, anti-Islam, pembenci Muslim beserta budayanya, dlsb. Bagi sebagian mereka, kaum orientalis (baik yang "klasik" maupun kontemporer, baik dari Eropa maupun Barat pada umumnya) adalah musuh Islam dan umatnya.

Bahkan oleh sebagian tokoh, kelompok dan ormas Islam di Tanah Air, kaum orientalis ini dijadikan sebagai materi pengajian, dakwah, dan khotbah Jum'at serta bahan kampanye dan propaganda hitam anti-Barat (dengan demikian anti-Kristen dan Yahudi).

Biasanya yang dijadikan "andalan" rujukan adalah sosok seperti Christian Snouck Hurgronje (w. 1936), seorang sarjana dan orientalis Belanda yang juga penasehat politik pemerintah Belanda dulu. Ia pernah "menyamar" menjadi Muslim dengan nama Abdul Ghaffar dan tinggal beberapa bulan di Makah untuk mengamati aktivitas umat Islam Indonesia disana. Perlu kajian lebih intensif mengenai karya-karyanya tentang "sosok fenomenal" dan "sarjana prolifik" ini supaya lebih imbang dalam memahami pemikiran-pemikiran akademiknya.

Sunday, January 22, 2017

Arab Tak Berarti Habib (9)


Di kalangan umat Islam, sebutan atau panggilan untuk anak-cucu atau keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Binti Nabi Muhammad itu bermacam-macam. Di sebagian kawasan Arab Teluk (Saudi, Oman, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait), mereka dipanggil "syarif" atau "sayyid" untuk laki-laki, "syarifah" atau "sayyidah" untuk perempuan. Tetapi sebutan ini hanya dikenal di kalangan atau kelompok Islam tertentu saja karena pengaruh "kaum sadah" (jamak dari kata "sayyid") atau "aysraf" (jamak dari kata "syarif") sangat minim di kawasan ini.

Tidak seperti di Yaman selatan atau di Indonesia, dimana kaum sadah sangat dihormati oleh masyarakat Muslim setempat sehingga mendorong munculnya sejumlah "habib palsu" supaya naik kelas dikit (seperti fenomena "habib bibza hat" itu he he), di Arab Teluk tidak demikian karena memang bukan kelompok Arab sadah yang memimpin, mengendalikan, dan menguasai masalah politik-pemerintahan, ekonomi, sosial-budaya, maupun wacana keagamaan dan dunia pendidikan.

Saturday, January 21, 2017

Arab Tak Berarti Habib (8)

Lanjutan  Arab Tak Berarti Habib (7) 

Dalam konteks modern, keturunan Ali bin Abi Thalib, baik dari jalur Fatimah binti Nabi Muhammad maupun dari jalur Fatimah binti Huzam al-Kullabiyyah (populer dengan sebutan Umm al-Banin dari Suku Bani Kilab) tersebar di berbagai negara. Sejumah sarjana berpendapat, jika keturunan Ali dan Fatimah binti Nabi Muhammad disebut "sadah" (sayyidat untuk permpuan) atau "asyraf" (syarifat untuk perempuan), maka keturunan Ali dan Fatimah binti Huzam disebut "alawi". Istilah alawi" juga dipakai untuk menyebut "pengikut Ali bin Abi Talib." Perlu penelitian dan kajian lebih lanjut dan serius tentang istilah dan kaum"alawi" ini mengingat ada sejumlah perselisihan pendapat.

Hati-hati, tidak semua nama kelompok Muslim dewasa ini yang menggunakan nama "alawi itu adalah "alawi" (keturunan Ali-Fatimah binti Huzam). Ada beberapa kelompok Islam dan "rezim Muslim" (baik yang berafiliasi politik, tasawuf atau sufisme, atau sekte keislaman tertentu) yang menggunakan nama "alawi" (atau "alevi" / "alavi", tergantung dialek bahasa mana yang dipakai).

Friday, January 20, 2017

Mari Kita Galakkan "Budaya Membaca"

Para bapak, ibu, sodare-sodare, ikhwan-ikhwat semuanye, mari kita galakkan dan kampanyekan "budaya membaca" agar akal-pikiran dan tindakan kita menjadi sehat-wal afiat.

Sering kali saya berpikir, kenapa ya orang-orang di Indonesia itu kok gampang sekali dimobilisasi untuk demo ini-itu, kampanye ini-itu, konser ini-itu, tetapi susah sekali kalau diajak untuk membaca karya-karya atau tulisan-tulisan berkualitas atau sekedar pergi sebentar ke perpustakaan atau toko buku. Mereka semangat '45 kalau diajak demo atau arak-arakan tetapi semangat '00 kalau diajak membaca.

Sejarah dan Asal-Usul Kata "Allah" (2)

Lanjutan dari artikel sebelumnya Sejarah dan Asal-Usul Kata "Allah"

Seperti saya jelaskan sebelumnya kata "Allah" sudah dikenal di kawasan Arab, khususnya Jazirah Arab dimana Islam lahir, jauh sebelum Nabi Muhammad memperkenalkan agama ini pada abad ke-7 M. Ada banyak bukti otentik tentang ini.

Misalnya, banyak masyarakat Arab pra-Islam dulu, termasuk ayah Nabi Muhammad sendiri, yang bernama "Abdullah" (Hamba Allah). Orang-orang Arab Kristen awal, seperti ditunjukkan dalam studi Ibnu Ishaq (w. 768), seorang sejarawan Muslim kenamaan dalam karya monumentalnya "Sirah Nabawiyah", juga banyak yang benama Abdullah.

Ekskavasi arkeologis atas reruntuhan situs-situs Arab Kristen pra-Islam (gereja, kuburan, martyrion, dlsb) di Jabal Ramm dan Umm al-Jimal di Yordania maupun di Yaman semasa Kerajaan Askum dan Himyar juga bayak ditemui inskripsi dan nisan para martir (syuhada) Arab Kristen yang bernama "Abdullah". Masyarakat Kristen Arab dulu pada zaman Imperium Partha, Romawi, Byzantium, dlsb di era pra-Islam banyak yang menjadi martir.

Kok Onta Sih?

Saya kadang mesam-mesem sendiri membaca berbagai komen ledekan atau bahkan umpatan terhadap orang-orang yang berseberangan dengan menggunakan nama-nama binatang. Setidaknya ada tiga hewan populer dan menjadi "selebritis papan atas" di Indonesia karena sering disebut-sebut untuk mengumpat orang lain yang "dibenci". Ketiga hewan yang menempati "top three" itu adalah anjing, babi, dan onta. Anda punya referensi nama-nama hewan lain?

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, babi dan anjing biasanya digunakan untuk mengumpat non-Muslim (khususnya umat Kristen), sementara onta dipakai untuk meledek dan mengumpat sekelompok umat Islam Indonesia yang biasanya "berdandan ala Arab" (atau sebut saja "Arab KW") yang suka berperilaku aneh-aneh he he. Tidak jelas siapa yang memulai. Tidak jelas juga kapan akan berakhir. Sepertinya sih masih akan bersambung seperti sinetron atau telenovela he he.

Thursday, January 19, 2017

Sejarah dan Asal-Usul Kata "Allah"

Apakah kata "Allah" sebagai nama Tuhan itu hanya digunakan oleh umat Islam saja? Jawabnya jelas: tidak. Berbagai kajian kesejarahan dan arkeologi menunjukkan bahwa kata "Allah" ini sudah ada jauh sebelum Islam lahir pada abad ketujuh di Makah, dan dipakai sebagai nama Tuhan oleh berbagai kelompok agama (baik monoteis maupun politeis) di Arab dan Timur Tengah kala itu. Ada banyak nama untuk menyebut "Tuhan" dalam tradisi masyarakat Arab waktu itu, termasuk "Allah" ini.

Hingga kini, selain umat Islam, nama "Allah" juga dipakai untuk menyebut "Tuhan" oleh sejumlah kelompok agama seperti umat Kristen Arab (Koptik, Maronite, Melkite, dlsb), Babisme (di Persi/Iran), umat Kristen Malta, dan Yahudi Mizrahi atau Mizrahim (Bahasa Arab: al-Masyriqiyyun), yaitu umat Yahudi "asli" Timur Tengah sejak era biblikal sampai sekarang.

Warna-Warni Jubah dan Abaya

Bagi sebagian orang yang belum paham, mereka menganggap pakaian jubah atau gamis (bagi laki-laki Arab) hanya berwarna putih, sedang abaya (bagi perempuan Arab) hanya berwarna hitam. Anggapan ini tidak benar. Jubah itu warna-warni: ada yang putih, hitam, cokelat, biru, abu-abu, dlsb. Warna putih biasanya dipakai saat musim panas karena bisa "mengahalau sinar matahari". Sementara warna-warna lain dipakai waktu musim dingin (biasanya December sampai Februari).

Bukan hanya warna saja, desain jubah sekarang juga sangat modern dan beragam. Ada bermacam-macam jenis jubah disini: jubah Emirati, Qatari, Omani, Kuwaiti, Bahraini, dlsb. Kita bisa dengan mudah mengenali dari desain jubah itu. Di Saudi sendiri juga ada bermacam-macam bentuk jubah: ada jubah Najdi, Hijazi, Ahsawi, Qatifi, Najrani, dlsb. Saya belum melihat "jubah Petamburani" disini he he. Apakah ada yang tahu, jubah model mana yang dipakai sebagian teman-teman Muslim di Indonesia?

Sejarah Islam di Tiongkok (4)


Selamat pagi (waktu Saudi) "murid-murid" di belahan dunia manapun kalian berada. Hari ini cik gu mau melanjutkan "kuliah virtual" yang sempat tertunda tentang sejarah dan perkembangan Islam di China (Tiongkok). Bagi yang ketinggalan pelajaran karena sering mbolos, silakan dibaca-baca dulu postingan-postinganku sebelumnya.

Seperti sudah saya jelaskan, Islam masuk ke Tiongkok sejak masa-masa awal perkembangan Islam di abad ketujuh Masehi yang bertepatan dengan Dinasti Tang di Tiongkok. Sejak wafatnya Nabi Muhammad, di era Khulafaur Rasyidin, Daulah Umayyah, dan Daulah Abbasiyah dan pasca-Islam Abbasiyah sudah terjalin relasi politik-ekonomi-budaya dengan sejumlah kekaisaran di Tiongkok: Tang, Song (Sung), Yuan, Ming, Ching. Hubungan ini terus berlanjut di era-era berikutnya.

Dinasti Tang dulu menyediakan tempat / daerah khusus untuk kaum Muslim yang disebut Fan Fang. Di era Kekaisaran Tang dan Song dulu, agama Islam disebut Dashi fa (atau ta-shi fa) atau "Hukum atau agama [orang-orang] Arab". Nama "Dashi" ini diambil dari "tashi" atau "tazi", yaitu sebutan orang-orang Persi terhadap Bangsa Arab.

Pembantu Lebih Galak dari Majikan

Ungkapan "pembantu lebih galak dari majikan" atau "anjing herder lebih garang dari majikan" kadang ada benarnya juga. Lihat saja, misalnya, fenomena merebaknya kelompok "Wahabi KW" dan "Wahabi mualaf" atau Wahabi anyaran di Indonesia dewasa ini. Mereka betul-betul lebih galak dan lebih garang dari "Wahabi ori" dan "Wahabi lawas" di Saudi atau Qatar.

Kolega dan murid-muridku yang "Wahabi" (saya pakai "tanda kutip" karena kebanyakan dari mereka lebih sreg disebut Salafi. Dulu kelompok ini menamakan diri "Muwahhidun" karena doktrin tauhid yang kuat) itu banyak tetapi beraneka ragam tingkat pengamalan "ajaran" dan ekspresi ke-Salafi-annya: ada yang moderat, konservatif, pragmatis. Meskipun berbeda-beda, mereka tidak saklek dan "kaku-njeku" seperti tiang listrik atau patung Nyonya Meneer dalam mengimplementasikan norma-norma kesalafian dan keislaman.

Spirit Mencari Ilmu Para Ilmuwan Muslim Abad Pertengahan

Saya tidak pernah berhenti mengagumi spirit yang menggelora para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan Islam (kira-kira 8-13/14 M yang sering disebut "Medieval Islam") dalam mengembara mencari ilmu pengetahuan dan kebijakan. Dalam sejarah, abad ini dikenal sebagai masa gemilang atau "era emas" (Golden Age) yang telah melahirkan ribuan para ilmuwan hebat dari berbagai disiplin yang karya-karya agung mereka masih banyak kita saksikan hingga dewasa ini.

Fez, Kairo, Makah, Damaskus, Baghdad, Kufah, Merv, Granada, dlsb adalah pusat-pusat pengetahuan dan peradaban Islam yang kaya-raya dan masyhur kala itu. Para santri Muslim (dan juga non-Muslim) mengembara dari satu kota ke kota lain untuk belajar, berguru dan menuntut ilmu di berbagai bidang dari para suhu yang mumpuni, baik Muslim maupun non-Muslim. Para suhu yang sudah mumpuni pun mereka tidak segan-segan belajar dari para suhu atau guru lain yang dipandang lebih mumpuni dan menguasai ilmu tertentu. Tidak peduli dari agama, mazhab dan aliran apa.

Beragama Itu dengan "Tafkir" bukan "Takfir"

Seandainya umat Islam betul-betul diharamkan melakukan atau menggunakan produk-produk budaya non-Muslim, mungkin mereka akan mirip seperti suku San Kalahari atau Bushmen di pedalaman Afrika selatan, suku Gabra di Kenya, suku Inuit di Kanada, dlsb yang nyaris tidak terjamah globalisasi, industrialisasi, modernisasi dan teknologi modern.

Coba kita perhatikan dengan seksama: produk kebudayaan (baik kebudayaan material maupun immaterial) apa sih yang bukan produk non-Muslim? Coba teliti dan simak baik-baik siapa yang bikin produk pakaian yang kita pakai, kendaraan yang kita naiki, mobil-mobil keren yang kita punyai (maaf saya gak punya mobil), ponsel yang kita gunakan, peralatan mandi yang kita pakai, atau bahkan minuman dan makanan yang kita konsumsi, atau medsos (Facebook, Twitter, dlsb) ini yang sebagian digunakan untuk mencaci-maki orang lain.

Kalender Hijri dan Masehi

Pagi tadi, di sela-sela mengajar, saya menanyakan kepada murid-murid Arabku tentang sistem penanggalan Hijri dan Masehi dan mendiskusikan tentang kalender yang dipakai di Saudi. Menurut mereka, kalender Hijri adalah sistem "penanggalan Islam" sedangkan Masehi adalah sistem "penanggalan Kristen".

Kedua sistem penanggalan ini, menurut mereka, hanya berbeda "sistem" saja: yang satu berdasarkan bulan, satunya lagi matahari. Tidak ada hubungannya dengan mana yang "lebih Islami" atau "tidak Islami". Jadi kita--umat Islam--boleh memakai kedua-keduanya secara fleksibel tergantung pada situasi dan kondisi.

Menjaga Indonesia sebagai "Rumah Bersama"

Di awal tahun baru ini, ijinkan saya menulis sebuah refleksi singkat mengenai "rumah" yang bernama "Indonesia". Saya tegaskan sekali lagi, Indonesia itu adalah "rumah bersama". Sejak awal, penghuni rumah ini sudah warna-warni, baik dari sisi etnis maupun agama. Sejak awal pula, bukan hanya kaum Muslim saja yang berkeringat memperjuangkan dan mempertaruhkan harta-jiwa-raga demi rumah Indonesia ini. Berbagai macam agama, ras, dan etnis turut memberi kontribusi pagi pendirian rumah ini.

Penegasan ini penting saya lakukan untuk mengingatkan kita semua karena belakangan ini, lantaran didorong oleh kepentingan dan motivasi politik-ekonomi-ideologi tertentu, sejumlah tokoh, ormas/lembaga, dan kelompok agama, khususnya Islam, berusaha mengklaim dan membajak "rumah" ini dengan mengatakan bahwa kaum Muslim-lah yang memperjuangkan dan membangun Indonesia ini dan karena itu wajib atau harus "dinomorsatukan". Tanpa deklarasi kewajiban menomorsatukan umat Islam-pun sebetulnya kaum Muslim sudah dinomorsatukan selama ini.

Gus Dur sebagai Teladan Bangsa

Jasad Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid boleh terkubur, tetapi spiritnya tidak pernah terkubur. Gus Dur tak pernah mati. Ia selalu "hidup" dan terus memberi penghidupan banyak orang meskipun raganya sudah dikebumikan. Tengoklah ke Jombang. Makamnya tak pernah sepi. Bahkan menjelma menjadi tempat wisata reliji yang selalu ramai dikunjungi banyak orang, baik Muslim maupun bukan. Gus Dur selalu memberi berkah baik saat ada maupun tiada. 

Dulu, ketika belum menjadi almarhum, Gus Dur selalu menjadi kontroversi: dibenci sekaligus dicinta. Bagi yang membenci, Gus Dur dianggap sebagai kiai dan tokoh Muslim yang pro-Kristen, pro-Konghucu, pro-Syiah, pro-Ahmadiyah, pro-minoritas, dan seterusnya. Ia dianggap lebih membela non-Muslim ketimbang Muslim. Anggapan itu keliru besar.

Mari Kita Wujudkan Pluralisme Agama di Masyarakat

Ini lanjutan “kuliah virtual” tentang pluralisme supaya lebih “ngeh” (jelas dan paham) karena saya perhatikan masih ada sebagian yang belum “ngeh” dengan penjelasanku tentang pluralisme kemarin. Saya sarankan bagi Anda yang belum membaca postinganku kali ini untuk membaca postingangku sebelumnya (“Antara Pluralitas dan Pluralisme”) supaya nyambung.

Seperti saya katakan sebelumnya, jika pluralitas atau keragaman adalah sesuatu yang bersifat alami (natural) sebagai anugerah, rahmat, atau pemberian Tuhan, maka pluralisme merupakan “konstruksi sosial” umat manusia untuk menyikapi fakta-fakta pluralitas tadi agar tetap tumbuh menjadi plural dan tidak berubah menjadi “bencana kemanusiaan”. Pluralitas harus dipandang sebagai sebuah “nikmat Tuhan” yang harus disyukuri, dirawat, dan dikelola dengan baik agar tidak berubah menjadi “bencana kemanusiaan” tadi.
Sayangnya, di masyarakat kita—dari dulu hingga sekarang—masih cukup banyak kelompok agama, etnis, suku, budaya, dlsb yang memandang pluralitas agama, etnis, suku, budaya, dlsb sebagai “malapetaka” dan “ancaman” terhadap eksistensi kelompok mereka. Karena overdosis kekhawatiran inilah, sejumlah kelompok melakukan berbagai macam cara untuk menolak pluralitas tadi dan pada saat yang sama memperkenalkan dan memaksakan “singularitas” alias penyeragaman agama, suku, etnis, budaya, dlsb yang dilakukan atas nama dogma, ideologi, negara, mazhab, supremasi etnis, dlsb.

Antara Pluralitas dan Pluralisme

Dalam kuliah virtual kali ini, saya ingin mengulas sedikit tentang konsep dan makna pluralitas dan pluralisme yang saya lihat masih banyak disalahpahami oleh komunitas agama, baik Muslim maupun non-Muslim. Gara-gara salah baca, salah paham, atau mungkin kurang akurat dan komprehensif dalam menelaah makna konsep pluralisme ini, dulu MUI pernah mengfatwa haram atas pluralisme. Alasan MUI waktu itu, kira-kira, paham pluralisme telah mencampur-adukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang secara esensial bertentangan dengan Islam sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Disini tampak sekali kalau MUI kebingungan membedakan antara pluralisme dengan sinkretisme, relativisme, atau singularisme.

Begini, pluralisme itu adalah semacam filosofi atau pandangan dunia untuk menyikapi fakta-fakta pluralitas atau kemajemukan secara terbuka, open-minded, dan toleran. Pluralitas adalah sesuatu yang bersifat alami, sedangkan pluralisme bersifat kultural. Tidak seperti pluralitas yang merupakan pemberian atau anugerah Tuhan, pluralisme adalah sebuah “prestasi” bersama dari kelompok agama, etnis, dan budaya yang berlainan untuk menciptakan sebuah “masyarakat bersama”. Dengan kata lain, pluralisme adalah sebuah proses pergumulan kreatif-intensif terhadap fakta pluralitas itu yang bertujuan menciptakan sebuah “komunitas bersama” yang saling menghargai keragaman dan keunikan masing-masing agama dan budaya. Pluralitas baru akan menjadi pluralisme, jika masing-masing umat bersedia membuka ruang dialog yang sehat dan pergumulan yang intensif.

Umat Islam Mestinya Berterima Kasih kepada Kaum Liberal

Banyak kaum Muslim di Indonesia (dan juga negara-negara mayoritas Muslim lain) yang begitu antipati terhadap kelompok liberal. Padahal, di negara-negara Barat, kaum liberalah yang banyak membantu dan membela kaum Muslim dari gempuran, olok-olok, dan pelecehan kaum konservatif. Kaum liberal ini pula, baik yang berafiliasi ke Kristen, Yahudi, sekularis, agnostic, ateis, dlsb yang membentengi umat Islam dari serangan kelompok Islamophobis yang sudah menjadi “industri” di Barat.

Liberalisme adalah sebuah filosofi atau “pandangan dunia” yang bertumpu pada ide-ide kebebasan dan persamaan dalam segala aspek kehidupan: keagamaan, kepercayaan, pendidikan, ekonomi, intelektualisme, dan hak-hak dasar kemanusiaan lain, tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, etnis, bahasa, dlsb.. Jika “liberalisme klasik” lebih menekankan pada aspek peranan kebebasan (liberty), maka “liberalisme sosial” lebih menekankan pada peranan persamaan (equality).

Para Ulama yang Membolehkan Mengucapkan "Selamat Natal"

Apakah semua ulama mengharamkan mengucapkan "Selamat Natal" seperti yang difatwakan MUI? Tidak. Ada banyak ulama yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" dengan berbagai dalil, alasan, argumen, dan pertimbangan.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, salah satu sumber utama pengharaman Natal sebetulnya berasal dari pendapat para ulama seperti Ibnu Taimiyah (w. 1328) atau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 1350) yang kemudian menjadi rujukan sebagian ulama kontemporer, khususnya yang mengikuti aliran atau tradisi "Salafisme". Perlu dicatat, ada banyak ulama dan sarjana Muslim modern yang tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah maupun Ibnu Qayyim yang dipandang tidak lagi akurat dan relevan.

Di antara ulama kontemporer yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" kepada para keluarga, teman, kolega, dlsb yang beragama Kristen adalah Sheikh Ali Jumuah (Ali Gomaa). Beliau adalah mantan Grand Mufti Mesir (2003-2013), profesor Hukum Islam di Universitas al-Azhar, Mesir, serta anggota Dewan Fatwa Mesir dan International Islamic Fiqh Academy. Beliau berargumen, pengharaman mengucapkan "Selamat Natal" sebagai pelanggaran serius terhadap substansi Islam sebagai agama rahmat yang memberikan kedamaian kepada semua umat manusia maupun esensi Islam dan Al-Qur'an yang sangat menghormati Yesus.

Fatwa Natal

Setiap menjelang Natal kok mesti ribut dan sibuk soal "fatwa Natal" sampai bosan aku mengomentari. Begini, terhadap fatwa sejumlah ulama dan institusi Islam seperti MUI yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal itu harus disikapi dengan santai dan biasa-biasa saja. Tidak perlu overdosis dalam bersikap. Tidak perlu reaksioner, dan tidak perlu "lebay-njeblay".

Kelompok yang reaksioner biasanya mengaggap ulama / lembaga ulama yang mengfatwakan haram bagi umat Islam untuk mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen sebagai kaum intoleran, anti-pluralisme, tidak berwawasan kebangsaan, dlsb. Sementara kelompok "lebay-njeblay" menggalang massa untuk mengawal fatwa sambil sweeping atribut-atribut Natal dimana-mana. Atribut-antribut Natal itu seperti ketupat atau opor ayam saat Idul Fitri gak ada urusannya dengan Natal apalagi "iman Kristen", jadi buang-buang energi saja antum ini he he.

Begini, tentunya para ulama yang mengfatwa haram bagi kaum Muslim untuk mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen itu juga didukung oleh dalil yang valid, tidak sembarangan. Jadi harus dihormati pendapat mereka. Biasanya dasar atau sebab pengharaman itu lantaran dengan mengucapkan Natal berarti umat Islam secara diam-diam telah mengakui kebenaran akidah Kristen.

Kenapa Orang Beragama Bersikap Intoleran?

Ada beberapa faktor yang membuat orang beragama bersikap intoleran dengan kelompok agama lain. Idealnya atau seharusnya, orang beragama itu toleran dan pluralis dalam bersikap. Bukan malah sebaliknya: intoleran dan anti-pluralisme. Lalu, apa faktor-faktor yang membuat orang beragama malah anti toleransi dan pluralisme?

Salah satu faktor mendasar adalah kuper alias kurangnya pengalaman, pergaulan, dan pergumulan dengan komunitas agama lain. Pengetahuan tinggi tidak menjamin seseorang bisa menjadi toleran dan pluralis jika tidak diiringi dengan pengalaman pergaulan dan pergumulan yang memadai dengan kelompok agama lain. Karena itu jangan heran, kalau ada banyak "orang pinter" tapi "keblinger" alias tidak ramah dengan keanekaragaman. Bahkan pengalaman pergaulan lintas-agama itupun tidak menjamin orang bersikap toleran, jika mereka tidak memiliki komitmen yang tulus untuk saling mengenali dan memahami keunikan masing-masing tradisi dan agama. Dengan kata lain, bukan sekedar “pengalaman empiris” tetapi “pengalaman transformatif” yang membuat sebuah pengalaman bisa lebih bermakna dan berdampak positif bagi muncul dan tumbuhnya sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis.

Kematian dan Dunia Lain

Apakah anda percaya dengan "dunia lain"? Apakah Anda percaya dengan makhluk "dunia lain"? Apakah Anda percaya kalau orang wafat sebetulnya tidak "wafat" tapi cuma "pindah hidup di dunia lain" saja? Apakah Anda percaya kalau orang-orang terkasih yang "wafat" sebetulnya tetap setia menjaga kita dari "dunia lain" itu? Dengan kata lain, sebetulnya tidak ada yang namanya "kematian" karena orang yang mati itu sebetulnya hidup hanya di dunia yang berbeda saja.

Setiap agama dan kepercayaan memiliki tafsir dan penjelasan sendiri-sendiri tentang kematian dan dunia lain. Setiap budaya dan masyarakat memiliki pemahaman masing-masing mengenai kematian dan hal-ikhwal dunia lain. Kaum agamawan dan sekularis, kaum teis dan ateis, semua memiliki tafsir sendiri-sendiri tentang kenapa orang mati dan bagaimana dengan situasi dunia lain paska kematian.

Membela Ahok = Membela Islam

Tidak bisa dipungkiri, Islam adalah agama yang memiliki komitmen kuat untuk membela kelompok tertindas (mustadh'afin)--siapapun mereka, apapun agama dan etnik mereka--karena memang agama ini lahir dalam "suasana ketertindasan".

Nabi Muhammad sendiri (dari klan Bani Hasyim dari Suku Quraisy) merupakan representasi dari kaum minoritas tertindas ini. Simak saja sejarah hidup beliau di Mekah penuh dengan kegetiran: dimusuhi, direndahkan, dicaci-maki, dikejar-kejar, dan berkali-kali diancam bunuh oleh para bandit dan elit politik-ekonomi Makah waktu itu seperti Abu Lahab, Abu Jahal dan gerombolannya.

Mereka memusuhi Nabi Muhammad karena eksistensi politik-ekonominya terancam dengan kehadiran beliau dengan Islam-nya yang anti terhadap sistem politik-ekonomi yang tiran dan eksploitatif dan meresahkan rakyat dan orang miskin. Nabi Muhammad membawa misi subuah sistem sosial dan tatanan politik-ekonomi yang egaliter, adil dan berperikemanusiaan. Karena itu jangan heran jika dalam Al-Qur'an bertebaran ayat-ayat tentang keadilan, egalitarisnisme, dan keberpihakan terhadap kelompok tertindas.

Aneka Ragam Pakaian Tradisional Saudi

Sebagaimana negara-negara lain, Saudi juga punya beraneka ragam "pakaian tradisional". Foto di bawah ini hanya contoh dari pakaian tradisional yang disebut "jubah Hijazi". Menarik diperhatikan setiap daerah di Saudi (Hijaz, Najran, Ahsa, Qatif, Najd, Afifi, dlsb) memiliki ciri khas pakaian tradisional. Bahkan setiap suku-suku besar juga memiliki "pakaian kebesaran" sendiri-sendiri lengkap dengan jenis pedang dan tutup kepala yang sangat unik.

Sayangnya, pakaian-pakaian tradisional di Saudi ini "hampir punah" diserbu oleh "pakaian modern" ala Barat. Sudah susah mencari pengrajin pakaian tradisional ini. Saya selalu sarankan kepada murid-muridku untuk tidak melupakan pakaian tradisional karena itu bagian dari identitas dan budaya masyarakat setempat. Tetapi kebanyakan mereka malu mengenakannya karena dianggap tidak modern, ketinggalan zaman, tidak modis, dlsb.

Sejarah Islam di Tiongkok


Seperti saya jelaskan sebelumnya, Islam pertama kali menjamah dataran Tiongkok sejak era Dinasti Tang (618–907) yang kemudian mengalami perkembangan signifikan pada masa Dinasti Song (960–1279). Kelak kaum Muslim mengalami “masa kejayaan” pada era Dinasti Yuan (1271 – 1368) yang dikontrol oleh Mongol dan puncaknya pada masa Dinasti Ming (1368–1644). Pada masa Dinasti Ming inilah hidup seorang legenda bernama Laksamana Cheng Ho atau Zeng He yang dipercayai sebagai seorang Muslim dan dikenal sebagai salah satu petualangan besar dunia.

Menurut catatan (annals) dari Dinasti Tang, orang-orang Arab dan juga Persia di Tiongkok dulu dikenal dengan sebutan Dashi (Tashi). Pada era Tang ini banyak kerja sama politik, ekonomi, dan budaya digelar dengan “rezim Islam” (baik Daulah Muawiyah maupun kelak Abbasiyah). Para tentara Muslim dulu juga dikerahkan untuk membantu Kaisar Su-Tsung untuk melawan kaum pemberontak yang ingin mengkudeta kerajaan di bawah pimpinan Jenderal An Lushan.

Masjid Canton dan Sejarah Islam di China

Ini melanjutkan “kuliah virtual” tentang sejarah dan perkembangan Islam di China (Tiongkok). China bukan hanya rumah bagi pemeluk Konghucu, Taoisme, Budha, atau pengikut non-teis dan ateis, tetapi juga umat Islam. Menurut data yang dirilis oleh Yang Zongde pada tahun 2010 dalam karyanya, Study on Current Muslim Population in China, ada sekitar 23 juta kaum Muslim di China atau sekitar 1,7% dari total penduduk. Dengan begitu, jumlah umat Islam di China jauh lebih besar ketimbang kaum Muslim di Qatar, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania, Palestina, dlsb. Arab Saudi saja sebagai negara paling luas dan gemuk di kawasan Arab Teluk hanya berpenduduk sekitar 30 juta.

Mayoritas Muslim di China beretnik Hui, kemudian Uyghur yang merupakan campuran etnik Turki yang mendiami kawasan Asia Tengah dan Timur. Xinjiang adalah kawasan Muslim terpadat di China, disusul Ningxia, Gansu, dan Qinghai. Sebagian besar penduduk Muslim China beraliran Sunni, meskipun pengikut Syiah juga lumayan banyak. Menariknya, tidak ada catatan tentang konflik Sunni-Shiah di China.

Mahasiswa Muslim di "Kampus Kristen"

Setelah sejumlah kelompok Islam di Bandung melakukan aksi norak membubarkan kebaktian Natal, kini giliran sekelompok umat Islam di Jogjakarta (konon dilakukan oleh ormas Forum Umat Islam seperti di foto yang saya cantuman disini) yang ikut-ikutan norak melarang UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana) menggunakan foto-foto Muslimah berjilbab dalam pamflet, poster, baliho, dlsb.

UKDW, sebagaimana almamaterku, UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga, bukan hanya rumah buat mahasiswa Kristen saja tetapi juga rumah buat mahasiswa Muslim dan Muslimah. Ada banyak sekali mahasiswa Muslim di kampus ini, baik yang S2/S3 apalagi S1. Di kampus-kampus ini, mereka bukan belajar Injil atau Teologi Kristen, melainkan belajar ilmu-ilmu umum di berbagai bidang keilmuan: ekonomi, bisnis, komputer, teknik, matematika, fisika, kimia, sampai ilmu-ilmu sosial, dlsb.

Kiai Kampung dan "Rebonding"

Suatu saat, Kiai Ahmad dari sebuah kampung di Jawa Tengah sedang jalan-jalan santai di kampungnya sehabis salat. Di tengah jalan ia bertemu dengan Mbak Wati tetangganya. Maka terjadilah percakapan singkat:
Kiai Ahmad: "Mbak Wati mau pergi kemana kok necis sekali?"
Mbak Wati: "Mau ke salon Pak Kiai".
Kiai Ahmad: Memangnya kenapa salonnya? Rusak ya?
Mbak Wati: Salon itu tempat potong rambut, kiai. Tapi saya mau 'rebonding', bukan potong rambut.
Kiai Ahmad: Rebonding itu apa?
Mbak Wati: Rebonding itu artinya "meluruskan". Jadi rambutku yang keriting ini mau saya luruskan di salon gitu pak.
Kiai Ahmad pun manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mbak Wati dan cukup senang mendapat kosa kata baru yang bernama "rebonding." Keesokan harinya, kebetulan ada acara pengajian muludan di kampung untuk mengenang Nabi Muhammad SAW.
Melihat para jamaah pengajian yang duduknya semrawut tidak karuan, Kiai Ahmad langsung menyambar mikrofon dan berkata lantang: "Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Para hadirin dan hadirot, bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, sebelum pengajian dimulai tolong tempat duduk kalian 'direbonding' dulu supaya teratur dan enak dipandang mata. Demikian dan terima kasih. Wassalam."

Jabal Dhahran, Arabia
Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby

Sejumlah Kelompok Islam Memang Norak

Apakah ada yang tahu asal-usul pembubaran kebaktian Natal jamaah Stephen Tong di Bandung? Kalau dari berita dan informasi yang saya terima, alasan sebuah kelompok Islam di Bandung yang membubarkan kegiatan agama ini karena mereka menggunakan fasilitas gedung umum untuk ibadah. Oleh kelompok ini, kebaktian Natal harus dilakukan di gereja, bukan di gedung umum.

Jika memang benar demikian alasan yang mereka kemukakan, maka pemikiran dan tindakan ini sudah cukup untuk mengukur betapa mininya otak mereka, betapa kerdilnya tindakan mereka, betapa cupetnya wawasan mereka.

Sejak kapan ada aturan sebuah ibadah agama harus dilakukan hanya di tempat ibadah masing-masing agama? Sejak kapan "gedung publik" tidak bisa digunakan untuk acara-acara keagamaan? Memangnya umat Islam tidak pernah memakai fasilitas atau sarana publik (gedung, jalan, kantor, dlsb) untuk menggelar ibadah? Bukankah umat Islam sering menggelar acara-acara keagamaan seperti Isra' Mi'raj, Mauludan, salat Jum'at, dlsb di gedung-gedung umum? Bukankah Monas yang barusan dipakai untuk salat Jum'at kolosal itu juga merupakan sarana publik? Kenapa mereka tidak membubarkan yang salat Jumat di Monas?
Seribu alasan bisa dibuat. Tapi itu tidak bisa menutupi fakta-fakta yang berserakan bahwa memang ada sejumlah kelompok Islam di Indonesia yang mengidap penyakit "Christianopobhia" seperti yang pernah saya tulis di Deutsche Welle. Lucunya, saya menulis ini ada yang menganggap saya sebagai "pemecah belah bangsa", "pro-Kristen", "anti Islam", dlsb.

Keluguan Rakyat, Kelicikan Elit

Saya ingin berbagi pengalaman tentang “demo massa” karena saya cukup lama menekuni “profesi” sebagai demonstran dan aktivis. Memahami “demo komunal” akan lebih baik jika menggunakan “teori piramid” karena “demo massa” itu selalu “by design”, tidak ada yang bersifat “alami”. Bisa juga menggunakan “teori panggung” karena demo massa sejatinya adalah sebuah panggung pertunjukan dimana di dalamnya ada banyak aktor atau pemain dengan berbagai peran plus sutradara dan penulis skenario.

Ada tiga komponen atau bagian dasar dalam sebuah piramid: atas, tengah, dan bawah. Lapisan atas piramid ini adalah simbol “kelompok elit” yang jumlahnya sedikit tapi mempunyai peran yang sangat besar dan sentral karena mereka mempunyai “power” dan “otoritas”. Merekalah yang memegang “tombol” sebuah pertunjukan atau drama bernama demo. Dalam sistem politik-pemerintahan feodal, kelompok elit ini diperankan oleh raja dan kroninya. Tetapi dalam sistem politik-pemerintahan non-feodal, kaum elit ini diperankan oleh gabungan dari sejumlah kelompok kepentingan (kepentingan politik, ekonomi, ideologi, dlsb): bisa (oknum) elit militer/polisi atau pensiunan elit militer/polisi, elit parpol, konglomerat / pengusaha, birokrat, cendekiawan, dlsb. Peran mereka kurang tampak di publik tapi jelas dan nyata sekali. Mereka hanya hadir (baik fisik maupun virtual, itupun kalau mau) di pertemuan-pertemuan terbatas untuk koordinasi sekedarnya. Kalau tidak sempat, ya cukup lewat telpon. Tetapi mereka paham apa yang harus dilakukan. Mereka berbagi peran: siapa melakukan apa. Mereka juga mengatur strategi dan taktik demo, menyiapkan Plan A, Plan B, Plan C, dan seterusnya.

Umat Islam yang Lucu dan Lugu

Saya sering berpikir, pantas saja umat Islam ini susah maju dan berkembang (misalnya index intelektualitasnya jeblok, ekonominya morat-marit) karena mereka—baik yang elit apalagi kalangan bawah—cara berpikir dan bertindaknya lucu-lucu dan lugu-lugu. Tetapi kalau “diingatkan”, “diluruskan” atau “diajak diskusi yang bener” malah marah-marah, ngamuk, mengapir-sesatkan, dan ngumpat-ngumpat sampai semua nama hewan di kebon binatang keluar semua.

Merasa paling agamis sendiri, paling Islamis sendiri, paling berakhlak sendiri, paling pintar sendiri, paling benar sendiri dan seterusnya adalah salah satu ciri menonjol dari orang-orang yang “serba kedikitan”: dikit otaknya, dikit ilmu pengetahuannya, dikit wawasannya, dikit pengalamannya, dlsb.

Sebetulnya “serba dikit” tidak apa-apa asal ada kemauan untuk mendengar, belajar, bergaul, dan menimba pengalaman, pengetahuan, dan kebijaksanaan dari yang lain. Orang-orang kampung itu misalnya adalah contoh dari orang-orang yang “serba dikit” tetapi mereka mau mendengar, belajar, bergaul, dan menimba pengalaman, pengetahuan dan kebijaksanaan dari yang lain sehingga mereka bisa bersikap toleran.

Banser Super

Banser memang super! Yang saya maksud dengan “banser” disini bukan “ban serep” (ban cadangan) tapi Barisan Ansor Serbaguna. Dulu, pada pertengahan tahun 1930-an, Banser ini bernama Banoe (Barisan Nahdlatul Oelama) yang merupakan”sayap serbaguna” dari ANO (Ansor [u] Nahdlatul Oelama) yang dibentuk tahun 1934 yang kemudian berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Selain ANO, dulu ada omas pemuda bernama Syubbanul Wathan atau “Pemuda Tanah Air” yang didirikan oleh “kiai patriotik” dan salah satu pendiri NU: KH Abdul Wahab Chasbullah (MbahWahab) pada tahun 1924.
Nama “Ansor” diambil dari sebutan para sahabat Nabi Muhammad dulu yang menolong Nabi Muhammad dan para sahabat yang berhijrah atau bermigrasi dari Makah ke Madinah (dulu bernama Yatsrib) karena diancam dan dikejar-kejar para “begundal tengik” kafir Arab Quraisy Makah. Diharapkan dengan menyematkan nama “Ansor” ini, GP Ansor dan Banser ini bisa mengambil hikmah dari para sahabat Ansor di Madinah di zaman Nabi Muhammad yang gigih menolong, membela dan melindungi nabi dan para sahabat (kaum Muhajirin).

Dalam konteks kekinian, sosok nabi dan sahabat “menjelma” menjadi ulama atau kiai di lingkungan NU. Karena itu jangan heran kalau Banser ini berjibaku dan rela mati demi membela para kiai yang diserang oleh sejumlah pihak yang tidak suka atau benci dengan kiai. Seperti belakangan ini ada beberapa “pemuda-pemudi ingusan” yang menghina KH Mustafa Bisri (Gus Mus) maupun KH Maimun Zubair (Mbah Maimun—kapan-kapan saya mau menulis sosok kiai kharismatik ini) langsung didatangi oleh Banser ke rumah masing-masing dan ditemani menghadap atau sowan Gus Mus dan Mbah Maimun di Rembang.
Agar bisa melakukan pengawalan para kiai-ulama ini, Banser “dibekali” dengan berbagai ilmu bela diri, ilmu kanuragan dan “kesaktian” serta dasar-dasar kemiliteran (baris-berbaris, penghormatan bendera, dlsb). Selain Banser, ada lagi yang bernama Pagar Nusa. Yang ini adalah kelompok pecak silat + ilmu-ilmu kekebalan dan kesaktian yang juga dalam wadah NU. Selain berjibaku membela ulama, Banser juga dididik untuk berjibaku membela Tanah Air Indonesia tercinta dari ancaman serbuan para kelompok makar dan anti-nasionalisme.

Qatar: “Negara Muslim” Tanpa “Lembaga Ulama”

Jika Libanon adalah negara mayoritas Muslim dengan struktur pemerintahan yang unik karena mengikuti “sistem konfesionalisme” untuk bagi-bagi kekuasaan antara Sunni, Shiah, Kristen, dan berbagai kelompok agama lain dalam struktur pemerintahan, maka Qatar memiliki keunikan sendiri, yakni negara ini tidak memiliki “lembaga ulama kolektif” (semacam MUI di Indonesia) maupun “Grand Mufti” (seperti di Saudi atau Yarusalem).

Sepertinya Qatar (Daulat Qatar), yang berbatasan dengan Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Iran ini, tidak begitu menganggap penting dengan lembaga ulama. Meskipun Qatar yang dipimpin oleh “Dinasti Al Thani” (anak-cucu Shaikh Jassim bin Muhammad Al Thani) “formalnya” mengikuti “Wahabisme” tetapi prakteknya cukup “liberal-sekuler”. Dengan kata lain, “de jure” agamis (misalnya, Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu basis sistem perundang-undangan, selain “hukum sipil”), de facto “sekuler.” Karakter masyarakatnya agak mirip-mirip dengan Turki.

Pemerintahan Muslim-Kristen di Lebanon

Libanon (atau “Libnan” dalam Bahasa Arab) yang nama resminya Republik Libanon (al-Jumhuriyah al-Lubnaniyah) merupakan salah satu negara mayoritas berpenduduk Muslim di kawasan Arab dan Timur Tengah yang cukup unik dalam struktur dan sistem politik-pemerintahannya. Negara yang berbatasan dengan Israel, Suriah dan Cyprus ini salah satu negara yang sangat majemuk, dari segi etnik, agama, maupun bahasa.

Kemajemukan itu adalah produk dari sejarah Libanon yang sangat panjang. Berbagai kerajaan, imperium, dan peradaban besar pernah silih-berganti menguasai Libanon: Mesir, Assyria, Babilonia, Persia, Ummayah, Abbasiyah, Fatimiyah, Roma, Saljuk, Mamluk, Ottoman, Perancis, Arab, dlsb. Sebagaimana Irak atau Afganistan, Libanon ini seperti “jalan raya penaklukan” karena berbagai rezim dan dinasti pernah singgah disini. Karena banyaknya bangsa-bangsa yang menduduki Libanon ini sehingga menciptakan sebuah masyarakat campuran dan “kultur Libanon” yang unik dan kaya. Bahasa yang berkembang di masyarakat juga beraneka ragam: Arab, Perancis, Inggris, Persi.

Fatwa Itu Tak Perlu Dikawal

Sebetulnya untuk apa sih “gerakan pengawal fatwa” itu? Fatwa itu tidak perlu dikawal dan tidak memerlukan pengawalan. Kalau anak-anak itu baru perlu dikawal kalau sedang main di tempat umum supaya aman dan tidak dicuri orang yang suka “menjualbelikan” anak. Orang tua yang sudah tua juga perlu dikawal kalau naik haji atau umrah supaya tidak nyasar di Makah. Pacar mungkin juga perlu supaya tidak “nyelonong” di pengkolan. Tapi kalau fatwa, buat apa dikawal? Kecuali kalau “Mbah Fatwa” itu mungkin baru bisa dikawal.

Fatwa itu hanya sebuah “pendapat”, tepatnya pendapat tentang masalah sosial-politik-keagamaan yang didasarkan pada sejumlah penafsiran dan pemahaman atas teks-teks keislaman tertentu. Biasanya ulama, fuqaha, hakim, atau “mufti” yang mengeluarkan “fatwa” ini. Fatwa ini bisa dikeluarkan oleh individu yang memiliki kualifiaksi sebagai “mufti” (atau pemberi fatwa), kelompok ulama, atau lembaga dan ormas keislaman.

Karena sebuah pendapat, maka fatwa itu beraneka ragam. Sejak zaman bahula sudah begitu. Masalah atau isu yang sama bisa menghasilkan keputusan hukum dan fatwa yang berbeda. Itu biasa saja. Semua tergantung pada sejauh mana penafsiran dan pemahaman atas teks-teks dan diskursus keislaman, kitab-kitab apa yang dipakai sebagai pedoman atau landasan berfatwa, metodologi apa yang digunakan untuk menggali hukum Islam, jenis ormas atau aliran apa yang mengeluarkan fatwa, termasuk kepentingan-kepentingan non-agama apa yang ada pada pembuat fatwa, dlsb. Itu belum termasuk pendapat ulama klasik mana yang dijadikan sebagai rujukan, pedoman dan pendukung fatwa. Setiap ulama masa kini punya ulama pavorit di masa lalu yang warna-warni.

Politik Salat dan Salat Politik

Apakah salat, termasuk salat Jum’at, boleh dilakukan di jalan raya? Boleh. Salat bisa dilakukan dimana saja: di masjid, rumah, kantor, kampus, lapangan, stadiun, hutan, padang pasir, kereta, pesawat, mobil, bajaj, dlsb. Di negara-negara Barat bahkan, karena keterbatasan masjid, banyak kaum Muslim yang melakukan salat di gereja atau tempat-tempat ibadah non-Muslim lain. Bahkan di kampung-kampung, banyak umat Islam yang salat di langgar. Jadi, salat “di langgar” saja boleh apalagi di jalan raya he he. Kalau masjidnya berada di pinggir jalan raya, kemudian jamaah salat Jum’atnya sangat banyak dan tak tertampung di masjid, akhirnya kan meluber ke jalan raya. Jadi, boleh kan salat di jalan raya?

Tetapi kalau banyak masjid yang masih kosong melompong kok kemudian ngotot mau salat berjamaah di jalan raya, itu namanya bukan “salat agama” tapi “salat politik”. Salat, seperti bentuk-bentuk ibadah ritual lain baik di Islam maupun di agama-agama lain, bukan hanya “tindakan ibadah” agama semata tetapi juga bisa disebut sebagai “aksi politik” kalau dilakukan dengan motif dan tujuan politik tertentu.

Negara Islam Itu Tidak Ada

Adakah "Negara Islam" itu? Tidak ada. Sekali lagi, tidak ada, dan tidak akan pernah ada di muka bumi ini. Dari zaman bahoela sampai nanti zaman "Lebaran Kuda" pun tidak ada itu barang yang namanya "Negara Islam".

Negara Islam itu hanya ada dalam "alam pikiran", "alam ide", "alam mimpi", tidak pernah dan tidak akan pernah ada dalam "alam nyata". Negara Islam itu tidak lebih sebagai "mitos" belaka yang diproduksi dan dipropagandakan oleh sejumlah kelompok Islam tertentu untuk kepentingan politik-kekuasaan tertentu.

Kalau negara yang didirikan atas dasar sejumlah pemahaman atau tafsir atas teks-teks keislaman, itu baru ada. Kalau negara yang konstitusinya secara resmi-formal mencantumkan Al-Qur'an, itu juga ada. Kalau negara yang hukum-hukumnya atau sistem perundang-undangannya didasarkan pada sejumlah diktum Hukum Islam, itu juga ada. Tetapi, sekali lagi, Negara Islam itu sendiri tidak ada.

Bedakan Antara "Kafir" dan "Kristen"

Saya kadang mesam-mesem membaca banyak "meme" dan pernyataan di medsos atau "dumay" tentang larangan "orang kafir" menjadi pemimpin (maksudnya, "kepala daerah") atas umat Islam. Tetapi yang "mereka" maksud dengan "orang kafir" itu adalah "Ahok yang Kristen". Mereka bilang ini amanat Kitab Suci (baca, Al-Qur'an) yang kedudukannya jauh lebih tinggi daripada "Konstitusi".

Kata "kafir" dan "Kristen" itu dua hal berbeda. Kata "kafir" itu sangat rumit dan kompleks sekali dalam Al-Qur'an. Ada sekitar 421 kali, Al-Qur'an menyebut kata "kafir" atau "kufr" dengan makna beragam dan konteks yang berbeda-beda tetapi muaranya kurang lebih sama, yaitu "menutupi sesuatu". Itulah sebabnya ada ayat Al-Qur'an yang menyebut petani itu "kafir" karena kerjaannya "menutupi benih di tanah". Demikian pula di ayat lain menyebut suku-suku di Mekah sebagai kafir karena menutupi kebenaran yang disampaikan Nabi Muhammad. Demikan seterusnya (silakan lihat postinganku sebelumnya).

Pemimpin, Akhlak, dan Kerja

Belum lama ini Aa Gym membuat komentar yang menarik dan menggelitik untuk ditanggapi. Ia mengatakan, kurang lebihnya begini, "Pemimpin itu tidak cukup bilang kerja, kerja, kerja tapi akhlak, akhlak, akhlak, baru akan dicintai oleh rakyatnya".

Saya kira ia benar bahwa seorang pemimpin politik-pemerinahan yang baik itu tidak hanya "bekerja" saja tetapi juga harus "berahlak". Hanya saja, menurut saya, ada sesuatu yang "ganjil" dalam pernyataan beliau, yang perlu dibahas lebih lanjut.

Misalnya, apa definisi "akhlak" itu? Apa kriteria orang atau pemimpin yang "berakhlak" itu? Dalam Bahasa Arab, kata "akhlak" itu merujuk pada pengertian kebajikan (virtue), moralitas, atau tindak-tanduk dan watak yang baik dan mulia. Kata ini merujuk pada hal-ikhwal yang menyangkut "kemanusiaan" bukan "ketuhanan", masalah "keduniaan" bukan "keakhiratan".

Jatuh Bangun Relasi Ulama dengan Pemerintah

Dalam sejarah Islam, hubungan antara ulama dan pemerintah itu naik-turun. Kadang ulama berada diluar pemerintah, kadang di dalamnya. Lain waktu sebagai pengkritik pemerintah, lain waktu lagi sebagai penyokong pemerintah. Kadang ulama dikotrol pemerintah, kadang malah pemerintah yang dikontrol oleh ulama. Kadang mereka rukun bekerja sama, kadang mereka saling bermusuhan.

Para ulama pernah menggalang perlawanan melawan "rezim pemerintah" seperti terjadi di Libya, Iran, Lebanon, Afganistan, atau Indonesia di masa Hindia Belanda. Sebaliknya, rezim politik-pemerintah juga pernah menumpas atau mengebiri para ulama sejak zaman kekhalifahan dulu sampai di era paska-kolonial. Fenomena "jatuh-bangunnya" ulama ini bukan hanya terjadi di Sunni saja tapi juga di komunitas Syiah, Ibadiyah, Mu'tazilah, dlsb.

Jika dulu pada era pra-Turki Usmani (Ottoman), para ulama masih sebagai "sarjana individu" diluar gerbong pemerintah (kecuali para ulama-hakim atau qadi yang memang ditutunjuk oleh negara untuk menangani hal-ikhwal yang berkaitan dengan hukum Islam), maka sejak masa Turki Usmani, khususnya pada abad ke-14, ulama mulai "dilembagakan".

Turki Usmani-lah yang menggagas pembentukan Shaikul Islam atau "Mufti Besar" yang bertugas mengeluarkan atau memproduksi fatwa. Shaikul Islam ini merupakan jabatan bergengsi karena bisa memberi legitimasi keagamaan kepada khalifah/sultan meskipun ia yang menunjuk sang Shaikhul Islam itu. Karena itu ulama yang duduk sebagai "Shaikhul Islam" ini bukan "orang sembarangan", bukan seperti "ustad unyu-unyu" di negeriku tercinta. Ia betul-betul harus menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu keislaman. Karena dulu masih sedikit sekali lembaga-lembaga pendidikan, maka kader-kader ulama dan "calon" Shaikhul Islam ini ditraining di Iran, Mesir, atau Irak, yang dulu menjadi pusat pengetahuan Islam.

Abad ke-19 dan 20 adalah masa-masa buram bagi ulama. Sejak negara-negara Arab dan mayoritas Muslim lain seperti Turki, Mesir, Irak, Iran, Aljazair, dlsb, dipimpin oleh para politisi nasionalis dan birokrat sekuler, para ulama dilucuti perannya sehingga tidak memiliki otoritas dan pengaruh ke masyarakat. Para mahasiswa yang belajar ilmu-ilmu keislaman melorot tajam. Lembaga-lembaga keagamaan "dinasionaisasi" sementara sistem wakaf yang dulu dipakai untuk menggaji ulama dihapus.

Di Mesir, Presiden Gamal Abdel Nasser menggembosi dan mengontrol peran "ulama Azharis". Rezim Baath di Irak mengobrak-abrik para ulama dan sekolah-sekolah calon ulama. Presiden Ahmed bin Bella di Aljazair juga melakukan hal serupa: membonsai peran ulama. Rezim Turki lebih ganas lagi: mereka munutup sekolah-sekolah Islam, madrasah, dan "tekke dervish" (semacam "pesantren sufi") dan memberangus peran ulama. Iran, pada masa rezim Shah Pahlevi juga menguliti peran ulama. Pak Harto dulu juga membonsai peran para ulama, kecuali mereka yang mau mendukung Golkar.

Kebangkitan ulama di jagat Islam Timur Tengah baru terjadi sejak Imam Khomeini dan para ulama Syiah berhasil menumbangkan "rezim sekuler" Pahlevi pada 1979. Sejak itu, para ulama, Sunni maupun Shiah, mulai menggeliat dan berani berpolitik seperti yang dilakukan oleh Mullah Mohammed Omar, pendiri Taliban di Afganistan, yang sudah mati terkapar pada 2013.

Sejarah pasti akan terulang lagi: jika para ulama berisik, tentara nanti yang akan membungkam mereka. Lihat saja...

Jabal Dhahran, Arabia

Ulama di Meksiko

Jika kita, khususnya umat Islam, pada umumnya mengenal kata "ulama" sebagai "orang-orang yang ahli ilmu-ilmu keislaman", di Meksiko lain lagi ceritanya. Di Meksiko, khususnya di Provinsi Sinaloa, ulama adalah nama sebuah permainan bola kaki semacam sepak bola dan sejenisnya.

Berbeda dengan kata ulama dalam Islam yang berasal dari Bahasa Arab "alim" atau "ilm" yang berarti "penguasa pengetahuan" atau "orang berilmu", kata "ulama" di Meksiko berasal dari Bahasa Nahuatl "ollamaliztli" yang merupakan perpaduan dari kata "ollamas" (permainan dengan bola) dan "ollei" (karet).

Konon, sejarahnya, permainan ulama ini merupakan warisan dari permainan bola kaki yang dipraktekan oleh Suku Aztec di Meksiko tengah, yang merupakan bagian dari tradisi permainan sepakbola yang berkembang di kawasan Mesoamerika, yakni sebuah geografi fisik dan kultural yang kini meliputi sejumlah negara di Amerika Latin seperti Meksiko, Guatemala, Honduras, El Salvador, Nicaragua, Costa Rica, dan lain-lain.

Terorisme di Indonesia dan Saudi

Saudi dan Indonesia adalah dua negara yang sama-sama rawan terhadap terorisme. Sudah puluhan kali terjadi aksi bom bunuh diri di kedua negara ini yang dilakukan oleh kelompok teroris. Di Saudi, sasaran terorisme bukan hanya masjid-masjid Syiah saja tetapi juga properti milik pemerintah dan aparat keamanan. Oleh karena itu wajar jika kedua negara ini belakangan menandatangani perjanjian kerjasama bertajuk "Defense Cooperation Agreement" (DCA) yang antara lain untuk menangani masalah terorisme dan "konter-terorisme" di kedua negara.

Yang menarik adalah setiap terjadi aksi-aksi terorisme, para ulama dan kelompok agama di Saudi selalu ramai-ramai mengecam aksi brutal para teroris. Ketika terjadi aksi bom bunuh diri yang menyasar sejumlah masjid Syiah di Qatif, Saihat, Khobar, atau Ahsa, yang menewaskan puluhan orang tak berdosa itu, para ulama juga ramai-ramai mengecam keras.

Bahkan Mufti Besar Saudi Shaikh Abdulaziz bin Abdullah Al Shyaikh menganggap terorisme sebagai bentuk "kejahatan kemanusian terbesar" dimana para pelakunya adalah para kriminal yang kelak akan menjadi "bahan bakar neraka". Bukan hanya itu, para ulama dan pemerintah biasanya secepatnya mengunjungi lokasi kejadian dan menyambangi para korban.

Jihad Orang Sakit Jiwa

Pelaku bom bunuh diri atas masyarakat tak berdosa adalah orang yang menderita sakit jiwa. Hanya orang yang jiwanya sakit yang bangga dan tertawa cengengesan melihat para korban bergelimpangan. Hanya penderita sakit jiwa yang mau mati dengan mematikan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengannya.
Bukan hanya pelaku bom bunuh diri saja yang mengidap sakit jiwa. Orang-orang yang tidak memiliki empati atas kejadian teror kemanusiaan ini juga sejatinya menderita sakit jiwa. Para tokoh politik dan agama yang diam seribu bahasa menyaksikan aksi terorisme dan bahkan dengan entengnya menyebut "tragedi Samarinda" sebagai "pengalihan isu" juga pada hakikatnya menderita sakit jiwa. Karena hanya orang sakit jiwa yang tidak tersentuh melihat korban kekerasan dan terorisme.

Para tokoh masyarakat yang membisu dan mengabaikan kasus terorisme di Gereja Oikumene Samarinda yang menelan korban anak-anak dan orang-orang tak berdosa, sementara di pihak lain begitu sibuk ngurusi kasus politisasi "Ahokgate" adalah orang yang sakit jiwa. Sakit jiwa ini bisa karena jiwa-raganya dipenuhi dengan "nafsu keduniaan" atau bisa jadi lantaran hati dan pikirannya telah penuh-sesak dengan "sampah-sampah" ajaran dan pemahaman ideologi-keagamaan tertentu.

Ulama dan MUI

Banyak orang masih bingung dengan "makhluk" yang bernama MUI (Majelis Ulama Indonesia). Banyak pula yang salah paham dengan MUI: ada yang "menjunjung tinggi setengah mati", ada pula yang "memaki-maki setengah mati."

Begini, bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah Facebookers, MUI itu adalah "lembaga", tepatnya "lembaga plat merah" yang dibentuk oleh Pak Harto dulu pada tahun 1975 dalam rangka untuk "menyenangkan" atau "membahagiakan" umat Islam dan sejumlah tokoh Muslim.

Pada awal-awal pendirian rezim Orde Baru dulu, Pak Harto dianggap lebih pro dan "menganakemaskan" kelompok abangan, khususnya lagi kaum "Kejawen" (baik sipil maupun militer), dalam struktur pemerintahan, dan kuran memberi "porsi" kepada umat Islam. Nah, supaya tidak disorot "miring ke kiri", beliau mendirikan MUI ini yang tugasnya memberi nasehat kepada pemerintah terkait dengan masalah atau isu-isu keagamaan dan keislaman.

Antara Koh Ahok dan Habib Rizieq

Belakangan beredar video Rizieq Shihab di You Tube dimana sang "Habib Petamburan" ini terang-terangan menuduh ada ulama su' atau "ulama bodong" yang sering menipu umat pakai Al-Qur'an dan Hadis. Silakan cari sendiri videonya, saya agak malas menampilkan di dinding FB-ku. "Ulama su' dia nipu pake Al-Qur'an. Dia nipu pake Hadis," kata sang habib.

Saya tidak tahu siapa yang Rizieq maksud sebagai "ulama su'" itu. Yang menarik adalah kenapa tidak ada gelombang protes massa umat Islam terhadap Rizieq yang jelas-jelas menuduh ada "ulama bodong" yang nipu umat pakai Al-Qur'an dan Hadis? Kenapa kaum Muslim tidak marah kemudian menggelar "demo akbar" dengan alasan Habib Rizieq telah menistakan Al-Qur'an, telah melecehkan Hadis, telah menghina Islam, dst?

Buya Syafii Ulama Sejati

Buya Syafii Maarif adalah seorang “buya sejati” dan ulama teladan bagi putra-putri Bangsa Indonesia. Saya tidak kenal dekat dengan Buya Syafii. Tapi sudah sejak lama saya mengamati dan memperhatikan “sepak-terjang” beliau di dunia kepolitikan nasional. Saya juga sudah lama membaca, mempelajari, dan menelaah tulisan-tulisan beliau yang sangat banyak bertebaran, baik dalam bentuk buku maupun artikel-artikel di berbagai jurnal dan media.

Ketika beberapa tahun lalu, Buya Syafii mendapatkan penghargaan sebagai “Guru Bangsa” oleh sebuah lembaga di Jakarta, sayalah yang diminta oleh panitia dan pendiri lembaga itu untuk menulis biografi singkat beliau. Kesanku, Buya Syafii bukan hanya seorang sejarawan Islam handal dan cendekiawan Islam mumpuni tetapi juga seorang tokoh agama yang cinta mati dengan Indonesia, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Ulama, Mufti, dan Qadi

Seperti saya jelaskan pada postingan sebelumnya, pada masa awal perkembangan Islam, "ulama" merupakan "istilah generik" untuk para ilmuwan, baik ilmuwan ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan / keislaman. Kata ini bukanlah sebuah "gelar akademik" yang dicapai melalui sebuah pendidikan tertentu. Dulu umat Islam belum mempunyai universitas. Yang ada adalah madrasah. Itu pun baru muncul pada abad ke-11 di era Dinasti Saljuq untuk menandingi sistem pendidikan Syiah sekaligus membendung gerakan Syiah yang dipelopori oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir.

Sebelum pendirian madrasah ini, umat Islam belajar ilmu apa saja secara informal di masjid, di rumah-rumah para shaikh, atau di perpustakaan. Meski belajar informal, ada cukup banyak yang serius yang akhirnya menjadi ilmuwan (ulama) yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan menulis banyak kitab (buku) di berbagai bidang, tidak hanya di bidang ilmu-ilmu keislaman saja tetapi juga ilmu-ilmu umum. Dulu tidak ada perbedaan antara "ilmu kapir" dan "ilmu agama". Semua ilmu pengetahuan itu dianggap sebagai "Islami" atau "religius" karena bersumber dari Zat yang sama, yaitu Tuhan.

Ulama dalam Sejarah Islam

Siapa sih ulama itu? Apa kriteria orang bisa disebut sebagai ulama? Apakah seorang yang rajin ceramah di tipi-tipi misalnya bisa disebut sebagai ulama? Apakah ulama hanya mereka yang "pinter" dalam hal studi-studi keislaman? Kapan ulama ini muncul menjadi "primadona" dalam masyarakat Islam? Apakah semua negara yang mayoritas berpenduduk Muslim mempunyai lembaga keulamaan seperti MUI? Mari kita kaji bersama.
Kata "ulama" adalah jamak / plural dari kata "alim" (dari kata "'ilm" yang berarti "pengetahuan" atau knowledge) yang berarti "orang-orang berilmu pengetahuan" atau "orang-orang terdidik", atau kira-kira, seperti sarjana. Pada zaman dahulu kala, kata atau sebutan "ulama" atau "alim" ini tidak populer. Sangking tidak populernya, Al-Qur'an sendiri hanya menyebut dua kali saja kata "ulama" ini (misalnya dalam Surat Fathir Ayat 28). Hadis Nabi Muhammad yang menyebut cukup banyak kata "ulama".

 Pada awal sejarah perkembangan Islam, banyak istilah yang dipakai untuk "komunitas sarjana" ini, dan pada umumnya lebih spesifik, misalnya "muhaditsun" untuk para ahli hadis, "mutakallimun" untuk para ahli ilmu kalam atau "teologi Islam", "mufassirun" untuk ahli tafsir, atau "fuqaha" untuk ahli hukum Islam. Bahkan kata "fuqaha" inipun awalnya bermakna" para ahli agama atau yang paham dengan seluk-beluk keislaman, tidak melulu tentang hukum Islam.

Kata "ulama" dulu tidak mengacu pada spesifik makna, yaitu "orang-orang yang ahli ilmu agama Islam" seperti yang berkembang dewasa ini, melainkan sebuah "istilah generik" untuk para ilmuwan diluar ilmu-ilmu keislaman seperti kimia, fisika, ekonomi, matematika, dlsb. Jadi ulama itu merujuk pada insinyur, ekonom, kimiawan, fisikawan, matematikawan, atau mungkin antropolog he he.

Aneka Ragam Jihad

Bagi yang mendalami masalah studi-studi keislaman, maka akan segera paham jika kata "jihad" memiliki makna yang beraneka ragam. Implementasi kata "jihad" pun beraneka ragam. Banyak ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad yang menjelaskan tentang aneka ragam makna dan implementasi "jihad" ini.

Karena itu jika ada kelompok dan tokoh agama yang menganggap "jihad" semata-mata sebagai "berperang" atau "angkat senjata" adalah keliru besar sekaligus sebagai bentuk kebohongan publik. Kata "perang" dalam Bahasa Arab klasik bisa "al-harb" atau "al-ghazw," bukan "jihad".

Dengan kata lain, "jihad" yang makna awalnya adalah sebuah "usaha atau perjuangan keras" tidak memiliki makna tunggal. Jihad bisa berarti berjuangan fisik angkat senjata melawan penjajah dan kaum penindas. Tapi pada saat yang sama, jihad juga bisa bermakna perjuangan spiritual dalam diri kita untuk melawan dan menundukkan perbuatan jahat dan dosa.

Jihad Membela Nafsu

Kalian mengklaim "jihad konstitusional" membela negara tetapi kau injak-injak dan lecehkan fondasi kenegaraan dan konstitusi negara. Kalian abaikan prosedur hukum, tata-cara berhukum, dan proses menjalankan hukum.

Maka sesungguhnya "jihad konstitusional" yang kalian propagandakan itu adalah "inkonsitusional" dan pelanggaran terhadap aturan-aturan konstitusi kenegaraan. "Jihad konstitusional" yang kalian kampanyekan itu tidak lebih sebagai slogan kosong-mlompong yang tidak berdasar dan mengindahkan konstitusi.

Kalian mengklaim jihad membela Islam tetapi kau injak-injak norma-norma dan etika keislaman. Kau abaikan ahlak dan moralitas keislaman. Perilakumu yang beringas seperti orang kesurupan, tindakanmu yang ngawur seperti orang kesetanan, dan perkataanmu yang kotor-njetor seperti got empang adalah sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kalian ini tidak membela Islam.

Damailah Negeriku

Indonesia adalah negara demokrasi. Karena negara demokrasi, maka demonstrasi (massa) adalah hal yang biasa dan lumrah sebagai salah satu medium untuk menyampaikan aspirasi publik. Dengan kata lain, "pesta demonstrasi" ini hal wajar sebagai "buah" dari demokrasi. Demonstrasi adalah bagian dari "ritual demokrasi".
Mestinya masyarakat Indonesia mengsyukuri karunia ini karena mereka bisa dengan leluasa berekspresi. Bayangkan jika Indonesia bukan mengikuti sistem demokrasi atau berdasar pada sistem politik-pemerintahan otoriter apakah itu "berbasis" Komunisme, Republikanisme, "Islamisme", dlsb, maka demonstrasi massa ini tidak akan pernah terjadi.

Dalam sistem politik non-demokrasi, maka demonstrasi akan dianggap sebagai aksi yang membahayakan tatanan sosial-politik-ekonomi, dan karena itu massa yang berdemo akan ditindak tegas oleh aparat. Sulit membayangkan demonstrasi massa seperti ini terjadi di Korut, Kuba, Bahrain, Saudi, dlsb.

Hindari Jebakan "Politik Rasisme"

Perkembangan sosial-politik dewasa ini di Indonesia sepertinya sudah mulai mengarah pada "politik rasisme": "anti Cina" atau "anti Arab". Masyarakat harus hati-hati dan tetap waspada, jangan mau diadu-domba dan digiring oleh para "pecundang kesiangan" dan tokoh-tokoh "bermental Hitler" karena merekalah biasanya yang hobi bermain dengan isu-isu rasisme.

Kaum rasis ada dimana-mana, di suku-bangsa manapun: Arab, Cina, Jawa, dlsb. Oleh kelompok rasis ini, rakyat hanyalah dijadikan sebagai "kayu bakar" belaka yang tidak akan mendapatkan apa-apa di kemudian hari. Di mana-mana, rakyat hanyalah dijadikan sebagai "tumbal" oleh sejumlah "kelompok tengil" yang rakus bin serakah dengan kekuasaan dan keduniaan.

Masyarakat hendaknya melihat orang dari "tindakan" bukan dari "etnik". Memang ada tokoh-tokoh China yang "bermental Eddy Tansil" alias Tan Tjoe Hong yang mengemplang trilyunan uang rakyat yang entah dimana rimbanya dia sekarang kok lenyap seperti Bang Tayyip gak pulang-pulang. Tetapi ada pula tokoh Tionghoa seperti Pak Kwik Kian Gie yang kita tahu tidak diragukan lagi jiwa nasionalisme, keindonesiaan, dan kerakyatannya.

Kenapa Jenggot Saja, Bukan Rambut Kepala?

Sampai sekarang saya masih penasaran, kenapa sejumlah kelompok agama konservatif, yang laki-laki tentunya, hanya bersemangat memanjangkan jenggot saja tapi tidak tertarik memanjangkan rambut kepala mereka?

Padahal, jika betul-betul mau mencontoh penampilan fisik para pendahulu agama mereka (atau istilahnya "Nyunah Rasul" menurut sejumlah kaum Muslim), mestinya bukan hanya jenggot saja yang dipanjangkan, tetapi juga rambut kepalanya. Hal ini karena, konon, para pendiri dan tokoh awal agama-agama Semit (Islam, Kristen, dan Yahudi) berambut gondrong.

Dulu saya pernah memosting di Facebook kalau tradisi berjenggot panjang bukan hanya monopoli sejumlah kelompok Salafi Islam tetapi juga sejumlah kelompok Salafi Kristen dan Salafi Yahudi seperti Kristen Amish, Old Order Mennonite, atau Yahudi Heredi.

Arab Tak Berarti Habib (7)

Bisa dipastikan pasca tumbangnya Raja Husain (atau Syarif Husain), yang dijuluki Syarif Besar Makah atau kadang-kadang disebut Raja Hijaz pada awal 1920-an, otoritas politik klan Bani Hasyim mulai melemah di kawasan Arab (hanya bertahan di sejumlah kawasan), dengan demikian pengaruh politik "keluarga sadah" (atau "keluarga asyraf") keturunan Ali bin Abi Thalib juga mengendur.

 Sekali lagi saya tegaskan, saya lebih sreg menyebut "sadah" (sing. "sayyid") atau "asyraf" (sing. "syarif") sebagai "keturunan Ali" (menantu Nabi Muhammad) ketimbang sebagai "keturunan Nabi Muhammad" karena memang mereka adalah anak-cucu Ali yang menikah dengan putri Nabi Muhammad: Fatimah. Jika Nabi Muhammad pernah menyebut Hasan dan Husain (putra Ali-Fatimah) sebagai "keturunan (nasab)" beliau, saya lebih membacanya sebagai "nasab sosial", bukan dalam pengertian "nasab genetik/biologis". Seperti dalam antropologi, ada dua istilah untuk menyebut "ayah", yaitu "genitor" ("ayah biologis") dan "pater" (ayah sosial). Bagaimanapun juga, mereka adalah "gen-nya Ali bin Abi Talib bukan "gen"-nya Fatimah binti Nabi Muhammad. Meskipun begitu, mereka adalah "keluarga besar" (ahlul bait / dzurriyah) Nabi Muhamamd SAW.

Penting juga untuk diketahui (khususnya bagi yang belum mengetahui), bahwa keturunan / anak-cucu Ali ini kelak ada yang menjadi pengikut Syiah dari berbagai aliran (Zaidiyah, Ismailiyah, Itsna Ay'ariyah, dlsb), ada pula yang menjadi pengikut Sunni dari berbagai mazhab. Jadi kalau ada para "habib" dan "sayyid" yang memusuhi pengikut Syiah sama saja dengan memusuhi "keluarga besar"-nya sendiri. Syiah itu artinya "partai / kubu / pendukung" Ali pada waktu terjadi kekacauan politik dan perseteruan antara klan Bani Hasyim (Ali cs) dan klan Bani Umayyah (Usman, Mu'awiyah cs) seperti pernah saya singgung sebelumnya.

Wednesday, January 18, 2017

Demokrasi: Dicaci Tapi “Digauli”

Saya perhatikan ada sejumlah kelompok yang hobinya mencaci-maki demokrasi karena dianggap sebagai “sistem liberal-sekuler” atau “produk kebudayaan Barat” yang “kapir-njepir”. Tetapi pada saat yang sama, mereka gemar “menggauli” atau “mengsetubuhi” demokrasi ini. Setidaknya ada tiga kelompok yang “membenci tapi merindu” demokrasi ini. Pertama, kelompok tidak tahu malu. Kedua, kelompok tidak tahu diri. Dan ketiga, kelompok yang tidak tahu sama sekali.

Misalnya, para “cheerleaders” sistem politik-pemerintahan Khilafah yang, seperti Anda tahu, sangat antipati dengan demokrasi, tetapi setiap hari menikmati “buah demokrasi”. Demokrasilah yang membuat orang-orang bisa euforia meluapkan pikiran dan uneg-unegnya yang kadang-kadang sampai kebabalasan. Demokrasilah yang membuat orang bisa bebas membuat ormas, yang lucunya ada yang dipakai untuk menyerang demokrasi. Demokrasi pulalah yang membuat orang bisa berdemo seenak wudelnya sendiri—ada yang sambil foto-foto selfie, ada pula yang sambil kencing di balik pohon he he.

Bung Karno dan Habib Ali Kwitang

Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi atau yang populer dengan panggilan Habib Ali Kwitang (1870–1963) adalah salah seorang ulama kharismatik yang sangat dihormati dan disegani. Beliau juga seorang penulis produktif, penceramah hebat, pendidik handal, tokoh dermawan, dan seorang sayyid atau syarif (keturunan Nabi Muhammad) yang sangat alim dan saleh. Beliau lahir di Jakarta dan wafat pada usia 98.

Ayahnya, populer dengan panggilan Habib Cikini, juga seorang pendakwah dan sarjana Islam mumpuni. Sementara ibunya adalah putri dari seorang kiai Betawi dari Kampung Melayu, Jakarta Timur. Meskipun Habib Ali beserta keluarga dan keturunanya pada umumnya pengikut mazhab Sunni-Syafii, tetapi salah satu cucunya, Ali Ridha bin Muhammad, konon seorang sarjana Syiah alumnus Qom, Iran.

Habib Ali adalah adalah pendiri Islamic Center Indonesia dan Majelis Taklim Kwitang (pada 1911), sebuah forum untuk diskusi, ngajar dan ceramah mengenai masalah sosial-kemasyarakatan-keagamaan. Habib Ali juga mendirikan al-Rabithah al-Alawiyah pada 1928. Selain membangun masjid, Habib Ali juga mendirikan sebuah madrasah Unwanul Falah. Murid-murid beliau tida hanya dari Indonesia saja tetapi juga dari berbagai negara yang kelak mendirikan madrasah atau majelis taklim di masyarakat atau negara masing-masing.