Setiap kali pagelaran politik digelar--apakah itu bernama Pilpres,
Pemilu Parpol, Pilkada--para ulama dan tokoh agama ikut sibuk menjadi
"corong” atau "echo” para politisi dan kandidat atau pasangan calon
(paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang
ikut terjun langsung menjadi "paslon” dan "cawan” (calon dewan) bersaing
dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.
Tentu saja tidak ada salahnya jika ada ulama yang terjun langsung
menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat. Itu sah-sah saja.
Berpolitik praktis adalah hak setiap individu. Yang mestinya
diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk ke gelanggang
kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di
dunia politik kekuasaan yang profan dan cenderung berpotensi korup itu.
Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni
kualitas individual, integritas moral, dan kemampuan untuk memahami
politik dengan baik.
Jika
para ulama memiliki kapabilitas untuk memahami dan mengelola politik
dengan baik, kenapa tidak mereka diberi kesempatan untuk ikut bertarung
di panggung politik? Tetapi sebaliknya, jika—mohon maaf—ulama itu hanya
bisa mengimami salat, mengaji, berkhutbah, mengisi pengajian atau
ceramah saja, sementara "nol jumbo” wawasan politik-pemerintahannya,
maka sebaiknya mereka mengurusi umat saja deh mengembangkan "politik
kultural" bukan "politik praktis" daripada nanti malah dipolitisir oleh
politisi, dijadikan sebagai "bamper" dan bahkan "kayu bakar" oleh
mereka.
Ingat baik-baik ya, politisi itu mengetahui dengan baik
"dunia ulama" (dan paham bagaimana "memperlakukan" ulama) tetapi ulama
tidak mengerti dengan baik tentang seluk-beluk "dunia politisi" dan
"panggung politik-kekuasaan" yang abu-abu dan "misterius". Itulah
sebabnya dalam sejarahnya, kenapa ulama yang selalu dijadikan sebagai
"onta tunggangan" kaum politisi dan penguasa.
Selebihnya,
tentang dialektika dan sejarah relasi ulama-penguasa ini, silakan
disimak di kolom terbaruku di Deutsche Welle ini yang agak panjang
dikit. Jika berminat, tolong dibaca pelan-pelan hingga selesai sambil
dihayati dan diresapi sebelum memberi komen pada tulisan ini. Demikian
"wejangan short time " dari Tanah Suci. Ayo nyusu dulu...
0 komentar:
Post a Comment