Sebetulnya untuk apa sih “gerakan pengawal fatwa” itu? Fatwa itu
tidak perlu dikawal dan tidak memerlukan pengawalan. Kalau anak-anak itu
baru perlu dikawal kalau sedang main di tempat umum supaya aman dan
tidak dicuri orang yang suka “menjualbelikan” anak. Orang tua yang sudah
tua juga perlu dikawal kalau naik haji atau umrah supaya tidak nyasar
di Makah. Pacar mungkin juga perlu supaya tidak “nyelonong” di
pengkolan. Tapi kalau fatwa, buat apa dikawal? Kecuali kalau “Mbah
Fatwa” itu mungkin baru bisa dikawal.
Fatwa itu hanya sebuah
“pendapat”, tepatnya pendapat tentang masalah sosial-politik-keagamaan
yang didasarkan pada sejumlah penafsiran dan pemahaman atas teks-teks
keislaman tertentu. Biasanya ulama, fuqaha, hakim, atau “mufti” yang
mengeluarkan “fatwa” ini. Fatwa ini bisa dikeluarkan oleh individu yang
memiliki kualifiaksi sebagai “mufti” (atau pemberi fatwa), kelompok
ulama, atau lembaga dan ormas keislaman.
Karena sebuah pendapat,
maka fatwa itu beraneka ragam. Sejak zaman bahula sudah begitu. Masalah
atau isu yang sama bisa menghasilkan keputusan hukum dan fatwa yang
berbeda. Itu biasa saja. Semua tergantung pada sejauh mana penafsiran
dan pemahaman atas teks-teks dan diskursus keislaman, kitab-kitab apa
yang dipakai sebagai pedoman atau landasan berfatwa, metodologi apa yang
digunakan untuk menggali hukum Islam, jenis ormas atau aliran apa yang
mengeluarkan fatwa, termasuk kepentingan-kepentingan non-agama apa yang
ada pada pembuat fatwa, dlsb. Itu belum termasuk pendapat ulama klasik
mana yang dijadikan sebagai rujukan, pedoman dan pendukung fatwa. Setiap
ulama masa kini punya ulama pavorit di masa lalu yang warna-warni.
Semua latar belakang itu akan mempengaruhi produk fatwa. Dulu, pada
masa Pak Harto, juga ada bermacam-macam fatwa, baik yang dikeluarkan
oleh MUI, NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lain. Misalnya, fatwa
tentang status ber-KB (Keluarga Berencana) yang dulu sempat jadi heboh
bertahun-tahun dan sempat jadi bahan kampanye politik menjelang pemilu:
ada yang mengharamkan, ada yang menghalalkan, ada yang membolehkan
dengan syarat. Kemudian tentang “fatwa rokok”: ada yang mengharamkan,
ada yang menghalalkan. Tergantung “fatwa pesanan” siapa he he. Sangking
fleksibelnya masalah “dunia fatwa” ini sampai-sampai ada kelakar: mau
minta “fatwa halal” atau “fatwa haram”? Karena memang semua bisa
dicarikan dalil, dasar, dan argumentasinya.
Tapi yang namanya
“fatwa” itu tidak mengikat. Dengan kata lain, umat Islam bebas-merdeka
mau mengikuti fatwa itu atau tidak. Keliru besar, besar sekali, jika ada
yang menganggap fatwa itu wajib ditaati dan diikuti. Anda mau ikut si
fatwa itu juga silakan, nggak juga silakan. Silakan Anda cerna sendiri
secara baik-baik dan mendalam, mana kira-kira fatwa yang lebih
bermanfaat untuk Anda dan masyarakat banyak. Mau dipraktekkan secara
pribadi juga silakan saja.
Nah, kalau ada yang ngotot
menggerakkan dan memobilisasi massa untuk mengawal dan mendukung fatwa
ini atau itu, itu namanya “dagelan politik” yang dibungkus dengan “baju
agama” atau “sinetron politik beraura agama” he he. Hanya orang-orang
yang “lebay-njeblay” yang ngotot mau mengawal sebuah fatwa, apalagi
mengawal pendapat yang bukan fatwa, lebih “njeblay” lagi.
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment