LOKER OTOMOTIF

Sunday, December 21, 2008

GURU SEBAGAI EVALUATOR

Sebagai evaluator, guru berperan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran tentang yang telah dilakukan. Terdapat dua fungsi dalam memerankan perannya sebagai evaluator. Pertama, untuk menentukan keberhasilan siswa dalam menyerap materi kurikulum. Kedua, untuk menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah di programkan.

1. Evaluasi untuk Menentukan Keberhasilan Siswa
Sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menilai keberhasilan siswa, evaluasi memegang peranan yang sangat penting. Sebab, melalui evaluasi guru dapat menentukan apakah siswa yang diajarnya sudah memiliki kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga mereka layak diberikan program pembelajaran baru atau malah sebaliknya siswa belum bisa mencapai standar minimal, sehingga mereka perlu diberikan program remedial. Sering guru beranggapan bahwa evaluasi sama dengan melakukan tes, artinya guru telah melakukan evaluasi manakala ia telah melaksanakan tes. Hal ini tentu kurang tepat, sebab evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan makna tersebut. Misalnya, si A dikatakan menguasai seluruh program pembelajaran berdasarkan hasil rangkaian evaluasi, misalnya berdasarkan hasil tes ia memperoleh skor yang bagus, berdasarkan hasil observasi ia telah menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan hasil wawancara ia benar-banar tidak mengalami kesulitan tentang bahan pelajaran yang telah dipelajarinya. Berdasarkan rangkaian evaluasi akhirnya guru dapat menentukan bahwa si A pantas diberi program pembelajaran baru. Sebaliknya, walaupun berdasarkan si B telah berhasil menguasai kompetensi seperti yang diharapkan, namun berdasarkan hasil wawancara dan observasi ia tidak menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan, misalnya dalam kemampuan berfikir, maka dapat saja guru menentukan bahwa proses pembelajaran dianggap belum berhasil.
Kelemahan yang sering terjadi sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi selama ini adalah guru dalam menentukan keberhasilan terbatas pada hasil tes yang biasa dilakukan secara tertulis, akibatnya sasaran pembelajaran hanya terbatas pada kemampuan siswa untuk mengisi soal-soal yang biasa keluar dalam tes.
Di samping itu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, evaluasi itu juga sebaiknya dilakukan bukan hanya terhadap hasil belajar, akan tetapi juga proses belajar. Hal ini sangat penting sebab evaluasi terhadap proses belajar pada dasarnya evaluasi terhadap keterampilan intelektual secara nyata.

2. Evaluasi untuk Menentukan Keberhasilan Guru
Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk siswa, akan tetapi dapat digunakan untuk menilai kinerja guru itu sendari. Berdasarkan hasil evaluasi apakah guru telah melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan perencanaan atau belum, apa sajakah yang perlu diperbaiki. Evaluasi untuk menentukan keberhasilan guru, tentu saja tidak sekompleks untuk menilai keberhasilan siswa, baik dilihat dari aspek waktu pelaksanaan maupun dilihat dari aspek pelaksanaan. Biasanya evaluasi ini dilakukan setelah proses pembelajaran berakhir, atau biasa yang disebut post-tes.
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks., karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variabel lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian, karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar, atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran oleh peserta didik.
Sebagai suatu proses, penilaian dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dan dengan tehnik yang sesuai, mungkin tes atau non tes. Tehnik apapun yang dipilih, penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.
Mengingat kompleksnya proses penilaian, guru perlu memiliki pengetahuan, kletrampilan dan sikap yang memadai. Dalam tahap persiapan terdapat beberapa kegiatan, antara lain penyusunan tabel spesifikasi yang didalamnya terdapat sasaran penilaian, tehnik penilaian, serta jumlah instrumen yang diperlukan. Pada tahap pelaksanaan, dilakukan pemakaian instrumen untuk menemukan respon peserta didik terhadap instrumen tersebut sebagai bentuk hasil belajar, selanjutnya dilakukan penelitian terhadap data yang telah dikumpulkan dan dianalisis untuk membuat tafsiran tentang kualitas prestasi belajar peserta didik, baik dengan acuan kriteria (PAP) maupun dengan acuan kelompok.
Kemampuan lain yang harus dikuasai guru sebagai evaluator adalah memahami tehnik evaluasi, baik tes maupun non tes yang meliputi jenis masing-masing tehnik, karakteristik, prosedur pengembangan, serta cara menentukan baik atau tidaknya ditinjau dari berbagai segi, validitas, reabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran soal.
Hal penting untuk diperhatikan adalah bahwa penilaian perlu dilakukan secara adil. Prinsip ini diikuti oleh prinsip lain agar penilaian bisa dilakukan secara objektif, karena penilaian yang adil tidak dipengaruhi oleh faktor keakraban (hallo effect), menyeluruh, mempunyai kriteria yang jelas, dilakukan dalam kondisi yang tepat dan dengan instrumen yang tepat pula, sehingga mampu menunjukkan prestasi belajar reserta didik sebagaimana adanya. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan rancangan dan frekuensi yang memadai dan berkesinambungan, serta diadminstrasikan dengan baik.
Selain menilai hasil belajar peserta didik, guru harus pula menilai dirinya sendiri, baik srbagai perencana, pelaksana, maupun pennilai program pembelajaran. Oleh karena itu, dia harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang penilaian program sebagaimana memahami penilaian hasil belajar. Sebagai perancang dan pelaksana program, dan memerlukan balikan tentang efektifitas programnya agar bisa menentukan apakah program yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Perlu diingat bahwa penilaian bukan merupakan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan.

Kemampuan mengevaluasi (pelaksanaan penilaian)
Untuk dapat menentukan tercapai tidaknya ujuan pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan usaha dan tindakan atau kegiatan untuk menilai hasil belajar. Penilaian hasil belajar bertujuan untuk melihat kemajuan belajar pserta didik dalam hal penguasaan materi pengajaran yang telah dipelajari tujuan yang ditetapkan.
Penilaian dalam proses belajar mengajar meliputi:
1. Evaluasi formatif
2. Evaluasi sumatif
3. Pelaporan hasil evaluasi
4. Pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan.

1. Evaluasi formatif
Evaluasi formatif adalah penilaian yang dilakukan guru setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari oleh siswa (Suharsimi Arikunto, 1988 : 42), penilaian formatif disebutkan dengan istilah pada akhir satuan pelajaran. Penilaian ini berfungsi untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan dalam setiap satuan pelajaran (Dekdikbud., 1987 : 48)

2. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah penilaian yang diselenggarakan oleh guru setelah satu jangka waktu tertentu. Untuk Sekolah Dasar pada akhir catur wulan, sedangkan untuk sekolah lanjutan dilaksanakan pada akhir semester. (Suharsimi Arikunto, 1988 : 83). Penilaian sumatif beguna untuk memperoleh informasi tentang keberhasilan belajar siswa yang dipakai sebagai masukan utama untuk menentukan nilai rapor atau nilai akhir catur wulan semester. (Dekdikbud., 1987).

3. Pelaporan hasil evaluasi
Setelah memberi evaluasi formatif maupun sumatif, setiap akhir catur wulan atau akhir semester setiap guru harus mengolah nilai akhir dan memasukkan kedalam buku rapor, yang merupakan laporan hasil kerja. Buku rapor berfungsi untuk laporan hasil kerja sekolah kepada orang tua atau wali murid. Penilaian yang dlakukan terhadap proses belajar mengajar berfungsi sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran, dalam hal ini adalah TIK. Dengan fungsi ini dapat diketahui tingkat penguasaan fungsi ini dapat diketahui tingkat penguasaan bahan pelajaran yang seharusnya dikuasai siswa.
b. Untuk mengetahui keefektifan proses belajar mengajar yang dilakukan guru. Dengan fungsi ini guru dapat mengetahui berhasil tidaknya ia mengajar. Rendahnya belajar siswa tidak semata-mata disebabkan kurang berhasilnya guru mengajar. Melalui penilaian, berarti menilai kemampuan guru itu sendiri dan hasilnya dapat dijadikan bahan dalam memperbaiki tindakan mengajar berikutnya. (Nasa Sudjana, 1989 : 111).
Dalam melakukan penilaian, yang harus diperhatikan adalah :
a. Sasaran penilaian.
Sasaran atau objek evaluasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang mencangkup bidang kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang. Masing-masing bidang terdiri sejumlah aspek dan aspek tersebut hendaknya dapat diungkapkan melalui penilaian tersebut. Dengan demikian dapat diketahui tingkah laku nama yang sudah dikuasainya dan mana yang belum sebagai bahan perbaikan dan penyusunan program pengajaran selanjutnya.
b. Alat penilaian.
Penggunaan alat penilaian hendaknya komprehensif, yang meliputi tes dan non tes, sehingga diperoleh gambaran hasil belajar yang objektif. Demikian pula bentuk tes bukan hanya tes essay. Sedangkan jenis non tes digunakan untuk menilai tingkah laku, sepeti aspek minat dan sikap. Alat evaluasi non tes, antara lain : observasi, wawancara, studi kasus dan rating scale (skala penilaian). Penilaian hasil belajar hendaknya dilakukan secara kesinambungan agar diperoleh hasil yang menggambarkan kemampuan peserta didik dan sebenarnya.

4. Pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan
Menurut petunjuk teknis No. 166/113. VI/91 yang didalamnya ditetapkan tentang penilaian dan analisis hasil evaluasi belajar serta program perbaikan dan pengayaan, dijabarkan sebagai berikut :
Apabila seorang siswa dalam ulangan (tes formatif/ tes sumatif) mencapai nilai kurang dari 7,5 atau daya serapnya kurang dari 70% maka yang bersangkutan harus mengikuti perbaikan. (Dikdiksar, 1991 : 2).
Tujuan ulangan perbaikan adalah agar siswa memperoleh penguasaan yang baik terhadap tujuan (TIK) yang harus dicapai. Bagi siswa yang sudah menguasai TIK, sekurang-kurangnya 75 %, dapat diberikan pengayaan, apabila masih ada waktu untuk satuan pelajaran tertentu, sebelum beralih ke materi lain.
Program perbaikan dan pengayaan dalam pengajaran sangat diperlukan dalam rangka pelaksanaan pola belajar tuntas. Ketuntasan belajar adalah pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan bagi setiap unit bahan pelajaran, bik secara perorangan maupun klompok. Taraf penguasaan minimal tersebut mempunyai kriteria sebagai berikut :
a. Mencapai 75% dari materi setiap satuan bahasan dengan melalui penilaian formatif.
b. Mencapai 60% dari nilai ideal (10) yang diperolehnya melalui perhitungan hasil tes sub sumatif/ sumatif dan kokurikuler atau siswa mendapat nilai 6 pada rapor untuk mata pelajaran yang bersangkutan.
c. Mencapai taraf penguasaan minimal kelompok yang 85% dari jumlah siswa dalam kelompok yang bersangkutan telah memenuhi kriteria ketuntasan. (Saidiharjo, 1991 : 9).
Berdasarkan tes formatif, siswa yang taraf penguasaannya kurang dari 75% diberikan program perbaikan, sedangkan siswa yang telah mencapai 75% atau lebih diberikan pengayaan. Bentuk pelaksanaan perbaikan dapat dilakukan dengan :
a. Penjelasan kembali materi yang sedang dipelajari.
b. Pemberian tugas tambahan kepada perorangan siswa dengan mengerjakan kembali soal/ tugas, berdiskusi dengan temannya atau membaca kembali suatu uraian.
Sedangkan bentuk pelaksanaan pelajaran pengayaan dapat berupa : membaca / mempelajari bahan pelajaran baru atau penyelesaian tugas pekerjaan rumah (PR).



DAFTAR PUSTAKA


E. Mulyana. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya


Mana Syaodih Sukmadinata. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya


Rlafis Kosasi Soetjipto. 2004. Profesi Keguruan. Jakarta : Rineka Cipta


Suparlan. 2006. Guru Sebaga Profesi. Yogyakarta : Hikayat Publishing


Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran Berorentasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Cipta

Sunday, December 7, 2008

Kesehatan

Tips & Cara Mencegah / Mengatasi Ejakulasi Dini / Ejakulasi Prematur Pada Pria - Problem Seks / Sex / Seksologi
Mon, 05/06/2006 - 3:17am — godam64
Dari Arti, definisi dan pengertian ejakulasi dini atau yang disebut juga dengan ejakulasi prematur adalah suatu masalah suami istri di mana dalam berhubungan seks laki-laki keluar atau orgasme lebih dahulu daripada wanita. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena yang perempuan tidak mendapatkan puncak kenikmatan. Waktu tidak menjadi masalah walaupun isteri anda keluar dalam tempo 10 detik dan anda pada 15 detik. Intinya adalah konsep lady first harus diutamakan.
Terkadang masalah ini tidak dipahami dan disadari oleh para lelaki, sehingga dapat berujung pada masalah rumah tangga di luar urusan ranjang. Dalam berhubungan suami istri kedua belah pihak harus sama-sama mendapatkan kepuasan. Pendidikan seks dasar haruslah diketahui dan dimengerti oleh kedua pihak, jangan sampai ada yang mau menang sendiri tanpa memikirkan pasangannya.
Langkah mengatasi dan mencegah jakulasi dini / ejakulasi prematur :
1. Arah pikiran dan konsentrasi
Arahkan pikiran anda pada sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan sex saat berhubungan badan. Bisa juga sambil memikirkan yang anda tidak sukai. Hal ini akan mengurangi rangsangan yang diterima oleh suami.
2. Mengurangi sensitifitas pada penis
Gunakan kondom, cream atau alat bantu seks lainnya yang dapat mengurangi rangsangan yang diterima oleh pihak pria. Kondom yang digunakan sebaiknya yang ukuran tebal agar dapat mengurangi rangsangan yang bakal diterima nanti.
3. Teknik cabut
Ketika si laki-laki akan orgasme buru-buru dicabut tepat pada waktunya, jangan sampai sperma keluar semua. Tehnik ini diperlukan peran serta isteri agar dapat berhasil.
4. Posisi yang tepat
Carilah posisi-posisi hubungan intim yang biasanya dapat anda nikmati dalam waktu yang lama. Pakailah posisi tersebut di awal permainan agar anda dapat tahan lama dan pasangan anda bisa orgasme atau keluar lebih dahulu.
Perhatian :
- Hubungi dokter jika cara ini tidak mempan dan jangan memakai obat sembarangan karena bisa fatal akibatnya.
- Jangan berhubungan seks bebas tanpa ikatan perkawinan. Dampaknya dapat berakibat fatal pula. Penyakit menular seksual / PMS selalu beredar di mana-mana tanpa anda sadari. Gunakan teknik yang aman untuk mendapatkan kepuasan batin.
- Pastikan pasangan anda bebas pms sebelum dan sesudah menikah secara berkala.


Latihan Kegel Bagi Pria, Bisa Kontrol Ejakulasi

Kapanlagi.com - Sebuah pertanyaan yang banyak diutarakan seorang pria yaitu, “Bagaimana saya bisa mengontrol diri agar tidak terlalu cepat ejakulasi?" Jawabannya cukup sederhana – memang tidak sesederhana itu, karena masih ada jalan untuk mengatasinya.
Anda dapat melakukannya saat Anda sedang duduk atau sedang bekerja dihadapan pengawasan.
Otot PC
Baik wanita atau pria harus memiliki sebuah otot PC (pubococcygeus), untuk melindungi pinggul saat berada di lantai. Anda harus tetap menjaga otot-otot tersebut tetap dalam posisi puncak sehingga Anda bisa memaksimalkan pengalaman seks Anda.
Berikutnya pergilah ke kamar kecil dan mulailah buang air kecil dan cobalah untuk berhenti buang air kecil di tengah-tengah, bisakah Anda melakukan hal tersebut? Jika Anda tak bisa melakukannya cobalah untuk membiasakan hal tersebut untuk mempertahankan kesehatan Mr P.
Percobaan lainnya, saat Anda mengalami ejakulasi bisakah Anda menekan otot-otot PC Anda dan membuat Mr. P Anda bangun. Jika Anda tidak bisa melakukannya, berarti Anda membutuhkan latihan seks setiap hari, lebih dari yang Anda perkirakan.
Cara Kerja Otot
Melatih otot-otot tersebut secara rutin akan memperpanjang waktu bercinta Anda dan semakin membuat saat klimaks lebih hebat. Beberapa pria yang memiliki otot-otot PC yang sehat sebenarnya dapat menggantungkan sehelai handuk saat mengalami ereksi dan menaikkannya serta merendahkan Mr. P mereka dengan kemauan sendiri. Anda juga dapat menggunakan sehelai kain atau sapu tangan.
Melatih otot bisep Anda dapat membantu memberi kekuatan lebih, otot-otot PC dapat membantu Anda menentukan serta memberi kekuatan saat Anda mengalami ereksi dan orgasme.
Lokasi otot
Seperti yang telah disebutkan di atas, menghentikan urine saat Anda buang air kecil dapat menentukan saat Anda harus menggunakan otot-otot PC, cobalah berhenti buang air kecil sampai tiga kali sehingga Anda dapat menentukan posisi otot-otot PC tersebut.
Meskipun metode ini kurang terdengar memikat, tetapi Anda dapat menggunakan salah satu jari Anda dan mencoba untuk membuat otot-otot PC berkontraksi, sehingga Anda dapat merasakannya karena jari-jari anda akan merasakan kontraksi pada anus (karena sebuah tekanan). Selalu usahakan otot-otot yang lain (paha, punggung, serta perut) dalam keadaan santai. Ingatlah semakin kuat otot-otot PC Anda maka Anda akan semakin menikmati seks.
Pilih Latihan
Terdapat beberapa perbedaan latihan yang dapat Anda lakukan. Pilihlah salah satu yang sesuai untuk diri Anda dan lakukanlah secara rutin, dan ajaklah pasangan Anda untuk turut melakukannya juga, karena Anda berdua dapat saling merasakan keuntungannya. Selalu mempertahankan otot-otot yang lainnya tetap dalam keadaan santai.
Latihan 1:
Dengan segera ketatkan dan lepaskan otot-otot PC dalam tempo waktu 10 detik – dan istirahat selama 10 detik. Ulangi sampai tiga kali dan istirahatlah selam 30 detik. Ketatkan dan lepaskan selama 5 detik dengan jedah waktu setiap 5 detik – istirahatlah selama 10 detik. Ketatkan otot-otot PC Anda selama 30 detik dan lepaskan kembali selama 30 detik – ulangi selama 3 kali. Ulangi latihan tersebut setiap hari.
Latihan 2:
Ketatkan otot-otot PC Anda dan pertahankan sampai hitungan ke 5 dan lepaskan. Ulangi sampai 10 kali. Ketatkan dan lepaskan otot-otot tersebut sepuluh kali lebih cepat, dan ulangi sampai tiga kali. Ketatkan dan lepaskan otot-otot PC dalam waktu lebih lama dan selang yang pendek dalam hitungan ke sepuluh. Ulangi sebanyak tiga kali. Ketatkan otot-otot tersebut dan pertahankan selama mungkin, cobalah untuk mempertahankannya selam 120 detik (selama 2 menit).
Latihan 3:
Tekan dan lepaskan otot tersebut secara terus menerus. Mulai dengan satu set 30, dan kemudian secara perlahan-lahan tingakatkan sampai melebihi 100. Tekan seketat mungkin (pastikan hanya otot-otot PC Anda otot yang diketetkan). Pertahankan selama 20 detik, kemudian istirahatkan selama 30 detik. Ulangi sampai 5 kali.
Latihan 4:
Perlahan-lahan mulailah mengetatkan dan melepaskan otot-otot Anda selama 2 menit setiap hari sampai Anda dapat mengerjakannya selama 20 menit sekurang-kurangnya 3 kali setiap hari. Lakukan sampai akhirnya Anda bisa melakukannya sekurang-kurangnya 200 perulangan setiap sesi.
Kapanpun
Perlu diingat bahwa Anda dapat melakukan latihan tersebut dimana saja dan kapan saja, tidak ada alasan apapun Anda mengabaikan latihan tersebut. Tidak seorangpun akan mengetahui bahwa Anda sedang menekan atau mengetatkan otot-otot tersebut, kecuali Anda terus tersenyum dan melakukannya seperti orang tolol.
Karena otot-otot tersebut sembuh dengan segera, Anda bisa memulai “membangunkannya” dengan ereksi yang lebih solid, terutama jika kekasih hati sedang tidur telanjang di sebelah Anda pada malam hari (Anda pasti mengetahui maksud saya).
Disarankan untuk berlatih setiap hari dalam hidup Anda. Kemampuan seksual serta kontrol diri Anda akan semakin meningkat dan Anda akan mendapatkan Mr. P Anda menjadi lebih kuat.
Melewati ruangan
Anda bisa mengambil keuntungan dari latihan PC tersebut dengan sedikit selera humor "semprot di seberang ruangan" (squirt across the room) departemen.
Ingatkah Anda pada Peter North bintang pornografi? Sebuah kabar angin menyatakan dia lakukan berlatih hal tersebut setiap hari Anda juga bisa melakukan ereksi tersebut bahkan bisa mengalami ejalulasi sampai langit-langit. Nikmatlah cara tersebut...
Nikmatilah
Jika Anda mulai menguasai latihan tersebut dan dapat melihat sebuah perbedaan dengan jelas, maka dilain waktu saat Anda bercinta dengan seorang wanita usahakan untuk tetap didalamnya tanpa bergerak sedikitpun. Sebaliknya jika Anda melakukan gerakan keluar masuk seperti yang biasa lakukan, semata-mata hanya untuk menekan dan melepas otot PC Anda.
Jika pasangan Anda melakukan latihan tersebut dengan benar, Anda berdua dapat mencobanya satu sama lain sehingga mendapatkan sebuah sensasi bahwa Miss V nya memberi Anda sebuah “hug”(puncak), dan pasangan Anda akan merasa seperti Anda meraih daerah G-spot-nya, dan percayalah Anda berdua akan menikmatinya. (askmen/rita)

Thursday, December 4, 2008

Religius

Isra' dan Mi'raj
Oleh Ustaz Syed Hasan Alatas
"Maha suci (Allah) yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad 
s.a.w.) pada suatu malam hari, dari masjidil Haram ke masjidil Aqsha, yang telah Kami berkati sekelilingnya, karena hendak Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha melihat." (maksud ayat 1 s.al-Isra') 
Allah s.w.t. telah mengisra'kan (memperjalankan diwaktu malam hari) Nabi Muhammad s.a.w. dari masjidil Haram (di Makkah) ke masjidil Aqsha artinya masjid yang jauh (di Palistina). Dahulunya orang biasa berjalan kaki dari satu tempat ketempat, ataupun menaiki kuda, keledai, unta dan sebagainya. 
Perjalanan dari Makkah ke Palestina mengambil masa lebih kurang 40 hari. Ini adalah suatu perjalanan yang jauh, tetapi dengan kuasa Allah telah dilakukan dalam 
masa yang singkat, hanya dalam beberapa jam sahaja. Bagi orang dahulu, perrjalanan yang demikian jauh jika dapat dilakukan dalam masa beberapa jam sahaja adalah suatu hal yang luar biasa dan tidak dapat diterima oleh akal mereka. 
Sebabnya belum ada kenderaan yang mereka tunggangi seperti kuda, keledai 
ataupun unta yang boleh melakukankannya. Pada zaman yang serba maju sekarang ini, hal itu telah menjadi perkara biasa, dengan adanya pesawat udara dan kenderaan lain yang laju. 
Oleh karena itu mereka yang tidak beriman seperti Abu Jahal dan pengikut-pengikutnya menggunakan peristiwa ini untuk menjatuhkan nama 
baik Nabi Muhammad s.a.w. dengan menuduh Nabi s.a.w. seorang pendusta dan 
berbagai tuduhan keji lainnya. 
Mereka yang beriman dapat menerimanya karena ia merupakan salah satu 
tanda dari kekuasaan Allah s.w.t. yang telah pernah diberikan kepada 
Rasul-rasulnya yang lain seperti Nabi Isa a.s. yang dilahirkan dengan 
tidak mempunyai ayah malah beliau dapat berkata-kata diwaktu bayi, dapat 
menyembuhkan orang yang sakit, dapat menghidupkan orang yang telah mati 
dan sebagainya. 
Demikian pula Nabi Musa a.s., tongkatnya dengan kuasa Allah telah menjelma menjadi ular yang besar yang dapat menelan dan mengalahkan ular ahli sihir raja Firaun. Malah Nabi Musa dengan tongkatnya dapat membelah lautan untuk menyelamatkan para pengikutnya dari kejaran Firaun dan bala tenteranya. Banyak lagi tanda-tanda kekuasaan dari Allah s.w.t.yang telah diberikan kepada para Rasul yang disebutkan dengan mu'jizat dan kepada hambanya yang solih disebutkan 
sebagai karamah. 
Dalam perjalanannya, Nabi s.a.w. telah ditunjukkan berbagai contoh teladan yang berguna untuk ummat manusia. Antaranya, kepada Nabi s.a.w. telah ditunjukkan seorang tua yang terus menerus menambahkan beban yang sedang dipikulnya. Meskipun ia tak mampu lagi membawanya tapi masih juga menamban beban yang telah banyak itu sehingga menyusahkan dirinya sendiri. 
Ini diumpamakan kepada seseorang yang memegang banyak pekerjaaan 
yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga tidak ada satupun pekerjaan yang 
dapat ditunaikan dengan baik.Tetapi masih juga menerima tugas baru. 
Sepatutnya ia hanya menerima tugas yang ia sanggup menyelesaikan dengan 
baik. Akan tetapi oleh sifat tamak dan ingin menunjuk-nunjuk atau supaya 
populer, masih juga menerima tugas yang dia sendiri tak dapat menunaikan 
dengan baik. 

Padahal masih ramai orang lain yang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur, tetapi orang ini tidak diberikan kesempatan tugas itu. Jadi terjadilah ketidak seimbangan yang akan merugikan masyarakat dan negara. Kepada yang seorang memikul banyak sekali tugas dan yang lainya menganggur. 
Kepada Rasulallah s.a.w. juga telah ditunjukkan suatu kaum yang bertanam sehari dan menuai sehari. Ini diumpamakan kepada orang yang melakukan amal kebajikan yang telah dilipat gandakan Allah pahalanya. 
Kepada Nabi s.a.w. juga telah ditunjukkan orang lelaki yang suka memakan makanan yang telah tercemar, telah busuk, sedangkan disampingnya ada makanan yang bersih dan baik, akan tetapi makanan yang bersih dan masih baik ini tidak dijamahnya. Ini diumpamakan kepada lelaki yang suka berzina. Isterinya sendiri tidak diperdulikan, yang menjadi kesukaannya ialah perempuan pelacur, sehingga akhirnya dia mendapat berbagai penyakit kelamin, penyakit AIDS dan sebagainya sehingga menghancurkan kehidupannya malah keluarganya juga turut terkorban, akibat perbuatan kejinya itu. 
Masih banyak lagi perumpamaan lainnya, semuanya ini merupakan tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t. yang ditunjukkan kepada Nabi s.a.w. untuk menjadi contoh teladan kepada ummat manusia. 
Hasil dari Isra' dan Mi'raj Nabi s.a.w. yang terbesar sekali ialah menerima tugas perintah dari Allah s.w.t.menunaikan ibadah Solat (sembahyang). Banyak arahan melakukan ibadah lainnya diterima melalui wahyu yang diturunkan Allah s.w.t. Ibadah solat diterima langsung daripada Allah s.w.t. ini menunjukkan keistimewaan solat. 
Tidak ada alasan bagi siapapun untuk meninggalkan solat. Jika kita sakit tak mampu menunaikan dengan berdiri, boleh ditunaikan dengan duduk. Tak sanggup duduk boleh secara berbaring. Tak boleh dengan berbaring boleh dengan isyarat. Tak ada air boleh tayammum, pendek kata ibadah solat mestilah ditunaikan dalam keadaan apapun juga dan dimanapun kita berada. 
Kecuali jika timbul sesuatu halangan yang memang telah ditakdirkan Allah seperti tidak siuman (gila), kita pingsan, tak sadar diri ataupun lainnya. 

Sebelum menunaikan solat kita mesti terlebih dahulu membersihkan diri kita daripada najis dan mengambil air sembahyang. Tempat kita bersujud perlu juga 
bersih. Ketika mendirikan solat kita hanya menumpukan seluruh perhatian 
kita hanya kepada Allah s.w.t. 
Semua yang kita lakukan sebelum dan ketika solat semua itu akan mendidik kita menjadi orang yang bersih, berdisiplin, dan insya Allah akan menyehatkan rohani dan jasmani kita dengan gerakan-gerakan yang dilakukan ketika solat. Insya Allah jika kita rajin menunaikan ibadah solat denga teratur dan rapi akan membentuk 
peribadi yang sehat rohani dan jasmani. Inilah intisari Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad s.a.w. 
Insya-Allah kita akan berjumpa lagi. 
Hikmah dari Isra' Mi'raj 
Posted by: hendra on Saturday, October 04, 2003 - 08:48 
Hudzaifah.org - Beberapa pekan yang lalu, kita melewati sebuah peristiwa sejarah yang sangat monumental. Momentum sejarah tersebut adalah peristiwa yang terjadi sekitar 14 abad Hijriyah yang lalu, yaitu peristiwa Isra' Mi'raj. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Al-Quds, lalu dilanjutkan dengan menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluq, malaikat, manusia, dan jin. Semua itu ditempuh dalam sehari semalam. Peristiwa itu sekaligus sebagai mukjizat mengagumkan yang diterima Rasulullah SAW.
Permintaan kaum kafir Quraisy kepada Nabi SAW
Sebenarnya, sebelum peristiwa itu terjadi, orang-orang kafir Quraisy pernah meminta kepada Rasulullah untuk menunjukkan hal-hal yang aneh, karena mereka tidak percaya kalau Muhammad SAW itu adalah nabi. Permintaan-permintaan itu mereka lontarkan untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar seorang Nabi. Hal ini direkam oleh Allah dalam Al Qur'an sebagai berikut:
"Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca". (QS. Bani Israil : 90 - 93)
Kalau kita jabarkan dari ayat di atas, mereka meminta hal-hal di bawah ini kepada Rasulullah:
Mereka meminta untuk memancarkan mata air dari bumi.
Mereka juga meminta sebuah kebun kurma dan anggur, dengan air mengalir di bawahnya. Padahal di sekitar situ sebagian besar padang pasir.
Mereka meminta untuk menjatuhkan langit.
Mereka juga meminta menghadirkan Allah beserta malaikat-malaikatnya untuk dihadapkan kepada mereka. Sungguh suatu permintaan yang lancang. 
Mereka juga meminta sebuah rumah dari emas. 
Yang terakhir, mereka meminta Nabi untuk naik ke langit tanpa membawa buku, lalu harus kembali dengan membawa sebuah buku (kitab) untuk mereka baca. 
Permintaan mereka itu betul-betul "kebangetan". Tetapi Rasulullah SAW menjawabnya dengan bijaksana, "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS. Bani Israil: 93). Allah Yang Maha Suci tentu Maha Kuasa untuk melakukan semua itu, tetapi Rasulullah mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa yang diangkat menjadi seorang Rasul, sehingga tidak mungkin melakukan semua itu. 
Kita bisa ambil pelajaran dari dari hal di atas. Mungkin sampai zaman kapan pun, kebenaran (baca: Islam) akan menghadapi hal-hal seperti itu. Orang yang membawa kebenaran akan selalu menghadapi permintaan-permintaan yang diluar kemampuan. Dan permintaan tersebut kebanyakan hanya sebagai "olok-olok". Karena, kalaupun kita bisa memenuhi permintaan itu, mereka kebanyakan tetap tidak akan mendengar Islam ini. Hanya sedikit yang mau mendengarnya. Sebagaimana halnya Rasulullah setelah mengalami peristiwa Isra' Mi'raj, tidak banyak yang mempercayai perjalanannya tersebut, bahkan ada yang mengatakan Nabi gila walaupun Nabi sudah memberikan bukti-bukti atas apa yang telah dia alami (Isra' Mi'raj).  
Peringatan Isra' Mi'raj sebagai motivasi
Kalau kita baca sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, Rasulullah mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya dikala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang (walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas Nabi. Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya kepada Nabi, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah SAW. 
Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasullah semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah "menghibur" Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan menemui Allah. Hingga kini, peristiwa ini seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dalam peringatan Isra' Mi'raj. Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka beribadah (ibadah dalam artian ibadah ritual khusus). Namun peringatan tersebut juga terdapat beberapa catatan. Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di bawah ini.
Dalam Al Qur'an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya ada 4 ayat yang menjelaskan tentang Isra' Mi'raj, yaitu QS. Bani Israil ayat 1, dan QS. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya, kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra' Mi'raj ini, tapi pada konsepnya, sistemnya, muatannya, dan sebagainya. Pada surat An Najm ayat 13-15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra Mi'raj. Sebelumnya Rasulullah juga pernah menjumpai malaikat jibril dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (QS. Al Alaq: 1-5) dari Allah SWT, yaitu ketika di gua Hira.
Dan di antara 25 nabi, hanya 2 Nabi yang yang pernah berbicara langsung kepada Allah, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana dengan Nabi Adam, bukankah beliau juga pernah berdialog dengan Allah? Ya, tapi Nabi Adam ketika itu masih di Surga. Setelah diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog secara langsung. Nabi Musa berdialog dengan Allah secara langsung yaitu ketika di bukit Tursina (di bumi), sedangkan Nabi Muhammad di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi), kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya, di muatannya. Oleh karena itulah, peristiwa Isra' Mi'raj sendiri tidak perlu secara berlebihan diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri merupakan mukjizat imani, maksudnya adalah mukjizat yang hanya bisa diterima apabila kita beriman. 
Meskipun hanya Nabi Muhammad yang telah diperjalankan pada malam harinya (Isra' Mi'raj), tapi dia tetaplah manusia biasa, hamba Allah. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum Islam (Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.
Mengapa Masjidil Aqsa?
Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra' Mi'raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya, antara lain:
Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Inilah yang menyebabkan Yahudi dan Kristen menolak Nabi Muhammad, karena mereka melihat asal usul keturunannya (nasab). Alasan mereka itu sangat tidak ilmiah, dan kalau memang benar, mereka berarti rasialis, karena melihat orang itu dari keturunannya. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berda'wah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berda'wah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan "golongan" Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya. 
Hikmah berikutnya adalah, Allah dengan segala ilmu-Nya mengetahui bahwa Masjidil Aqsa adalah akan menjadi sumber sengketa sepanjang zaman setelah itu. Mungkin Allah ingin menjadikan tempat ini sebagai "pembangkit" ruhul jihad kaum muslimin. Kadangkala, kalau tiada lawan itu semangat jihad kaum muslimin "melemah" karena terlena, dan dengan adanya sengketa tersebut, semangat jihad kaum muslimin terus terjaga dan terbina.
Berikutnya, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur'an surat An Najm ayat 12, terdapat kata "Yaro" dalam bahasa Arab yang artinya "menyaksikan langsung". Berbeda dengan kata "Syahida", yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da'wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan Nabi-nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa Nabi yang sebelumnya pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da'i, bahwa dalam kesulitan da'wah itu bukan berarti Allah tidak mendengar. 
Perintah Shalat
Pada Isra' Mi'raj, Allah memberikan perintah sholat wajib. Dan sholat Subuh adalah sholat yang pertama kali diperintahkan. Karena peristiwa Isra' Mi'raj sendiri terjadi pada saat malam hari. Subuhnya Rasulullah sudah tiba kembali di tempat semula. Mungkin ini juga hikmah bagi kita semua, karena sholat Subuh adalah sholat yang sulit untuk di laksanakan, di mana pada saat itu banyak manusia yang masih terlelap dalam tidurnya. Sebelum diperintahkannya sholat wajib 5 waktu ini, Rasulullah melaksanakan sholat sebagaimana Nabi Ibrahim. 
Kita tidak hanya diperintahkan untuk mengerjakan sholat, tetapi juga menegakkan sholat. Sholat bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari sholat, demikian kata seorang ustadz. 
Demikianlah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa Isra' Mi'raj. Semoga semakin menambah keimanan kita kepada Allah, kitab-Nya, Nabi-nabi-Nya, para malaikat-Nya, Hari Akhir, serta Qadha dan Qadar-Nya.
ISRA` MI`RAJ, EINSTEIN DAN KEBENARAN FIRMAN ILAHI 
Posted In: ESAI , ISLAM , SAINS . By Usman Didi Khamdani 
(Sebuah Tinjauan)
ISRA`MI`RAJ, sebagai sebuah peristiwa metafisika (gaib), barangkali bukan sesuatu yang istimewa. Kebenarannya bukanlah sesuatu yang luarbiasa. Kebenaran metafisika adalah kebenaran naqliyah (: dogmatis) yang tidak harus dibuktikan secara akal, namun lebih bersifat imani. Valid tidaknya kebenaran peristiwa metafisika—secara akal, bukanlah soal selagi ia diimani.
Namun, Isra` Mi`raj bukanlah peristiwa metafisika. Ia adalah peristiwa fisika (: nyata; badaniah) yang dialami dan dijalani Nabi Muhammad saw dengan segenap kesadaran inderawinya, sebagaimana diterangkan dalam Alqur`an surat Al-isra` ayat 1 dan Annajm ayat 13.
Maka, sebagai peristiwa fisika, Isra` Mi`raj adalah sesuatu yang istimewa. Kebenaran Isra` Mi`raj adalah kebenaran yang luarbiasa. Keistimewaan ataupun keluarbiasaan tersebut, tidak lain karena pemberontakannya pada tradisi. Kebenaran Isra` Mi`raj adalah kebenaran inkonvensional.
Maka, wajar kiranya, jika banyak orang pun mempertanyakan (meragukan?) ke-shahih-an Isra` Mi`raj tersebut. Menganggap Isra` Mi`raj sebagai sesuatu yang mengada-ada dan dongeng Nabi belaka.
Toh, Isra` Mi`raj bukanlah cerita rekaan ataupun dongeng Nabi. Isra` Mi`raj adalah sebuah firman Ilahi dan, firman Ilahi tetaplah sebuah kebenaran. Kebenaran hakiki dan mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Meski ia berseberangan dengan tradisi ilmu pengetahuan. Meski ia bertentangan dengan akal nalar manusia.
Albert Einstein 
Maka, bukan suatu kebetulan kiranya, jika kemudian Allah ciptakan seorang manusia bernama Albert Einstein, ilmuwan berbangsa Yahudi (bangsa yang sejak awal `menentang` Islam), yang kelak dengan teorinya, kebenaran Isra` Mi`raj menjadi nyata adanya.
Lahir di Jerman tanggal 14 Maret 1879 dan meninggal di Amerika Serikat tanggal 16 April 1955. Sebagai ilmuwan, Einstein telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk menerobos dan membabat kelebatan dan kepekatan hutan ilmu pengetahuan. Dengan dedikasi dan vitalitasnya yang tinggi, iapun dapat membukakan jalan pencerahan bagi banyak orang. Ia telah menyumbangkan pikiran-pikirannya yang begitu berharga. Menyumbangkan teori-teorinya yang dapat memecahkan banyak teka-teki dan persoalan yang selama ini menyelimuti kehidupan.
Teori Relativitas 
Satu dari sekian teorinya, adalah tentang relativitas. Sebuah teori yang mengupas hakikat alam semesta sebagai suatu susunan terpadu di mana segala yang ada di dalamnya, dengan kemajemukan dan keberagamannya, tunduk pada satu hukum universal, dengan kecepatan cahaya sebagai konstanta bandingnya. Sebuah teori yang, kelak melahirkan pula teori (ide) tentang bom atom yang begitu mengerikan itu.
Dalam teorinya itu, Einstein menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak dalam kehidupan ini. Segala sesuatu relatif dalam gerak dan kedudukannya. Sebuah bola yang bulat, suatu saat akan dapat berubah pipih. Begitu pun penggaris yang panjang, pada saat yang berbeda dapat mengerut, pendek. Sebuah benda yang berbobot ringan di satu saat, dapat menjadi berat atau tidak berbobot sama sekali di saat-saat lainnya. Jarum jam yang bergerak cepat mengukur waktu, ada kalanya menjadi lambat bahkan pada satu titik masa, berhenti sama sekali. Juga jantung yang berdenyut menandai usia, dapat mengalami kelambatan hingga usia pun berjalan lebih lambat dari yang semestinya.
Einstein merumuskan teorinya dalam sebuah persamaan:
 
t' = waktu benda yang bergerak
t = waktu benda yang diam
v = kecepatan benda
c = kecepatan cahaya
Diterangkan bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya, akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan suatu benda (v) dengan kecepatan cahaya (c), semakin besar pula efek yang dialaminya (t`): perlambatan waktu. Hingga ketika kecepatan benda menyamai kecepatan cahaya (v=c), benda itu pun sampai pada satu keadaan nol. Demikian, namun jika kecepatan benda dapat melampaui kecepatan cahaya (v>c), keadaan pun berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu, namun sebaliknya.
Pada awalnya, teori Relativitas itu pun mendapat banyak tentangan. Seperti halnya Nabi saat memberitakan Isra` Mi`raj, Einstein saat mengumumkan teori tersebut, banyak dicemooh bahkan dianggap tidak waras karena, sebagaimana juga Isra` Mi`raj, teorinya itu pun telah menentang tradisi yang selama ini dianut dan dielu-elukan. Relativitas telah menolak kemutlakan ukuran bahwa semua benda selalu dalam keadaan tetap, tidak pernah berubah. Sebuah bola akan tetap bulat, sebuah penggaris akan tetap panjang, usia akan tetap berlari menua, bagaimanapun kondisinya.
Namun ketika laboratorium kemudian dapat menemukan gejala yang sama sebagaimana terurai dalam Relativitas, segera teori itu pun memperoleh kedudukannya yang semestinya sebagai sebuah kebenaran.
Studi tentang sinar kosmis, merupakan satu pembuktian.
Didapati bahwa di antara partikel-partikel yang dihasilkan dari persingungan partikel-partikel sinar kosmis yang utama dengan inti-inti atom Nitrogen dan Oksigen di lapisan Atmosfer atas, jauh ribuan meter di atas permukaan bumi, yaitu partikel Mu Meson (Muon), itu dapat mencapai permukaan bumi. Padahal partikel Muon ini mempunyai paruh waktu (half-life) sebesar dua mikro detik yang artinya dalam dua perjuta detik, setengah dari massa Muon tersebut akan meleleh menjadi elektron. Dan dalam jangka waktu dua perjuta detik, satu partikel yang bergerak dengan kecepatan cahaya (± 300.000 km/dt) sekalipun paling-paling hanya dapat mencapai jarak 600 m. padahal jarak ketinggian Atmosfer di mana Muon terbentuk, dari permukaan bumi, adalah 20.000 m yang mana dengan kecepatan cahaya hanya dapat dicapai dalam jangka minimal 66 mikro-detik.
Lalu, bagaimana Muon dapat melewati kemustahilan itu?
Ternyata, selama bergerak dengan kecepatannya yang tinggi—mendekati kecepatan cahaya, partikel Muon mengalami efek sebagaimana diterangkan teori Relativitas, yaitu perlambatan waktu.
Kebenaran Isra` Mi`raj 
Demikianlah Relativitas telah dapat membuktikan kebenarannya. Menyingkap kebenaran-kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik keruwetan dan arogansi ilmu pengetahuan. Termasuk, kebenaran Isra` Mi`raj.
Sebagaimana diterangkan di depan, ketika sebuah benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, seperti halnya partikel Muon, benda itu akan mengalami efek perlambatan waktu. Seseorang yang meluncur ke angkasa dengan pesawat yang berkecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka ia akan mengalami pertambahan usia yang lebih lambat dari yang semestinya di bumi. Ketika kembali ke bumi ia akan mendapati bumi telah begitu tuanya sedang dirinya hanya bertambah beberapa waktu saja. Ia telah terlempar ke masa depan. Namun jika kecepatannya ditambahkan hingga melampaui batas kecepatan cahaya, yang akan dialaminya bukanlah perlambatan waktu, namun sebaliknya. Ketika kembali ke bumi, bukan masa depan yang didapatinya. Namun, ia kembali ke masa lalu. Ia telah menjadi penziarah masa lalu.
Dan, inilah yang telah direfleksikan buraq, hewan sejenis kuda bersayap sebagai kendaraan Nabi saat melakukan perjalanan Isra`. Ketika memulai perjalanan yaitu dari Masjid Alharam (Mekkah), dengan daya kecepatan buraq (v>c), Nabi tidaklah mengarah ke masa depan. Namun kembali ke masa lalu. Dan, melewati masa lalu itulah Nabi memberangkatkan perjalanannya. Hingga, seiring guliran-guliran waktu perjalanan itu, perjalannpun melaju ke titik waktu saat mana beliau baru memulai. Hingga, kesan yang ada pun seolah-olah Nabi melakukan perjalanan Isra` Mi`raj hanyalah sesaat. Padahal, hakikatnya, beliau pun menjalani Isra` Mi`raj, berdasarkan `perhitungan` waktu pribadinya, lazimnya perjalanan-perjalanan sejenis lainnya dengan menghabiskan waktu berjam-jam atau berhari-hari atau bahkan lebih.
Demikianlah, Allah memang senantiasa memfirmankan kebenaran. Dan, firman-firman Allah memang senantiasa benar adanya. Meski terkadang akal & logika kita sangat sulit untuk menjangkaunya.
Shadaqallahul-adzim.
Makna Isra' dan Mi'raj
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.
Catatan kaki
204 Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.
205 Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.
Silakan kunjungi: penjelasan Isra' Mi'raj melalui cerita sufi.
 MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
Membumikan Ajaran Langit
Republika, 05 Nov 1999
Peringatan Isra' Mi'raj kali ini, kiranya menemukan momentumnya yang paling signifikan. Mengapa? Sebagaimana kita ketahui, puncak dari perjalanan Nabi saw -- seperti yang tersebut dalam Alquran -- tak lain dan tak bukan adalah diperintahnya seluruh umat Islam untuk menjalankan ibadah shalat. Dalam simbolisme ibadah ini, terdapat ajaran yang erat kaitannya dengan persoalan kepemimpinan. Suatu kepemimpinan yang diridhoi Tuhan, dan berimplikasi bagi selamatnya kemanusiaan.
Elan reformasi yang terdapat pada ajaran/peristiwa Isra' Mi'raj, dapat kita refleksikan pada ayat Alquran yang mengungkap peristiwa tersebut. ''Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat'' (QS Al-Israa' 17:1).
Ayat tersebut, dibuka dengan ''tasbih'' (Subhaana/Maha Suci Allah), yakni suatu etos reformatif -- yang menurut kitab Durratun Nasihin karya Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khaubawi -- menyimpan hikmah; Pertama, bahwa kebiasaan bangsa Arab bertasbih di saat menjumpai hal-hal yang menakjubkan, maka lewat firman-Nya itu seolah-olah Allah kagum dengan rasul-Nya yang sempurna kemanusiaannya (al-insan al-kamil) sehingga di perjalankan-Nya secara menakjubkan. Kedua, dengan bertasbih, Allah bermaksud menepis sinisme masyarakat Arab yang menganggap rasul-Nya telah berdusta, sehingga redaksi ayat tersebut berbunyi, ''Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya....''
Pada banyak ayat di dalam Kitab Suci Alquran, dibuka atau diawali dengan ''tasbih'', baru kemudian ''tahmid'' (pujian bagi Allah). Ini dapat kita lihat misalnya; pada surat Thoha: 130, Qaf: 39, Ath-Thur:48, Al-Furqan: 58. Juga perhatikan bacaan berikut, sebuah bacaan yang disebut sebagian ulama sebagai ''kalbunya Asmaul Husna'' (al-qalbu li al-asmaa al-husnaa), yaitu: Subhaanallaahi wal-hamdu lillaahi wa-laailaahaillallaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan melainkan Allah, dan Allah lah Yang Maha Agung).
Dalam bacaan tersebut, ''tasbih'' mendahului ''tahmid''; tasbih merupakan pembersihan, sedang tahmid adalah pemujian/penghiasan. Maka elan dan etos pembersihan mesti harus didahulukan ketimbang penghiasan. Ajaran ini sinkron dengan prinsip/kaidah fiqh yang mengatakan, bahwa: ''Mendahulukan upaya menghindar dari bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kemaslahatan'' (Dar al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih).
Apa yang perlu dihindari dan dibersihkan itu? Bahwa salah satu nilai-nilai reformasi yang hingga kini terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, adalah membersihkan (moral) aparatur pemerintahan dari hal-hal yang merugikan rakyat, termasuk diantaranya adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Integritas moral saja tidak cukup, dalam upaya mempersatukan, membangun dan memajukan bangsa, tetapi juga harus dihindari hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan, kerusuhan serta kondisi chaos dan mandeg dalam perjalanan bangsa.
Tidak bermaksud kembali mengetengahkan ''Poros Langit'' (yakni, Kiai-kiai khos yang dipimpin oleh Kiai Abdullah Faqih dari Pesantren Langitan) yang sempat melangit pada detik-detik pemilihan Presiden RI, tetapi ajaran langit yang hendak disampaikan di sini memang rada mirip dengan apa yang pernah dilakukan Presiden KH Abdurrahman Wahid yakni, sowan kepada (arwah) para leluhur.
Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Usman al-Khaubawi dalam Durratun Nasihin -- bahwa menjelang peristiwa Isra' Mi'raj, tatkala berada di Masjid Haram, dalam keadaan antara tidur dan jaga, Rasulullah saw didatangi oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Kedua Malaikat ini kemudian membelah dan membersihkan dada Nabi dengan air zamzam, setelah selesai, Nabi diminta agar berwudlu. Selanjuttnya, dengan berkendaraan Buraq, bersama Malaikat Jibril, Nabi melaksanakan perjalanan (Isra'). Di suatu tempat, Buraq itu berhenti, dan Nabi diperintahkan oleh Malaikat agar melaksanakan shalat sunnah. Kepada Nabi, Malaikat Jibril menjelaskan bahwa, ''Ke tempat inilah, kelak Anda akan berhijrah.'' Tempat itu adalah Madinah.
Perjalanan diteruskan, dan di suatu tempat, Buraq itu berhenti lagi. Dan di situ, Nabi juga melaksanakan shalat. ''Di tempat inilah, Nabi Musa berdialog dengan Tuhan.'' Itulah bukit Thursina. Perjalanan dilanjutkan, dan di suatu tempat, Buraq itu berhenti. Nabi melaksanakan shalat. ''Di tempat inilah, Nabi Isa dilahirkan,'' kata Jibril. Dan itulah Bait Lehem. Hingga sampailah di Masjid Aqsha. Para malaikat dan para Nabi (terdahulu) rupanya telah menunggu kedatangan Nabi bersama Malaikat Jibril. Selanjutnya Nabi memimpin shalat, di Masjid Aqsha.
Dari Masjid Aqsha, Nabi bersama Malaikat Jibril melanjutkan perjalanan (Mi'raj). Di tengah perjalanan, Nabi mendengar suara dari sisi kanan memanggil-manggil beliau, ''Ya Muhammad, turunkanlah kecepatanmu.'' Tetapi suara itu tidak dihiraukan oleh Nabi. Kendaraan terus melaju, tapi dari sebelah kiri, terdengar suara panggilan serupa, dan tidak dihiraukan oleh Nabi. Terakhir, terdengar panggilan suara dari seorang perempuan. Nabi pun tidak menanggapi. Dan dalam perjalanan itu, Jibril menawari Nabi dua jenis minuman, yakni susu dan arak, tetapi Nabi memilih susu.
Setelah Nabi selesai minum, Malaikat Jibril menjawab pertanyaan Nabi perihal suara-suara tadi, juga tentang makna minuman itu. Suara yang memanggil-manggil dari sisi kanan, menurut Jibril, adalah provokasi dari Yahudi, sedang dari sisi kiri adalah provokasi dari Nasrani. Tapi untunglah Nabi tidak menanggapi, sehingga -- menurut Jibril umatnya kelak tidak mudah terprovokasi untuk memasuki kedua agama tersebut.
Adapun tentang minuman, pilihan Nabi terhadap susu dibenarkan oleh Jibril, dengan begitu umatnya kelak akan berupaya sungguh-sungguh melaksanakan ajaran fitrah itu, dan tidak tersesat kemabukan dunia; sebagaimana tidak dihiraukannya suara memanggil-manggil yang datangnya dari seorang wanita (yakni, simbol perhiasan dunia).
Perjalanan Mi'raj dilanjutkan, melewati langit demi langit, di mana Nabi dapat bertemu (sowan) dengan para Nabi terdahulu di tiap shaf langit itu. Di antaranya Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Di Sidratul Muntaha (langit tertinggi), Nabi bertemu secara langsung dengan Allah, dan di situ pula Nabi mendapat perintah menegakkan shalat (termasuk umatnya). Para Nabi itu pula, terutama Musa, yang meminta agar kewajiban shalat diperingan, hingga menjadi lima waktu seperti sekarang (dengan perkenan Tuhan). Setelah itu, Nabi kembali ke bumi.
Dari ajaran langit tersebut, nilai-nilai apa kiranya yang signifikan bagi sebuah kepemimpinan? Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra' Mi'raj, yang dimulai dengan ''tasbih'', juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat pula berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan ini kontiunitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ''Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik'' (Al-muhafazah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).
Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi'raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-'adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan -- yang menyangkut kepemimpinan -- secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu'). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.
Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra' Mi'raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ''pencari Tuhan''). Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil'alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ''Kebijaksanaan rakyat'' (Tasharrufu al-imam 'ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah).
Dan kelima, amanat Rasulullah saw untuk menegakkan shalat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran shalat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan shalat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia (salam).
Kepemimpinan dalam shalat, tercermin dengan adanya seorang imam, ketika shalat tersebut tidak dilaksanakan sendirian. Makmum (pengikut/rakyat) diharuskan menegur (dengan cara tertentu) apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya. Bahkan, apabila makmum membiarkan imam melakukan kekeliruan (dengan tanpa kesengajaan) maka makmum-lah yang menanggung dosa kesalahan.
Bahwa shalat itu dimulai dengan mengagungkan Asma Allah, hal ini menunjukkan bahwa suatu kepemimpinan (bangsa) haruslah semata-mata didasari rasa amanah (kepercayaan yang diberikan Allah melalui suara rakyat). Karena itu, selain ia harus tulus ikhlas (lillaahi ta'ala) dan mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah SWT, yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga kepercayaan. Ia berupaya mewujudkan cita-cita, serta memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah mempercayainya.
Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1998
Date: Sat, 06 Nov 1999 17:56:40 +0000
From: Ngatimin Tjokro Prawiro
To: Forum Umum Diskusi Islam is-lam@isnet.org
Di manakah Tujuh Langit Itu?
T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
 Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Isra' : 1). 
Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. An-Najm:13-18). 
Ayat-ayat itu mengisahkan tentang peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Isra' adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mi'raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Di dalam kisah yang agak lebih rinci di dalam hadits disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh Nabi setelah mencapai langit ke tujuh. Dari kisah itu orang mungkin bertanya- tanya di manakah langit ke tujuh itu. Mungkin sekali ada yang mengira langit di atas itu berlapis-lapis sapai tujuh dan Sidratul Muntaha ada di lapisan teratas. Benarkah itu? Tulisan ini mencoba membahasnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. 
Sekilas Kisah Isra' Mi'raj
Di dalam beberapa hadits sahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan isra' dan mi'raj dengan menggunakan "buraq". Di dalam hadits hanya disebutkan bahwa buraq adalah 'binatang' berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Ini menunjukkan bahwa "kendaraan" yang membawa Nabi SAW dan Malaikat Jibril mempunyai kecepatan tinggi. 
Apakah buraq sesungguhnya? Tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Cerita israiliyat yang menyatakan bahwa buraq itu seperti kuda bersayap berwajah wanita sama sekali tidak ada dasarnya. Sayangnya, gambaran ini sampai sekarang masih diikuti oleh sebagian masyarakat, teruatam di desa-desa.
Dengan buraq itu Nabi melakukan isra' dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Setelah melakukan salat dua rakaat dan meminum susu yang ditawarkan Malaikat Jibril Nabi melanjutkan perjalanan mi'raj ke Sidratul Muntaha. 
Nabi SAW dalam perjalanan mi'raj mula-mula memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir. 
Jibril juga mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib.
Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku." 
Di manakah Tujuh Langit
Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan berjumlah tujuh. Kisah isra' mi'raj dan sebutan "sab'ah samawat" (tujuh langit) di dalam Al-Qur'an sering dijadikan alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.
Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam masalah ini. Dari segi sejarah, segi makna "tujuh langit", dan hakikat langit dalam kisah Isra' mi'raj. 
Sejarah Tujuh Langit
Dari segi sejarah, orang-orang dahulu --jauh sebelum Al- Qur'an diturunkan-- memang berpendapat adanya tujuh lapis langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada gambaran seolah-olah benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang berbeda-beda. 
Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus (bintang kejora) berada di langit ke tiga. Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta.
Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan. Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday adalah Sabtu. Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.
Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum'at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.
Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, ..., sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan, tsalatsah, arba'ah, khamsah, sittah, dan sab'ah. Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus, Jum'at, karena itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur'an yang menunjukkan adanya kewajiban salat Jum'at berjamaah. 
Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian "Ahad" daripada "Minggu". 
Makna Tujuh Langit
Langit (samaa' atau samawat) di dalam Al-Qur'an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.
Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya.... 
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah....
Jadi 'tujuh langit' semestinya difahami pula sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit. 
Tujuh langit pada Mi'raj
Kisah Isra' Mi'raj sejak lama telah minimbulkan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Demikian juga dengan hakikat langit. Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra' mi'raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi'raj itu peristiwa lahiriyah bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, nampaknya pengertian langit dalam kisah mi'raj itu memang bukan langit lahiriyah yang berisi bintang-bintang, tetapi langit ghaib. 
Rajab, 1415
T.Djamaluddin
  T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
Di manakah Tujuh Langit Itu?
T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
 Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Isra' : 1). 
Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. An-Najm:13-18). 
Ayat-ayat itu mengisahkan tentang peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Isra' adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mi'raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Di dalam kisah yang agak lebih rinci di dalam hadits disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh Nabi setelah mencapai langit ke tujuh. Dari kisah itu orang mungkin bertanya- tanya di manakah langit ke tujuh itu. Mungkin sekali ada yang mengira langit di atas itu berlapis-lapis sapai tujuh dan Sidratul Muntaha ada di lapisan teratas. Benarkah itu? Tulisan ini mencoba membahasnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. 
Sekilas Kisah Isra' Mi'raj
Di dalam beberapa hadits sahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan isra' dan mi'raj dengan menggunakan "buraq". Di dalam hadits hanya disebutkan bahwa buraq adalah 'binatang' berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Ini menunjukkan bahwa "kendaraan" yang membawa Nabi SAW dan Malaikat Jibril mempunyai kecepatan tinggi. 
Apakah buraq sesungguhnya? Tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Cerita israiliyat yang menyatakan bahwa buraq itu seperti kuda bersayap berwajah wanita sama sekali tidak ada dasarnya. Sayangnya, gambaran ini sampai sekarang masih diikuti oleh sebagian masyarakat, teruatam di desa-desa.
Dengan buraq itu Nabi melakukan isra' dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Setelah melakukan salat dua rakaat dan meminum susu yang ditawarkan Malaikat Jibril Nabi melanjutkan perjalanan mi'raj ke Sidratul Muntaha. 
Nabi SAW dalam perjalanan mi'raj mula-mula memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir. 
Jibril juga mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib.
Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku." 
Di manakah Tujuh Langit
Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan berjumlah tujuh. Kisah isra' mi'raj dan sebutan "sab'ah samawat" (tujuh langit) di dalam Al-Qur'an sering dijadikan alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.
Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam masalah ini. Dari segi sejarah, segi makna "tujuh langit", dan hakikat langit dalam kisah Isra' mi'raj. 
Sejarah Tujuh Langit
Dari segi sejarah, orang-orang dahulu --jauh sebelum Al- Qur'an diturunkan-- memang berpendapat adanya tujuh lapis langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada gambaran seolah-olah benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang berbeda-beda. 
Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus (bintang kejora) berada di langit ke tiga. Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta.
Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan. Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday adalah Sabtu. Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.
Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum'at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.
Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, ..., sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan, tsalatsah, arba'ah, khamsah, sittah, dan sab'ah. Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus, Jum'at, karena itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur'an yang menunjukkan adanya kewajiban salat Jum'at berjamaah. 
Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian "Ahad" daripada "Minggu". 
Makna Tujuh Langit
Langit (samaa' atau samawat) di dalam Al-Qur'an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.
Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya.... 
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah....
Jadi 'tujuh langit' semestinya difahami pula sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit. 
Tujuh langit pada Mi'raj
Kisah Isra' Mi'raj sejak lama telah minimbulkan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Demikian juga dengan hakikat langit. Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra' mi'raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi'raj itu peristiwa lahiriyah bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, nampaknya pengertian langit dalam kisah mi'raj itu memang bukan langit lahiriyah yang berisi bintang-bintang, tetapi langit ghaib. 
Rajab, 1415
T.Djamaluddin
T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
Isra’ Mi’raj dan Hakikat Shalat 
dakwatuna.com - Allah berfirman dalam pembukaan surah Al Isra’: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Dari ayat ini bisa kita ambil beberapa pelajaran:
Pertama, bahwa yang Allah isra’kan adalah hamba-Nya (abduhu). Kata hamba maksudnya adalah Rasulullah saw. Ini merupakan deklarasi dari Allah bahwa Rasulullah saw. adalah contoh hamba-Nya. Dialah yang harus dicontoh untuk mencapai derajat kehambaan. Tidak ada yang pantas diidolakan dalam perjalanan menuju Allah kecuali Rasulullah saw. Mengapa? (a) Allah memuji akhlaknya: “Wa innaka la’alaa khuluqin adziim (Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung)” (QS. Al Qalam:4). (b) Rasulullah saw. dijamin masuk surga, maka siapa yang ingin masuk surga tidak ada pilihan keculi dengan mencontohnya. (c) Perbuatan Rasulullah adalah terjemahan hidup dari Al Qur’an. Maka tidak mungkin seseorang paham maksud Al Qur’an tanpa merujuk kepada sirahnya.
Kedua, bahwa isra’ mi’raj ini terjadi hanya semalam. Kata lailan pada ayat di atas, yang artinya “pada suatu malam” adalah penegasan terhadap makna tersebut. Dari sini nampak bahwa kejadian Ira’ mi’raj adalah mu’jizat. Sebab perjalanan sejauh itu di tambah lagi dengan naik ke langit lapis tujuh sampai ke sidratul muntaha adalah jarak yang tidak mungkin ditempuh dengan kendaraan apapun yang dimiliki manusia baik pada saat itu maupun pada zaman teknologi yang sangat canggih seperti sekarang ini. Untuk mencapai bintang terdekat saja dari bumi dengan mengendarai pesawat tercepat di dunia “Challanger” dengan kecepatan 20 ribu km perjam, para ilmuwan mengatakan itu membutuhkan 428 tahun. Sungguh luar biasa kejadian isra’ mi’raj sebagai bukti keagungan Allah sekaligus, sebagai bukti bahwa manusia bagaimana pun pencapain keilmuannya masih tetap tidak ada apa-apanya dibanding dengan kemahakuasaan Allah swt.
Ketiga, Diikatnya antara dua masjid: masjid Al haram dan masjid Al Aqsha menunjukkan beberapa hal: (a) bahwa Allah swt. sangat mencintai masjid. (b) bahwa semua bumi ini diciptakan oleh Allah untuk tempat bersujud. (c) bahwa semua masjid di manapun berada adalah sama, milik hamba-hamba Allah. (d) bahwa siapapun yang mengaku beriman ia pasti mencintai masjid dan meramaikannya. Allah berifirman: “Yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah:18). Karena dalam sejarah kita menyaksikan nabi saw. selalu membangun masjid setiap singgah di suatu tempat.
Keempat, kata masjid identik dengan ibadah shalat. Dan perjalan Isra’ mi’raj juga identik dengan penerimaan ibadah shalat, langsung dari Allah swt. Tidak ada ibadah dalam Islam yang diserahkan langsung oleh Allah kepada Rasulullah saw. kecuali shalat. Selain shalat semua ibadah diterima melalui malaikat Jibril alahissalam. Dari sini nampak betapa agungnya ibadah shalat. Dalam pembukaan surah Al Mu’minuun ketika Allah swt. menyebutkan ciri-ciri orang mu’min yang bahagia, penyebutan itu dimuali dengan shalat “alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun” dan ditutup dengan shalat “walladziina hum ‘alaa shalawaatihim yuhaafidzuun”. Para ulama tafsir ketika menyingkap rahasia ayat ini mengatakan bahwa itu menunjukkan pentingnya shalat. Bahwa shalat merupakan barometer ibadah-ibadah yang lain. Bila shalat seseorang baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang lain akan ikut baik. Sebaliknya bila shalat seseorang tidak baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang lain tidak akan baik. Itulah makna ayat: “Innash sholaata tanhaa ‘anil fahsyaai wal mungkar (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar)” (QS. Al Ankabuut: 45).
Di hari Kiamat pun kelak demikian. Shalat tetap menjadi barometer ibadah-ibadah yang lain. Karena itu Nabi saw. bersabda: “Awwalu maa yuhasabu bihil ‘abdu yaumal qiyaamati ashshalaatu (yang pertama kali kelak di hisab pada hari Kiamat adalah ibadah shalat)”. Wallahu a’lam bishshawab.