Setelah kekuasaan Syarif Husain yang keturunan Ali bin Abi Talib
rontok di Makah pada tahun 1924, ia beserta keluarganya migrasi ke
Transjordan (kini: Yordania) menyusul putranya. Sekitar tiga tahun
sebelumnya, 1921, putra Syarif Husain kedua (Abdullah) sudah menjadi
seorang amir (raja) di Emirat Trans-Yordania (Emirate of Transjordan),
yang didirikan atas bantuan Inggris, dan memang waktu itu menjadi
proktektorat (daerah perlindungan) Inggris.
Wilayah Transjordan
itu dulu meliputi Yordania, Suriah dan Palestina. Sudah sejak 1916,
Syarif Husain memimpin "Revolusi Arab" untuk melawan kekuasaan Turki
Usmani (Ottoman). Revolusi ini disokong oleh Inggris, Perancis,
suku-suku Arab Badui lokal, serta komunitas Kristen dan Kirkasia. Dulu,
beberapa negara Eropa berkongsi untuk menggembosi kekuasaan Turki di
Arab dan Timur Tengah. Mereka berpartner dengan kelompok lokal mana saja
yang bersedia dijadikan sebagai "mitra koalisi". Tentang sejarah
Transjordan, akan saya jelaskan di kemudian hari (insya Allah).
Jika Abdullah I menjadi Raja Yordania, maka adik Abdullah (putra Syarif
Husain ketiga) yang bernama Faisal didaulat oleh Inggris untuk menjadi
Raja Irak. Sebelum menjadi republik pada tahun 1958, Irak dulu berbentuk
kerajaan (al-Mamlakah al-Iraqiyyah) yang didirikan oleh Inggris pada
tahun 1921 atas persetujuan Liga Bangsa-Bangsa pasca-kekalahan Turki
Usmani di "Perang Mesopotamia" yang merupakan bagian atau rangkaian dari
Perang Dunia I. Faisal inilah yang ditunjuk oleh Inggris sebagai raja
pertama Kerajaan Irak.
Kenapa Faisal dari klan Bani Hasyim yang
notabene bukan "putra daerah" Irak yang justru ditunjuk oleh Inggris
sebagai raja? Kok bukan para pemimpin lokal Irak? Karena masyarakat
lokal Irak dulu memberontak Inggris. Ketika Inggris diberi "mandat" oleh
Liga Bangsa-Bangsa untuk "memerintah dan mengurusi" Irak, para pemimpin
dan masyarakat lokal Irak tidak terima.
Mereka kemudian
melakukan pemberontakan kepada Inggris. Tujuannya untuk menciptakan
pemerintahan Arab. Berbagai elemen suku-suku Arab Irak dari berbagai
aliran keislaman, termasuk Sunni dan Syiah dulu bersatu padu melawan
otoritas Inggris. Pemimpin "pemberontakan Arab Irak" itu adalah Syeikh
Muhammad Mahdi Al-Khalissi (w. 1925), seorang tokoh spiritual dan ulama
Syiah terkemuka yang sangat dihormati baik Syiah maupun Sunni. Para
ulama dan tokoh Sunni dulu bergabung satu komando dengan Syeikh Mahdi
ini untuk melawan Inggris.
Menarik untuk dicatat, Syaikh Mahdi
al-Khalissi ini adalah teman baik Syarif Husain. Ini menujukan
permusuhan Sunni-Syah itu adalah mitos yang dibesar-besarkan. Hanya
orang-orang yang "ereksi politik" saja yang selalu menjadi "biang kerok"
perseteruan antara kedua kelompok Islam ini. Masyarakat di akar rumput,
baik-baik saja di Irak. Pemberontakan ini juga disokong oleh sisa-sisa
rezim Turki Usmani yang tergusur.
Bukan hanya Arab saja,
masyarakat Kurdi di Irak utara juga ikut memberontak terhadap Inggris,
yang juga ingin mendirikan negara otonom: "pemerintahan Kurdi". Salah
satu pemimpin pemberontakan adalah Syeikh Mahmud Barzanji yang juga
seorang tokoh Sufi Qadiriyah dari Suku Barzanji yang sangat berpengaruh
di daerah Sulaimaniyah, Irak. Ia dulu sempat mendeklarasikan "Kerajaan
Kurdistan" tapi tak berlangsung lama.
Penunjukkan Faisal
sebagai Raja Irak ternyata tidak menyelesaikan masalah. Pemberontakan
demi pemberontakan terus terjadi di negara yang dulu bernama Mesopotamia
ini. Bukan hanya oleh suku Arab atau Kurdi saja tetapi juga oleh
elemen-elemen masyarakat Irak lain seperti Yazidi dan Assyria. Setelah
berkali-berkali terjadi "revolusi internal", kelak Kerajaan Irak pun
tumbang (bersambung).
0 komentar:
Post a Comment