LOKER OTOMOTIF

Wednesday, February 8, 2017

Politik Ulama dan Ulama Politik

Setiap kali pagelaran politik digelar--apakah itu bernama Pilpres, Pemilu Parpol, Pilkada--para ulama dan tokoh agama ikut sibuk menjadi "corong” atau "echo” para politisi dan kandidat atau pasangan calon (paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang ikut terjun langsung menjadi "paslon” dan "cawan” (calon dewan) bersaing dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.

Tentu saja tidak ada salahnya jika ada ulama yang terjun langsung menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat. Itu sah-sah saja. Berpolitik praktis adalah hak setiap individu. Yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk ke gelanggang kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang profan dan cenderung berpotensi korup itu. Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni kualitas individual, integritas moral, dan kemampuan untuk memahami politik dengan baik.

Ulil: Antara Cendekiawan dan Politisi

Beberapa hari terakhir ini banyak pihak yang minta saya menanggapi tentang sikap Mas Ulil (Ulil Abshar Abdalla) yang belakangan gencar "menyerang" dan "mengkritik" Ahok (atau Jokowi). Menanggapi sikap Mas Ulil ini, ada yang menyayangkan tapi ada pula yang kemudian "meledek" atau "menyerang balik" Mas Ulil sebagai intelektual yang tidak konsisten dengan gagasan dan pemikirannya selama ini. Ada pula yang menganggap Mas Ulil sekarang sudah berubah, tidak lagi seperti dulu yang liberal-pluralis dan kontra-konservatisme.

Berbeda dengan yang lain, saya menanggapinya dengan santai, biasa, dan wajar saja. Saya kenal Mas Ulil sudah sejak lama, lama sekali. Beliau adalah teman baik sekaligus seniorku yang saya hormati. Waktu kuliah di AS dulu, kami juga pernah sama-sama tinggal di Newton, Boston, dan kami sama-sama alumni Boston University. Kami juga sama-sama mendirikan NU Amerika dan Kanada, bersama sejumlah teman lain seperti Syaikh Akhmad Sahal, Syaikh Achmad Munjid, Syaikh Achmad Tohe, dlsb (sengaja saya sebut yang ada "Ahmad"-nya saja he he, mohon maap bagi yang lain).

Konsep "Negara Islam" Itu Sekuler (2)

Seperti saya jelaskan sebelumnya, ide atau konsep "Negara Islam" itu adalah profan-sekuler, bukan sakral-relijius, karena konsep ini merupakan buah dari ijtihad, tafsir, pemikiran dan pemahaman manusia atas sejumlah ayat, teks, dan diskursus keislaman. Apapun yang lahir dari kreativitas pemikiran-kebudayaan manusia, maka itu adalah sekuler.

Dalam konteks ini, maka kosnsep "Negara Islam" itu sama dengan konsep negara lainnya yang dibangun atas dasar atau dipengaruhi oleh sejumlah filosofi tertentu. Yang berbeda adalah fondasi filosofi atau sumber inspirasi negara tersebut. Misalnya, jika "Negara Islam" dibangun atas dasar atau diengaruhi oleh sejumlah teks dan wacana keislaman, maka "Negara Komunis" dibangun atas, dipengaruhi oleh, atau bersumber dari filosofi "Komunisme". Begitu pula negara-negara lain yang mengklaim sebagai "Negara Demokrasi" dibangun atas dasar sejumlah filosofi seperti liberalisme dlsb.

Konsep "Negara Islam" itu Sekuler

Anggapan sejumlah tokoh, sarjana, dan kelompok Islam di Indonesia (dan juga berbagai negara lain) bahwa konsep "Negara Islam" itu yang paling "agamis", "Islami", "Qur'ani", atau bahkan "Allahi" (maksudnya, sesuai dengan "kehendak Allah") itu sama sekali tidak benar. Semua konsep sistem politik-pemerintahan atau sistem ekonomi--apapaun namanya--adalah sekuler, dalam pengertian "produk pemikiran kebudayaan manusia".

Sebagaimana sistem-sistem politik-pemerintahan lain yang ada di muka bumi dewasa ini, konsep "Negara Islam" (atau "daulah islamiyah") adalah buah dari ijtihad, pemahaman, tafsir, dan pemikiran sekelumit umat manusia, baik para sarjana-ideolog maupun politisi-aktivis Muslim, sebagai bentuk respons atas perkembangan sosial-politik-ekonomi yang terjadi di wilayah mereka masing-masing. Apapun yang namanya "produk pemikiran kebudayaan manusia" itu bersifat profan-sekuler bukan sakral-relijius. Jadi jangan mau dikibulin oleh kaum propagandis ideologi itu.

Imajinasi Jihad di Jalan Allah

Kalau dilihat dari foto ini (itupun kalau bukan hoax alias "foto editan" he he), sepertinya Pak Ustad Arifin Ilham sedang semangat latihan perang-perangan menggunakan parang. Ciaattt ciaaatttt. Mungkin ia sedang kangen dan merindukan suasana masa lampau Islam. Pak ustad yang hobi mewek dan nangis-nangis kalau ceramah ini juga beberapa kali menyerukan "jihad" (maksudnya "perang") dengan heroiknya dan "gagah perkasa".

Jihad melawan siapa? Mau jihad dimana? Jihad melawan Pak Jokowi dan pemerintah? Itu mah bukan jihad namanya bro. Kalian baru "valid" melakukan jihad di Indonesia, kalau hak-hak seorang Muslim untuk beribadah dan berekspresi dibatasi dan diberangus seperti dulu zaman pemerintah kolonial. Lah sekarang, kalian bebas-merdeka mau melakukan apa saja gak ada masalah. Mau haji atau umrah puluhan kali silakan. Mau bikin masjid / musalla di tiap gang silakan. Mau bengak-bengok ceramah silakan. Bahkan sangking bebasnya, kalian bisa salat seenaknya di jalan raya, kan? Yang itu susah terjadi kalau bukan di Indonesia mas bro. Jihad itu kalau melihat pemerintah telah berbuat jahat dan kekerasan serta korup dan menindas rakyat. Itupun tidak perlu pakai pedang kaleee. Jadul amat.

Tugas Utama Umat Beragama

Bagiku, tugas utama umat beragama itu bukan untuk mengagamakan manusia, bukan pula untuk mengafirkan manusia, apalagi untuk "menuhankan" manusia. Tapi untuk memanusiakan manusia. Selama Anda masih sibuk mengagamakan, mengafirkan, dan "menuhankan" manusia, maka sejatinya Anda belum beragama meskipun mungkin di KTP, Anda mencantumkan agama idolamu. Tapi ingat: agama idolamu itu belum tentu "agama idola" Tuhan. Bahkan Tuhan sendiri tidak jelas agamanya apa atau punya agama atau tidak, kan?

"Wayang Itu Haram!" Haram Lambemu...

Wayang (Bahasa Jawa Krama: "ringgit"), konon dari kata "bayang", adalah sebuah pertunjukan seni tradisional yang sudah sangat klasik dan membudaya bagi masyarakat Indonesia. Sejarah dan asal-usul wayang di Indonesia bisa jadi dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Budha India (atau Tiongkok). Sikitar abad ke-10 M, sudah ada inskripsi "Si Galigi Mawayang" (Tuan Galigi Bermain Wayang). Itu menunjukan tradisi wayang sudah sangat tua di Nusantara.

Ada banyak jenis wayang di Indonesia: wayang kulit, wayang golek, wayang orang, wayang potehi (yang ini berasal dari Tiongkok), wayang suket (ini dipopulerkan oleh Ki Slamet Gundono), wayang menak, wayang gedog/wayang topeng, wayang klitik, wayang beber, wayang sadat, wayang wahyu, dlsb.

Diantara sekian jenis wayang, saya kira wayang kulit yang paling populer, mengakar dan membudaya sehingga UNESCO dulu, tahun 2003, pernah menganugerahi wayang kulit sebagai "Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity" yang mengsyarakatkan warga Indonesia untuk memelihara tradisi dan seni adiluhung ini.

Sejarah Islam di Tiongkok (5)

Lanjutan Sejarah Islam di Tiongkok (4)

Jika pada masa Dinasti Tang dan Dinasti Song, komunitas Muslim belum menunjukkan peran maksimal (simak "Kuliah Virtual" sebelumnya), maka pada masa Dinasti Yuan, umat Islam mulai memegang peran penting dan central di China (Tiongkok). Berdiri secara resmi pada tahun 1271, Yuan adalah dinasti yang dikontrol oleh etnik Mongol yang sebelumnya sukses menggulingkan Dinasti Song (Sung) yang dikendalikan oleh etnik Han.

Sejak akhir abad ke-12 / awal abad ke-13, Mongol adalah kekuatan besar di seantero Asia dan Timur Tengah. Mongol menjadi kerajaan superpower sejak Jenghis Khan (w. 1227) berhasil menyatukan sejumlah suku nomad di berbagai kawasan di Asia. Kelak, Imperium Mongol mengalami masa kejayaan yang gemilang di tangan para cucu Jenghis Khan, terutama Hulagu Khan dan Kubilai Khan.