Seperti saya jelaskan sebelumnya, ide atau konsep "Negara Islam" itu
adalah profan-sekuler, bukan sakral-relijius, karena konsep ini
merupakan buah dari ijtihad, tafsir, pemikiran dan pemahaman manusia
atas sejumlah ayat, teks, dan diskursus keislaman. Apapun yang lahir
dari kreativitas pemikiran-kebudayaan manusia, maka itu adalah sekuler.
Dalam konteks ini, maka kosnsep "Negara Islam" itu sama dengan konsep
negara lainnya yang dibangun atas dasar atau dipengaruhi oleh sejumlah
filosofi tertentu. Yang berbeda adalah fondasi filosofi atau sumber
inspirasi negara tersebut. Misalnya, jika "Negara Islam" dibangun atas
dasar atau diengaruhi oleh sejumlah teks dan wacana keislaman, maka
"Negara Komunis" dibangun atas, dipengaruhi oleh, atau bersumber dari
filosofi "Komunisme". Begitu pula negara-negara lain yang mengklaim
sebagai "Negara Demokrasi" dibangun atas dasar sejumlah filosofi seperti
liberalisme dlsb.
Apakah dalam perkembangannya "Negara Komunis"
itu betul-betul sesuai dengan "Komunisme"? Belum tentu. Apakah "Negara
Islam" itu betul-betul sesuai dengan norma-norma dan ajaran fundamental
dalam Islam? Belum tentu juga. Apakah "Negara Liberal" itu sesuai dengan
filosofi liberalisme? Belum tentu juga tahu. Ngapain sih nanya-nanya
melulu, sebel banget gue....
Baik dan tidaknya sebuah
negara/pemerintah itu tergantung dari para penyelenggara
negara/pemerintah itu sendiri. Jadi, jelasnya, tidak semua negara yang
mengklaim "negara Islam" itu Islami, sama dengan tidak semua "negara
komunis" itu komunis, dan "negara liberal" itu liberal. Mumet kan? Kalau
mumet, sana nyusus dulu he he.
Dalam konteks Islam, konsep dan
teori "Negara Islam" dalam konotasi atau pengertian seperti konsep
"negara modern" lainnya itu baru lahir pada abad ke-20 yang merupakan
reaksi dari kolonialisme Eropa, Westernisasi Amerika, dan Sekularisme
Arab. Menariknya, para pentolan ideologi Islamisme dan Komunisme (baca,
kaum Islamis dan kaum komunis) di Timur Tengah dulu bersinergi dan
berkolaborasi karena memiliki "musuh bersama": "Barat yang kapitalis!".
Seperti saya singgung sebelumnya, Islam tidak membahas sistem, bentuk,
tipe, model, corak, atau "casing" politik-pemerintahan-kenegaraan. Oleh
karena itu dalam sejarahnya umat Islam menggunakan "sistem" dan
mekanisme politik-pemerintahan-kenegaraan yang berlainan sejak zaman
Nabi Muhammad, Khulafaur Rasyidin, sampai era Daulah / Imperium Islam
yang kemudian berakhir sejak rontoknya Turki Usmani pada tahun 1924.
Casingnya saja bernama "daulah" (negara") atau "kekhalifahan" tapi
"onderdilnya" monarkhi / kerajaan absolut.
Seorang sarjana
(ulama), tokoh, ideolog, teolog, dan aktivis penting yang melontarkan
atau merumusan ide, teori, atau konsep serta fondasi / dasar-dasar
"Negara Islam" atau "Pemerintahan Islam" itu adalah Abul A'la al-Maududi
(w. 1979), pendiri Jama'ati Islam, Indo-Pakistan, yang juga seorang
ulama yang sangat produktif sekali. Pemikirannya dilatari oleh spirit
anti-kolonialisme Inggris, sekaligus sebagai tesis dan "jalan ketiga"
antara kapitalisme dan sosialisme. Tulisan, gagasan, dan pemikiran
Maududi telah mempengaruhi sejumlah tokoh, sarjana, pemikir, atau
aktivis penting di berbagai negara, termasuk Sayyid Qutub di Mesir, Imam
Khomeini di Iran, Muhammad Baqir Sadr di Irak, Israr Ahmed di Pakistan,
atau Abu Bakar Ba'asyir di Indonesia.
Kelak, Sayyid Qutub (w.
1966) yang "meradikalkan" sekaligus "mengsistematisasikan" gagasan dan
pemikiran Maududi ini sehingga kelihatan jelas gambar "Negara Islam".
Seperti Maududi, Sayyid Qutub adalah seorang sarjana, aktivis, ideolog,
dan pemikir brilian dan penulis produktif yang menulis banyak karya,
meskipun tidak sebanyak Maududi. Qutub jugalah yang memberi penafsiran
detail atas ayat-ayat, teks, dan wacana keislaman tentang pentingnya
umat Islam membangun sebuah "Negara Islam".
Karya-karya Qutub
yang kelak bergabung ke Ikhwanul Muslim pada 1950-an, sebuah ormas
Islamis-radikal yang ngetop di Mesir (berdiri 1928) ini telah
menginspirasi banyak kelompok radikal-ekstremis-teroris di seluruh
belahan dunia, termasuk di Indonesia. Menarik untu dicatat, berbeda
dengan Maududi yang dipengaruhi oleh latar belakang penjajahan
kolonialisme Inggris, latar belakang sosial-politik pemikiran Qutub
lebih kompleks karena dipicu oleh pengalaman buruknya sewaktu tinggal di
Amerika di zaman rasisme (Qutub pernah sekolah selama dua tahun di
Amerika) sekaligus pengalaman pahitnya di Mesir menghadapi rezim Arab
sekuler. Kisah hidup Qutub sendiri berakhir tragis: setelah menderita
dipenjara, ia kemudian digantung oleh rezim Mesir karena dituduh
mendalangi pembunuhan Presiden Gamal Abdul Nasser (bersambung)
0 komentar:
Post a Comment