LOKER OTOMOTIF

Wednesday, February 8, 2017

Konsep "Negara Islam" Itu Sekuler (2)

Seperti saya jelaskan sebelumnya, ide atau konsep "Negara Islam" itu adalah profan-sekuler, bukan sakral-relijius, karena konsep ini merupakan buah dari ijtihad, tafsir, pemikiran dan pemahaman manusia atas sejumlah ayat, teks, dan diskursus keislaman. Apapun yang lahir dari kreativitas pemikiran-kebudayaan manusia, maka itu adalah sekuler.

Dalam konteks ini, maka kosnsep "Negara Islam" itu sama dengan konsep negara lainnya yang dibangun atas dasar atau dipengaruhi oleh sejumlah filosofi tertentu. Yang berbeda adalah fondasi filosofi atau sumber inspirasi negara tersebut. Misalnya, jika "Negara Islam" dibangun atas dasar atau diengaruhi oleh sejumlah teks dan wacana keislaman, maka "Negara Komunis" dibangun atas, dipengaruhi oleh, atau bersumber dari filosofi "Komunisme". Begitu pula negara-negara lain yang mengklaim sebagai "Negara Demokrasi" dibangun atas dasar sejumlah filosofi seperti liberalisme dlsb.


Apakah dalam perkembangannya "Negara Komunis" itu betul-betul sesuai dengan "Komunisme"? Belum tentu. Apakah "Negara Islam" itu betul-betul sesuai dengan norma-norma dan ajaran fundamental dalam Islam? Belum tentu juga. Apakah "Negara Liberal" itu sesuai dengan filosofi liberalisme? Belum tentu juga tahu. Ngapain sih nanya-nanya melulu, sebel banget gue....

Baik dan tidaknya sebuah negara/pemerintah itu tergantung dari para penyelenggara negara/pemerintah itu sendiri. Jadi, jelasnya, tidak semua negara yang mengklaim "negara Islam" itu Islami, sama dengan tidak semua "negara komunis" itu komunis, dan "negara liberal" itu liberal. Mumet kan? Kalau mumet, sana nyusus dulu he he.

Dalam konteks Islam, konsep dan teori "Negara Islam" dalam konotasi atau pengertian seperti konsep "negara modern" lainnya itu baru lahir pada abad ke-20 yang merupakan reaksi dari kolonialisme Eropa, Westernisasi Amerika, dan Sekularisme Arab. Menariknya, para pentolan ideologi Islamisme dan Komunisme (baca, kaum Islamis dan kaum komunis) di Timur Tengah dulu bersinergi dan berkolaborasi karena memiliki "musuh bersama": "Barat yang kapitalis!".

Seperti saya singgung sebelumnya, Islam tidak membahas sistem, bentuk, tipe, model, corak, atau "casing" politik-pemerintahan-kenegaraan. Oleh karena itu dalam sejarahnya umat Islam menggunakan "sistem" dan mekanisme politik-pemerintahan-kenegaraan yang berlainan sejak zaman Nabi Muhammad, Khulafaur Rasyidin, sampai era Daulah / Imperium Islam yang kemudian berakhir sejak rontoknya Turki Usmani pada tahun 1924. Casingnya saja bernama "daulah" (negara") atau "kekhalifahan" tapi "onderdilnya" monarkhi / kerajaan absolut.

Seorang sarjana (ulama), tokoh, ideolog, teolog, dan aktivis penting yang melontarkan atau merumusan ide, teori, atau konsep serta fondasi / dasar-dasar "Negara Islam" atau "Pemerintahan Islam" itu adalah Abul A'la al-Maududi (w. 1979), pendiri Jama'ati Islam, Indo-Pakistan, yang juga seorang ulama yang sangat produktif sekali. Pemikirannya dilatari oleh spirit anti-kolonialisme Inggris, sekaligus sebagai tesis dan "jalan ketiga" antara kapitalisme dan sosialisme. Tulisan, gagasan, dan pemikiran Maududi telah mempengaruhi sejumlah tokoh, sarjana, pemikir, atau aktivis penting di berbagai negara, termasuk Sayyid Qutub di Mesir, Imam Khomeini di Iran, Muhammad Baqir Sadr di Irak, Israr Ahmed di Pakistan, atau Abu Bakar Ba'asyir di Indonesia.

Kelak, Sayyid Qutub (w. 1966) yang "meradikalkan" sekaligus "mengsistematisasikan" gagasan dan pemikiran Maududi ini sehingga kelihatan jelas gambar "Negara Islam". Seperti Maududi, Sayyid Qutub adalah seorang sarjana, aktivis, ideolog, dan pemikir brilian dan penulis produktif yang menulis banyak karya, meskipun tidak sebanyak Maududi. Qutub jugalah yang memberi penafsiran detail atas ayat-ayat, teks, dan wacana keislaman tentang pentingnya umat Islam membangun sebuah "Negara Islam".

Karya-karya Qutub yang kelak bergabung ke Ikhwanul Muslim pada 1950-an, sebuah ormas Islamis-radikal yang ngetop di Mesir (berdiri 1928) ini telah menginspirasi banyak kelompok radikal-ekstremis-teroris di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia. Menarik untu dicatat, berbeda dengan Maududi yang dipengaruhi oleh latar belakang penjajahan kolonialisme Inggris, latar belakang sosial-politik pemikiran Qutub lebih kompleks karena dipicu oleh pengalaman buruknya sewaktu tinggal di Amerika di zaman rasisme (Qutub pernah sekolah selama dua tahun di Amerika) sekaligus pengalaman pahitnya di Mesir menghadapi rezim Arab sekuler. Kisah hidup Qutub sendiri berakhir tragis: setelah menderita dipenjara, ia kemudian digantung oleh rezim Mesir karena dituduh mendalangi pembunuhan Presiden Gamal Abdul Nasser (bersambung)

0 komentar: