LOKER OTOMOTIF

Wednesday, February 8, 2017

Ulil: Antara Cendekiawan dan Politisi

Beberapa hari terakhir ini banyak pihak yang minta saya menanggapi tentang sikap Mas Ulil (Ulil Abshar Abdalla) yang belakangan gencar "menyerang" dan "mengkritik" Ahok (atau Jokowi). Menanggapi sikap Mas Ulil ini, ada yang menyayangkan tapi ada pula yang kemudian "meledek" atau "menyerang balik" Mas Ulil sebagai intelektual yang tidak konsisten dengan gagasan dan pemikirannya selama ini. Ada pula yang menganggap Mas Ulil sekarang sudah berubah, tidak lagi seperti dulu yang liberal-pluralis dan kontra-konservatisme.

Berbeda dengan yang lain, saya menanggapinya dengan santai, biasa, dan wajar saja. Saya kenal Mas Ulil sudah sejak lama, lama sekali. Beliau adalah teman baik sekaligus seniorku yang saya hormati. Waktu kuliah di AS dulu, kami juga pernah sama-sama tinggal di Newton, Boston, dan kami sama-sama alumni Boston University. Kami juga sama-sama mendirikan NU Amerika dan Kanada, bersama sejumlah teman lain seperti Syaikh Akhmad Sahal, Syaikh Achmad Munjid, Syaikh Achmad Tohe, dlsb (sengaja saya sebut yang ada "Ahmad"-nya saja he he, mohon maap bagi yang lain).

Saya berpendapat, tidak ada yang salah atau keliru pada sikap Mas Ulil itu. Menurutku, Mas Ulil juga tidak berubah. Ia masih tetap seperti yang dulu: sederhana, liberal-sekuler, pluralis, anti-konservatisme dan radikalisme, dan tentu saja, humoris karena memang "kultur NU" itu tidak bisa dilepaskan dari humor. Kalau ada warga NU yang tidak memiliki selera humor, kita patut mempertanyakan "kualitas" ke-NU-annya. Atau bisa jadi, mereka itu "NU mualaf" yang baru "masuk NU" he he.

Saya katakan tidak ada yang salah pada diri Mas Ulil karena selain sebagai cendekiawan Muslim, beliau juga aktivis dan fungsionaris partai (dalam hal ini Partai Demokrat). Sebagai aktivis dan fungsionaris Partai Demokrat, maka sudah sangat wajar jika (dan memang harus) ia membela Pak SBY dan keputusan / kebijakan partainya. Karena PD mencalonkan Agus-Sylvi dalam Pilkada DKI, maka beliau memang sudah seharusnya membela paslon ini sekuat tenaga agar memenangkan Pilkada nanti. Justru keliru kalau Mas Ulil malah membela Ahok-Djarot, karena paslon ini bukan diusung oleh PD. Seandainya Ahok-Djarot diusung oleh PD, Mas Ulil pasti akan membela paslon ini.

Hal yang sama juga berlaku buat cendekiawan / intelektual lain yang kebetulan merangkap menjadi aktivis/fungsionaris partai lain. Mereka harus membela paslon yang diusung oleh partainya. Jika saya atau Anda pada posisi Mas Ulil, saya dan Anda juga akan melakukan hal yang sama dengannya, bukan?

Karena itu, kita harus fair dalam membaca sikap Mas Ulil, jangan mudah menilai, menghakimi, dan menuduh ini-itu. Nah, kalau kapasitasnya sebagai seorang cendekiawan Muslim, menurutku Mas Ulil tidak berubah alias masih istiqamah seperti yang dulu yang terbuka, kritis, rasional, liberal, toleran, pluralis, dlsb. Sejauh ini, yang saya tahu, Mas Ulil juga sosok yang sangat bersih, bebas korupsi, yang mencari penghasilan secara halal dengan menulis, mengisi seminar, atau berbisnis kecil-kecilan. Sampai sekarang, beliau juga sosok yang masih sederhana, lentur, penuh dengan canda-tawa, dan setia dengan istrinya yang solehah he he (colek: Bu Nyai Ienas Tsuroiya).

Nah, sikap Mas Ulil itu beda denganku yang bukan aktivis parpol manapun. Jadi saya bisa "semau gue" mengkritik AHY: baik itu Agus Harimurti Yudhoyono, Anis "Hemang Yahud", maupun Ahok "Haqqul Yaqin" he he. Biasakan berbeda pendapat asal jangan ngamuk dan bawa pentungan saja he he. Ayo nyusu dulu...

0 komentar: