Bisa dipastikan pasca tumbangnya Raja Husain (atau Syarif Husain),
yang dijuluki Syarif Besar Makah atau kadang-kadang disebut Raja Hijaz
pada awal 1920-an, otoritas politik klan Bani Hasyim mulai melemah di
kawasan Arab (hanya bertahan di sejumlah kawasan), dengan demikian
pengaruh politik "keluarga sadah" (atau "keluarga asyraf") keturunan Ali
bin Abi Thalib juga mengendur.
Sekali lagi saya tegaskan, saya
lebih sreg menyebut "sadah" (sing. "sayyid") atau "asyraf" (sing.
"syarif") sebagai "keturunan Ali" (menantu Nabi Muhammad) ketimbang
sebagai "keturunan Nabi Muhammad" karena memang mereka adalah anak-cucu
Ali yang menikah dengan putri Nabi Muhammad: Fatimah. Jika Nabi Muhammad
pernah menyebut Hasan dan Husain (putra Ali-Fatimah) sebagai "keturunan
(nasab)" beliau, saya lebih membacanya sebagai "nasab sosial", bukan
dalam pengertian "nasab genetik/biologis". Seperti dalam antropologi,
ada dua istilah untuk menyebut "ayah", yaitu "genitor" ("ayah biologis")
dan "pater" (ayah sosial). Bagaimanapun juga, mereka adalah "gen-nya
Ali bin Abi Talib bukan "gen"-nya Fatimah binti Nabi Muhammad. Meskipun
begitu, mereka adalah "keluarga besar" (ahlul bait / dzurriyah) Nabi
Muhamamd SAW.
Penting juga untuk diketahui (khususnya bagi
yang belum mengetahui), bahwa keturunan / anak-cucu Ali ini kelak ada
yang menjadi pengikut Syiah dari berbagai aliran (Zaidiyah, Ismailiyah,
Itsna Ay'ariyah, dlsb), ada pula yang menjadi pengikut Sunni dari
berbagai mazhab. Jadi kalau ada para "habib" dan "sayyid" yang memusuhi
pengikut Syiah sama saja dengan memusuhi "keluarga besar"-nya sendiri.
Syiah itu artinya "partai / kubu / pendukung" Ali pada waktu terjadi
kekacauan politik dan perseteruan antara klan Bani Hasyim (Ali cs) dan
klan Bani Umayyah (Usman, Mu'awiyah cs) seperti pernah saya singgung
sebelumnya.
Kalau dalam konteks Indonesia dewasa ini, kelompok
Syiah ini ya mirip-mirip seperti Ahokers, Jokowers, "Bibibers"
(pendukung Pak Rizieq), Gus Durian, Qurtubiyan (yang ini pendukungku he
he), "Iranian" (maksudku, pendukung Ira Koesno he he). Dengan kata lain,
Syiah itu awalnya adalah sebuah "kelompok politik" bukan "kelompok
agama". Belakangan saja, Syiah kemudian menjadi "aliran teologis". Bukan
hanya Syiah saja sebetulnya, berbagai aliran dalam Islam (Murji'ah,
Khawarij, dlsb) bermula dari faksi-faksi politik (kapan-kapan saya
jelaskan di "edisi khusus").
Kembali ke laptop. Menarik untuk
disimak, meskipun Syarif Husain adalah "bawahan" Turki Usmani (Ottoman)
yang membawahi Hijaz, ia pernah melakukan pemberontakan melawan Turki
Usmani di Transjordan (yang wilayahnya mencakup Yordania, Suriah, dan
Palestina) pada waktu Perang Dunia I meletus, yang kemudian disusul
dengan Revolusi Arab pada tahun 1916. Pemberontakan itu dibantu oleh
suku-suku Badui lokal, Kirkasian, Kristen, Inggris, dan Perancis.
Kawasan Arab dulu menjadi ajang perebutan antara Inggris, Perancis, dan
Turki. Masing-masing berpatron dengan para tokoh dan pemimpin Arab,
Kurdi, dan lainnya di Timur Tengah.
Seperti yang terjadi di Asia
Tenggera, Perancis dan Inggris juga membagi-bagi wilayah Arab dan
dipecah menjadi teritori-teritori kecil independen seperti tampak dewasa
ini. Wilayah Tranjordan juga kelak dipecah. Putra kedua Syarif Husain,
Abdullah, kemudian menjadi Raja Emirat Transjordan. Putra Syarif Husain
kedua, Faisal, kemudian ditunjuk menjadi Raja Irak.
Kelak, di
Irak terjadi berbagai kudeta, pemberontakan dan perebutan kekuasaan
terhadap rezim klan Bani Hasyim, dan menariknya salah satu kelompok yang
memberontak itu juga dari "keluarga sadah" dari klan al-Kailani, yang
merupakan salah satu klan berpengaruh di Irak. Dipimpin oleh Rasyid Ali
al-Kailani, mereka melakukan kudeta pada 1940an. Kudeta ini disokong
oleh Nazi Jerman yang bermusuhan dengan Inggris yang waktu itu menjadi
pendukung klan Bani Hasyim di Irak (bersambung).Postingan Prof. DR. Sumato Al Qurtuby , Lanjutan Dari Arab Tak Berarti Habib (6)
0 komentar:
Post a Comment