LOKER OTOMOTIF

Thursday, January 19, 2017

Arab Tak Berarti Habib (7)

Bisa dipastikan pasca tumbangnya Raja Husain (atau Syarif Husain), yang dijuluki Syarif Besar Makah atau kadang-kadang disebut Raja Hijaz pada awal 1920-an, otoritas politik klan Bani Hasyim mulai melemah di kawasan Arab (hanya bertahan di sejumlah kawasan), dengan demikian pengaruh politik "keluarga sadah" (atau "keluarga asyraf") keturunan Ali bin Abi Thalib juga mengendur.

 Sekali lagi saya tegaskan, saya lebih sreg menyebut "sadah" (sing. "sayyid") atau "asyraf" (sing. "syarif") sebagai "keturunan Ali" (menantu Nabi Muhammad) ketimbang sebagai "keturunan Nabi Muhammad" karena memang mereka adalah anak-cucu Ali yang menikah dengan putri Nabi Muhammad: Fatimah. Jika Nabi Muhammad pernah menyebut Hasan dan Husain (putra Ali-Fatimah) sebagai "keturunan (nasab)" beliau, saya lebih membacanya sebagai "nasab sosial", bukan dalam pengertian "nasab genetik/biologis". Seperti dalam antropologi, ada dua istilah untuk menyebut "ayah", yaitu "genitor" ("ayah biologis") dan "pater" (ayah sosial). Bagaimanapun juga, mereka adalah "gen-nya Ali bin Abi Talib bukan "gen"-nya Fatimah binti Nabi Muhammad. Meskipun begitu, mereka adalah "keluarga besar" (ahlul bait / dzurriyah) Nabi Muhamamd SAW.

Penting juga untuk diketahui (khususnya bagi yang belum mengetahui), bahwa keturunan / anak-cucu Ali ini kelak ada yang menjadi pengikut Syiah dari berbagai aliran (Zaidiyah, Ismailiyah, Itsna Ay'ariyah, dlsb), ada pula yang menjadi pengikut Sunni dari berbagai mazhab. Jadi kalau ada para "habib" dan "sayyid" yang memusuhi pengikut Syiah sama saja dengan memusuhi "keluarga besar"-nya sendiri. Syiah itu artinya "partai / kubu / pendukung" Ali pada waktu terjadi kekacauan politik dan perseteruan antara klan Bani Hasyim (Ali cs) dan klan Bani Umayyah (Usman, Mu'awiyah cs) seperti pernah saya singgung sebelumnya.


Kalau dalam konteks Indonesia dewasa ini, kelompok Syiah ini ya mirip-mirip seperti Ahokers, Jokowers, "Bibibers" (pendukung Pak Rizieq), Gus Durian, Qurtubiyan (yang ini pendukungku he he), "Iranian" (maksudku, pendukung Ira Koesno he he). Dengan kata lain, Syiah itu awalnya adalah sebuah "kelompok politik" bukan "kelompok agama". Belakangan saja, Syiah kemudian menjadi "aliran teologis". Bukan hanya Syiah saja sebetulnya, berbagai aliran dalam Islam (Murji'ah, Khawarij, dlsb) bermula dari faksi-faksi politik (kapan-kapan saya jelaskan di "edisi khusus").

Kembali ke laptop. Menarik untuk disimak, meskipun Syarif Husain adalah "bawahan" Turki Usmani (Ottoman) yang membawahi Hijaz, ia pernah melakukan pemberontakan melawan Turki Usmani di Transjordan (yang wilayahnya mencakup Yordania, Suriah, dan Palestina) pada waktu Perang Dunia I meletus, yang kemudian disusul dengan Revolusi Arab pada tahun 1916. Pemberontakan itu dibantu oleh suku-suku Badui lokal, Kirkasian, Kristen, Inggris, dan Perancis. Kawasan Arab dulu menjadi ajang perebutan antara Inggris, Perancis, dan Turki. Masing-masing berpatron dengan para tokoh dan pemimpin Arab, Kurdi, dan lainnya di Timur Tengah.

Seperti yang terjadi di Asia Tenggera, Perancis dan Inggris juga membagi-bagi wilayah Arab dan dipecah menjadi teritori-teritori kecil independen seperti tampak dewasa ini. Wilayah Tranjordan juga kelak dipecah. Putra kedua Syarif Husain, Abdullah, kemudian menjadi Raja Emirat Transjordan. Putra Syarif Husain kedua, Faisal, kemudian ditunjuk menjadi Raja Irak.

Kelak, di Irak terjadi berbagai kudeta, pemberontakan dan perebutan kekuasaan terhadap rezim klan Bani Hasyim, dan menariknya salah satu kelompok yang memberontak itu juga dari "keluarga sadah" dari klan al-Kailani, yang merupakan salah satu klan berpengaruh di Irak. Dipimpin oleh Rasyid Ali al-Kailani, mereka melakukan kudeta pada 1940an. Kudeta ini disokong oleh Nazi Jerman yang bermusuhan dengan Inggris yang waktu itu menjadi pendukung klan Bani Hasyim di Irak (bersambung).Postingan Prof. DR. Sumato Al Qurtuby , Lanjutan Dari Arab Tak Berarti Habib (6)

0 komentar: