Anggapan sejumlah tokoh, sarjana, dan kelompok Islam di Indonesia
(dan juga berbagai negara lain) bahwa konsep "Negara Islam" itu yang
paling "agamis", "Islami", "Qur'ani", atau bahkan "Allahi" (maksudnya,
sesuai dengan "kehendak Allah") itu sama sekali tidak benar. Semua
konsep sistem politik-pemerintahan atau sistem ekonomi--apapaun
namanya--adalah sekuler, dalam pengertian "produk pemikiran kebudayaan
manusia".
Sebagaimana sistem-sistem politik-pemerintahan lain
yang ada di muka bumi dewasa ini, konsep "Negara Islam" (atau "daulah
islamiyah") adalah buah dari ijtihad, pemahaman, tafsir, dan pemikiran
sekelumit umat manusia, baik para sarjana-ideolog maupun
politisi-aktivis Muslim, sebagai bentuk respons atas perkembangan
sosial-politik-ekonomi yang terjadi di wilayah mereka masing-masing.
Apapun yang namanya "produk pemikiran kebudayaan manusia" itu bersifat
profan-sekuler bukan sakral-relijius. Jadi jangan mau dikibulin oleh
kaum propagandis ideologi itu.
Sudah sering saya katakan bahwa
doktrin Islam dan Al-Qur'an itu tidak membicarakan secara spesifik
sebuah sistem politik-pemerintahan maupun sistem perekonomian. Tidak ada
"juklak" maupun "juknis" tentang sistem ini. Islam dan Al-Qur'an hanya
membicarakan tentang pentingnya pemimpin yang adil, peduli dengan
masalah keumatan, berjuang untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
dlsb.
Dengan kata lain, Islam hanya mempedulikan tentang etika,
norma, nilai, dan tujuan dari sebuah tatanan pemerintahan, bukan soal
sistem, bentuk, tipe, atau corak tatanan pemerintahan itu. Masalah
keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, perdamaian dlsb bisa diwujudkan
dalam sistem politik-pemerintahan dan sistem perekonomian apapun
(demokrasi, monarkhi, Islamisme, sosialisme, komunisme, dlsb).
Begitu pula sebalinya, masalah ketidakadilan, kejahatan, kemiskinan dan
pemiskinan, kekerasan, kesengsaraan, dlsb juga bisa terjadi di sistem
politik-pemerintahan dan sistem perekonomian apapun: tidak peduli pakai
"baju" agama atau bukan, Muslim atau bukan, komunis atau bukan,
kapitalis atau bukan, atesis atau bukan, atau bahkan yang bukan bukan.
Itulah kenyataannya yang terjadi dalam sejarah kepolitikan umat manusia
dari zaman bahoela sampai sekarang. Kalau watak dasar para pemimpin dan
elit pemerintah itu memang rakus-korup-bengis, dipakai "baju" apapun
(mau jubah kek, jas kek, jarik kek) dan dengan sistem apapun dan agama
apapun, tetap saja begitu.
Coba Anda pikir: apa sih bedanya
antara Lenin, Hitler, Amangkurat I, dan Abu Bakar al-Baghdadi (komandan
ISIS), Osama bin Laden, (Al-Qaidah) atau Mullah Muhammad Omar (pendiri
Taliban) misalnya? Atau kalau Anda pusing dengan nama-nama ini, saya
kasih pertanyaan simpel saja deh: apa bedanya antara Pizza Hut, Fitsa
Hats, atau Bibza Hats? Atau "Kentucky Fried Chicken" dengan "Kentuki
Prettt Ciken" he he
Karena tidak ada "juklak" dan "juknis"
tentang sistem politik-pemerintahan dalam Islam dan Al-Qur'an itulah
kenapa negara-negara yang mayoritas Muslim dewasa ini menggunakan sistem
politik-pemerintahan yang berbeda-beda: ada yang menggunakan sistem
"monarkhi Islam", "Republik Islam", demokrasi, demokrasi semi-liberal,
dlsb. Bentuk sistem "monarkhi Islam" pun bermacam-macam: ada yang
menggunakan sistem kerajaan (mamlakah), keamiran, kesultanan, atau
kekhalifahan. Ada yang monarkhi absolut, ada yang monarkhi
konstitusional, dlsb.
Negara yang menggunakan sistem monarkhi
Islam ini seperti Saudi, UEA, Brunei, Qatar, Oman, Maroko, Malaysia,
Bahrain, Yordania, dan Kuwait. Yang menggunakan nama Republik Islam
misalnya Iran, Pakistan, Afganistan, dan Mauritania. Selebihnya, banyak
negara-negara berbasis Muslim yang memakai sistem "Republik sekuler".
Libia dulu pakai sistem Sosialisme.
Lalu, sejak kapan ide tentang
konsep "Negara Islam" itu muncul dan dalam konteks apa gagasan tentang
"Negara Islam" itu lahir? Bersambung aja deh capek ngetik terus... ke Konsep "Negara Islam" itu Sekuler (2)
0 komentar:
Post a Comment