Saya ingin berbagi pengalaman tentang “demo massa” karena saya cukup
lama menekuni “profesi” sebagai demonstran dan aktivis. Memahami “demo
komunal” akan lebih baik jika menggunakan “teori piramid” karena “demo
massa” itu selalu “by design”, tidak ada yang bersifat “alami”. Bisa
juga menggunakan “teori panggung” karena demo massa sejatinya adalah
sebuah panggung pertunjukan dimana di dalamnya ada banyak aktor atau
pemain dengan berbagai peran plus sutradara dan penulis skenario.
Ada tiga komponen atau bagian dasar dalam sebuah piramid: atas, tengah,
dan bawah. Lapisan atas piramid ini adalah simbol “kelompok elit” yang
jumlahnya sedikit tapi mempunyai peran yang sangat besar dan sentral
karena mereka mempunyai “power” dan “otoritas”. Merekalah yang memegang
“tombol” sebuah pertunjukan atau drama bernama demo. Dalam sistem
politik-pemerintahan feodal, kelompok elit ini diperankan oleh raja dan
kroninya. Tetapi dalam sistem politik-pemerintahan non-feodal, kaum elit
ini diperankan oleh gabungan dari sejumlah kelompok kepentingan
(kepentingan politik, ekonomi, ideologi, dlsb): bisa (oknum) elit
militer/polisi atau pensiunan elit militer/polisi, elit parpol,
konglomerat / pengusaha, birokrat, cendekiawan, dlsb. Peran mereka
kurang tampak di publik tapi jelas dan nyata sekali. Mereka hanya hadir
(baik fisik maupun virtual, itupun kalau mau) di pertemuan-pertemuan
terbatas untuk koordinasi sekedarnya. Kalau tidak sempat, ya cukup lewat
telpon. Tetapi mereka paham apa yang harus dilakukan. Mereka berbagi
peran: siapa melakukan apa. Mereka juga mengatur strategi dan taktik
demo, menyiapkan Plan A, Plan B, Plan C, dan seterusnya.
Bagian
tengah piramid adalah “kelompok menengah” yang melakukan peran sebagai
“penghubung” atau “broker” antara elit dan massa. Peran kelompok ini
juga sangat penting karena merekalah yang mempunyai akses langsung
dengan massa atau publik (masyarakat/rakyat). Kelompok elit hanya punya
uang dan kekuasaan tetapi mereka tidak punya massa. Karena mempunyai
massa, mereka inilah yang berperan sebagai operator demo, komandan
lapangan, pengumpul massa, dlsb. Dalam dunia kemiliteran, mereka ini
mungkin seperti “kolonel” yang memegang pasukan. Kelompok menengah ini
bisa diperankan oleh para pemimpin ormas, dai/mubalig, “intelektual
tukang”, guru, ketua lembaga, aktivis kampus, komandan laskar, bos
preman, dlsb. Mereka juga yang “menjabarkan di lapangan” segala arahan,
petunjuk, dan strategi yang dirumuskan oleh kaum elit tadi. Mereka pula
yang menerima “logistik” demo dari kelompok elit tadi untuk “disalurkan”
ke massa (baik disalurkan sebagian kecil atau sebagian besar, semua
tergantung dari “kebaikan hati” masing-masing). Mereka pula yang
bertugas untuk berkoar-koar dan memimpin yel-yel di setiap aksi demo.
Saya dulu berperan sebagai “kelompok menengah” ini.
Bagian bawah
piramid melambangkan rakyat, masyarakat, atau massa. “Kelompok bawah”
inilah yang jumlahnya paling banyak dan paling gendut dalam struktur
piramid. Mereka ini bisa mahasiswa, santri, murid, buruh, petani,
nelayan, pengikut omas, jamaah pengajian, anggota laskar, atau
masyarakat kebanyakan. Meskipun jumlahnya paling banyak tetapi mereka
adalah kelompok lemah, tidak berdaya, dan “serba minim” yang disebabkan
oleh banyak faktor: bisa karena masalah ekonomi-finansial, pendidikan,
akses kekuasaan, intelektualitas, wawasan, dlsb. Karena lemah dan “serba
minim”, maka mereka ini gampang sekali dipengaruhi atau bahkan
“dibohongi” dan dimanipulasi oleh kelompok menengah tadi dengan isu
ini-itu. Tubuh mereka mungkin ada yang bongsor-bongsor tapi “otaknya
dikit” jadi gampang ditaklukkan. Dengan kata lain, oleh kelompok
menengah dan elit, mereka ini hanya dijadikan sebagai “kayu bakar” saja
atau sebagai alas untuk “diinjak” saja.
Ketika, misalnya, demo
kolosal itu sukses, kelompok bawah yang mayoritas ini tidak akan
mendapatkan apa-apa karena “kue” kekuasaan baru akan dinikmati oleh
kelompok elit dan kroninya, sisanya mungkin “dilempar” ke kelompok
menengah. Sementara kelompok bawah, mereka tetap seperti sedia kala:
lapar, dahaga, dan miskin-njekin sepanjang masa. Sadarkah Anda dengan
“drama” ini?
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment