LOKER OTOMOTIF

Wednesday, January 25, 2017

Arab Tak Berarti Habib (10)

Setelah kekuasaan Syarif Husain yang keturunan Ali bin Abi Talib rontok di Makah pada tahun 1924, ia beserta keluarganya migrasi ke Transjordan (kini: Yordania) menyusul putranya. Sekitar tiga tahun sebelumnya, 1921, putra Syarif Husain kedua (Abdullah) sudah menjadi seorang amir (raja) di Emirat Trans-Yordania (Emirate of Transjordan), yang didirikan atas bantuan Inggris, dan memang waktu itu menjadi proktektorat (daerah perlindungan) Inggris.

Wilayah Transjordan itu dulu meliputi Yordania, Suriah dan Palestina. Sudah sejak 1916, Syarif Husain memimpin "Revolusi Arab" untuk melawan kekuasaan Turki Usmani (Ottoman). Revolusi ini disokong oleh Inggris, Perancis, suku-suku Arab Badui lokal, serta komunitas Kristen dan Kirkasia. Dulu, beberapa negara Eropa berkongsi untuk menggembosi kekuasaan Turki di Arab dan Timur Tengah. Mereka berpartner dengan kelompok lokal mana saja yang bersedia dijadikan sebagai "mitra koalisi". Tentang sejarah Transjordan, akan saya jelaskan di kemudian hari (insya Allah).


Jika Abdullah I menjadi Raja Yordania, maka adik Abdullah (putra Syarif Husain ketiga) yang bernama Faisal didaulat oleh Inggris untuk menjadi Raja Irak. Sebelum menjadi republik pada tahun 1958, Irak dulu berbentuk kerajaan (al-Mamlakah al-Iraqiyyah) yang didirikan oleh Inggris pada tahun 1921 atas persetujuan Liga Bangsa-Bangsa pasca-kekalahan Turki Usmani di "Perang Mesopotamia" yang merupakan bagian atau rangkaian dari Perang Dunia I. Faisal inilah yang ditunjuk oleh Inggris sebagai raja pertama Kerajaan Irak.

Kenapa Faisal dari klan Bani Hasyim yang notabene bukan "putra daerah" Irak yang justru ditunjuk oleh Inggris sebagai raja? Kok bukan para pemimpin lokal Irak? Karena masyarakat lokal Irak dulu memberontak Inggris. Ketika Inggris diberi "mandat" oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk "memerintah dan mengurusi" Irak, para pemimpin dan masyarakat lokal Irak tidak terima.

Mereka kemudian melakukan pemberontakan kepada Inggris. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan Arab. Berbagai elemen suku-suku Arab Irak dari berbagai aliran keislaman, termasuk Sunni dan Syiah dulu bersatu padu melawan otoritas Inggris. Pemimpin "pemberontakan Arab Irak" itu adalah Syeikh Muhammad Mahdi Al-Khalissi (w. 1925), seorang tokoh spiritual dan ulama Syiah terkemuka yang sangat dihormati baik Syiah maupun Sunni. Para ulama dan tokoh Sunni dulu bergabung satu komando dengan Syeikh Mahdi ini untuk melawan Inggris.

Menarik untuk dicatat, Syaikh Mahdi al-Khalissi ini adalah teman baik Syarif Husain. Ini menujukan permusuhan Sunni-Syah itu adalah mitos yang dibesar-besarkan. Hanya orang-orang yang "ereksi politik" saja yang selalu menjadi "biang kerok" perseteruan antara kedua kelompok Islam ini. Masyarakat di akar rumput, baik-baik saja di Irak. Pemberontakan ini juga disokong oleh sisa-sisa rezim Turki Usmani yang tergusur.

Bukan hanya Arab saja, masyarakat Kurdi di Irak utara juga ikut memberontak terhadap Inggris, yang juga ingin mendirikan negara otonom: "pemerintahan Kurdi". Salah satu pemimpin pemberontakan adalah Syeikh Mahmud Barzanji yang juga seorang tokoh Sufi Qadiriyah dari Suku Barzanji yang sangat berpengaruh di daerah Sulaimaniyah, Irak. Ia dulu sempat mendeklarasikan "Kerajaan Kurdistan" tapi tak berlangsung lama.
Penunjukkan Faisal sebagai Raja Irak ternyata tidak menyelesaikan masalah. Pemberontakan demi pemberontakan terus terjadi di negara yang dulu bernama Mesopotamia ini. Bukan hanya oleh suku Arab atau Kurdi saja tetapi juga oleh elemen-elemen masyarakat Irak lain seperti Yazidi dan Assyria. Setelah berkali-berkali terjadi "revolusi internal", kelak Kerajaan Irak pun tumbang (bersambung).

0 komentar: