LOKER OTOMOTIF

Wednesday, February 8, 2017

Politik Ulama dan Ulama Politik

Setiap kali pagelaran politik digelar--apakah itu bernama Pilpres, Pemilu Parpol, Pilkada--para ulama dan tokoh agama ikut sibuk menjadi "corong” atau "echo” para politisi dan kandidat atau pasangan calon (paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang ikut terjun langsung menjadi "paslon” dan "cawan” (calon dewan) bersaing dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.

Tentu saja tidak ada salahnya jika ada ulama yang terjun langsung menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat. Itu sah-sah saja. Berpolitik praktis adalah hak setiap individu. Yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk ke gelanggang kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang profan dan cenderung berpotensi korup itu. Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni kualitas individual, integritas moral, dan kemampuan untuk memahami politik dengan baik.

Jika para ulama memiliki kapabilitas untuk memahami dan mengelola politik dengan baik, kenapa tidak mereka diberi kesempatan untuk ikut bertarung di panggung politik? Tetapi sebaliknya, jika—mohon maaf—ulama itu hanya bisa mengimami salat, mengaji, berkhutbah, mengisi pengajian atau ceramah saja, sementara "nol jumbo” wawasan politik-pemerintahannya, maka sebaiknya mereka mengurusi umat saja deh mengembangkan "politik kultural" bukan "politik praktis" daripada nanti malah dipolitisir oleh politisi, dijadikan sebagai "bamper" dan bahkan "kayu bakar" oleh mereka.

Ingat baik-baik ya, politisi itu mengetahui dengan baik "dunia ulama" (dan paham bagaimana "memperlakukan" ulama) tetapi ulama tidak mengerti dengan baik tentang seluk-beluk "dunia politisi" dan "panggung politik-kekuasaan" yang abu-abu dan "misterius". Itulah sebabnya dalam sejarahnya, kenapa ulama yang selalu dijadikan sebagai "onta tunggangan" kaum politisi dan penguasa.

Selebihnya, tentang dialektika dan sejarah relasi ulama-penguasa ini, silakan disimak di kolom terbaruku di Deutsche Welle ini yang agak panjang dikit. Jika berminat, tolong dibaca pelan-pelan hingga selesai sambil dihayati dan diresapi sebelum memberi komen pada tulisan ini. Demikian "wejangan short time " dari Tanah Suci. Ayo nyusu dulu... 

0 komentar: