Beberapa hari terakhir ini banyak pihak yang minta saya menanggapi tentang sikap Mas Ulil (Ulil Abshar Abdalla)
yang belakangan gencar "menyerang" dan "mengkritik" Ahok (atau Jokowi).
Menanggapi sikap Mas Ulil ini, ada yang menyayangkan tapi ada pula yang
kemudian "meledek" atau "menyerang balik" Mas Ulil sebagai intelektual
yang tidak konsisten dengan gagasan dan pemikirannya selama ini. Ada
pula yang menganggap Mas Ulil sekarang sudah berubah, tidak lagi seperti
dulu yang liberal-pluralis dan kontra-konservatisme.
Berbeda
dengan yang lain, saya menanggapinya dengan santai, biasa, dan wajar
saja. Saya kenal Mas Ulil sudah sejak lama, lama sekali. Beliau adalah
teman baik sekaligus seniorku yang saya hormati. Waktu kuliah di AS
dulu, kami juga pernah sama-sama tinggal di Newton, Boston, dan kami
sama-sama alumni Boston University. Kami juga sama-sama mendirikan NU
Amerika dan Kanada, bersama sejumlah teman lain seperti Syaikh Akhmad Sahal, Syaikh Achmad Munjid, Syaikh Achmad Tohe, dlsb (sengaja saya sebut yang ada "Ahmad"-nya saja he he, mohon maap bagi yang lain).
Saya berpendapat, tidak ada yang salah atau keliru pada sikap Mas Ulil
itu. Menurutku, Mas Ulil juga tidak berubah. Ia masih tetap seperti yang
dulu: sederhana, liberal-sekuler, pluralis, anti-konservatisme dan
radikalisme, dan tentu saja, humoris karena memang "kultur NU" itu tidak
bisa dilepaskan dari humor. Kalau ada warga NU yang tidak memiliki
selera humor, kita patut mempertanyakan "kualitas" ke-NU-annya. Atau
bisa jadi, mereka itu "NU mualaf" yang baru "masuk NU" he he.
Saya katakan tidak ada yang salah pada diri Mas Ulil karena selain
sebagai cendekiawan Muslim, beliau juga aktivis dan fungsionaris partai
(dalam hal ini Partai Demokrat). Sebagai aktivis dan fungsionaris Partai
Demokrat, maka sudah sangat wajar jika (dan memang harus) ia membela
Pak SBY dan keputusan / kebijakan partainya. Karena PD mencalonkan
Agus-Sylvi dalam Pilkada DKI, maka beliau memang sudah seharusnya
membela paslon ini sekuat tenaga agar memenangkan Pilkada nanti. Justru
keliru kalau Mas Ulil malah membela Ahok-Djarot, karena paslon ini bukan
diusung oleh PD. Seandainya Ahok-Djarot diusung oleh PD, Mas Ulil pasti
akan membela paslon ini.
Hal yang sama juga berlaku buat
cendekiawan / intelektual lain yang kebetulan merangkap menjadi
aktivis/fungsionaris partai lain. Mereka harus membela paslon yang
diusung oleh partainya. Jika saya atau Anda pada posisi Mas Ulil, saya
dan Anda juga akan melakukan hal yang sama dengannya, bukan?
Karena itu, kita harus fair dalam membaca sikap Mas Ulil, jangan mudah
menilai, menghakimi, dan menuduh ini-itu. Nah, kalau kapasitasnya
sebagai seorang cendekiawan Muslim, menurutku Mas Ulil tidak berubah
alias masih istiqamah seperti yang dulu yang terbuka, kritis, rasional,
liberal, toleran, pluralis, dlsb. Sejauh ini, yang saya tahu, Mas Ulil
juga sosok yang sangat bersih, bebas korupsi, yang mencari penghasilan
secara halal dengan menulis, mengisi seminar, atau berbisnis
kecil-kecilan. Sampai sekarang, beliau juga sosok yang masih sederhana,
lentur, penuh dengan canda-tawa, dan setia dengan istrinya yang solehah
he he (colek: Bu Nyai Ienas Tsuroiya).
Nah, sikap Mas Ulil itu beda denganku yang bukan aktivis parpol
manapun. Jadi saya bisa "semau gue" mengkritik AHY: baik itu Agus
Harimurti Yudhoyono, Anis "Hemang Yahud", maupun Ahok "Haqqul Yaqin" he
he. Biasakan berbeda pendapat asal jangan ngamuk dan bawa pentungan saja
he he. Ayo nyusu dulu...
0 komentar:
Post a Comment