Dalam kuliah virtual kali ini, saya ingin mengulas sedikit tentang
konsep dan makna pluralitas dan pluralisme yang saya lihat masih banyak
disalahpahami oleh komunitas agama, baik Muslim maupun non-Muslim.
Gara-gara salah baca, salah paham, atau mungkin kurang akurat dan
komprehensif dalam menelaah makna konsep pluralisme ini, dulu MUI pernah
mengfatwa haram atas pluralisme. Alasan MUI waktu itu, kira-kira, paham
pluralisme telah mencampur-adukan paham keagamaan, penyamarataan
doktrin kebenaran yang secara esensial bertentangan dengan Islam sebagai
satu-satunya jalan kebenaran. Disini tampak sekali kalau MUI
kebingungan membedakan antara pluralisme dengan sinkretisme,
relativisme, atau singularisme.
Begini, pluralisme itu adalah
semacam filosofi atau pandangan dunia untuk menyikapi fakta-fakta
pluralitas atau kemajemukan secara terbuka, open-minded, dan toleran.
Pluralitas adalah sesuatu yang bersifat alami, sedangkan pluralisme
bersifat kultural. Tidak seperti pluralitas yang merupakan pemberian
atau anugerah Tuhan, pluralisme adalah sebuah “prestasi” bersama dari
kelompok agama, etnis, dan budaya yang berlainan untuk menciptakan
sebuah “masyarakat bersama”. Dengan kata lain, pluralisme adalah sebuah
proses pergumulan kreatif-intensif terhadap fakta pluralitas itu yang
bertujuan menciptakan sebuah “komunitas bersama” yang saling menghargai
keragaman dan keunikan masing-masing agama dan budaya. Pluralitas baru
akan menjadi pluralisme, jika masing-masing umat bersedia membuka ruang
dialog yang sehat dan pergumulan yang intensif.
Menurut pakar
studi pluralisme dari Harvard, Profesor Diana Eck, pluralisme tidak
sekedar toleransi, melainkan sebuah proses pencarian pemahaman secara
aktif menembus batas-batas perbedaan. Pluralisme juga beda dengan
sinkretisme atau paham pencampuradukan ajaran keagamaan seperti New Age
misalnya. Pluralisme juga bukan berarti penyamarataan ajaran. Yang
terakhir ini namanya “singularisme”, bukan “pluralisme”. Pluralisme juga
bukan relativisme karena dalam pluralisme ada semacam “perjumpaan
komitmen” yang absen dalam relativisme.
Seorang pluralis bukan
berarti seorang yang menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya
terhadap agama tertentu karena inti dari pluralisme adalah perjumpaan
komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain.
Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama
sebab perbedaan itu adalah sebuah fakta-fakta sosial yang tidak bisa
diabaikan, akan tetapi, bagi seorang pluralis, perbedaan agama itu
dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, saling
menghormati, serta sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya, melihat
perbedaan itu sebagai faktor pemecah yang mengancam identitas keagamaan
dan kebudayaan tertentu.
Selanjutnya, pluralisme itu dibangun
diatas basis dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan
perjumpaan, saling menerima dan memberi, serta mau melakukan kritik
diri. Dialog berarti berbicara sekaligus bersedia mendengarkan orang dan
umat lain. Proses dialog itu harus berusaha menciptakan pemahaman
bersama atas fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling
menghargai. Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat. Dalam
dialog target yang hendak dicapai adalah saling memahami bukan saling
mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog.
Inilah makna ketika Al-Qur’an menegaskan “bahwa diciptakannya manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal” (Q.
49:13). Kalimat “berbangsa-bangsa” dan “bersuku-suku” adalah fakta
pluralitas sementara “untuk saling mengenal” (ta’aruf) adalah pemahaman
tentang pluralisme tadi. Karena itu fakta pluralitas itu baru bisa
dipahami jika kita umat beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang
merupakan ruh dari pluralisme.
Dalam kerangka pemikiran ini,
pluralisme setingkat lebih tinggi dari toleransi. Dalam toleransi tidak
dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas
“yang lain” sementara pluralisme mengsyaratkan keduanya. Meskipun
toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antar-agama, tetapi tidak
cukup kuat sebagai landasan dialog antar dan intra-agama. Sebab “budaya
toleransi” ini masih rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi
pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.
Demikian penjelasan singkat mengenai pluralisme, semoga bermanfaat.
Kalau masih bingung, silakan baca dan renungkan terus-menerus postingan
ini sampai tidak bingung lagi he he…
Jabal Dhahran, Arabia
0 komentar:
Post a Comment