Dalam sejarah Islam, hubungan antara ulama dan pemerintah itu
naik-turun. Kadang ulama berada diluar pemerintah, kadang di dalamnya.
Lain waktu sebagai pengkritik pemerintah, lain waktu lagi sebagai
penyokong pemerintah. Kadang ulama dikotrol pemerintah, kadang malah
pemerintah yang dikontrol oleh ulama. Kadang mereka rukun bekerja sama,
kadang mereka saling bermusuhan.
Para ulama pernah menggalang
perlawanan melawan "rezim pemerintah" seperti terjadi di Libya, Iran,
Lebanon, Afganistan, atau Indonesia di masa Hindia Belanda. Sebaliknya,
rezim politik-pemerintah juga pernah menumpas atau mengebiri para ulama
sejak zaman kekhalifahan dulu sampai di era paska-kolonial. Fenomena
"jatuh-bangunnya" ulama ini bukan hanya terjadi di Sunni saja tapi juga
di komunitas Syiah, Ibadiyah, Mu'tazilah, dlsb.
Jika dulu pada
era pra-Turki Usmani (Ottoman), para ulama masih sebagai "sarjana
individu" diluar gerbong pemerintah (kecuali para ulama-hakim atau qadi
yang memang ditutunjuk oleh negara untuk menangani hal-ikhwal yang
berkaitan dengan hukum Islam), maka sejak masa Turki Usmani, khususnya
pada abad ke-14, ulama mulai "dilembagakan".
Turki Usmani-lah
yang menggagas pembentukan Shaikul Islam atau "Mufti Besar" yang
bertugas mengeluarkan atau memproduksi fatwa. Shaikul Islam ini
merupakan jabatan bergengsi karena bisa memberi legitimasi keagamaan
kepada khalifah/sultan meskipun ia yang menunjuk sang Shaikhul Islam
itu. Karena itu ulama yang duduk sebagai "Shaikhul Islam" ini bukan
"orang sembarangan", bukan seperti "ustad unyu-unyu" di negeriku
tercinta. Ia betul-betul harus menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan
ilmu-ilmu keislaman. Karena dulu masih sedikit sekali lembaga-lembaga
pendidikan, maka kader-kader ulama dan "calon" Shaikhul Islam ini
ditraining di Iran, Mesir, atau Irak, yang dulu menjadi pusat
pengetahuan Islam.
Abad ke-19 dan 20 adalah masa-masa buram
bagi ulama. Sejak negara-negara Arab dan mayoritas Muslim lain seperti
Turki, Mesir, Irak, Iran, Aljazair, dlsb, dipimpin oleh para politisi
nasionalis dan birokrat sekuler, para ulama dilucuti perannya sehingga
tidak memiliki otoritas dan pengaruh ke masyarakat. Para mahasiswa yang
belajar ilmu-ilmu keislaman melorot tajam. Lembaga-lembaga keagamaan
"dinasionaisasi" sementara sistem wakaf yang dulu dipakai untuk menggaji
ulama dihapus.
Di Mesir, Presiden Gamal Abdel Nasser menggembosi
dan mengontrol peran "ulama Azharis". Rezim Baath di Irak
mengobrak-abrik para ulama dan sekolah-sekolah calon ulama. Presiden
Ahmed bin Bella di Aljazair juga melakukan hal serupa: membonsai peran
ulama. Rezim Turki lebih ganas lagi: mereka munutup sekolah-sekolah
Islam, madrasah, dan "tekke dervish" (semacam "pesantren sufi") dan
memberangus peran ulama. Iran, pada masa rezim Shah Pahlevi juga
menguliti peran ulama. Pak Harto dulu juga membonsai peran para ulama,
kecuali mereka yang mau mendukung Golkar.
Kebangkitan ulama di
jagat Islam Timur Tengah baru terjadi sejak Imam Khomeini dan para ulama
Syiah berhasil menumbangkan "rezim sekuler" Pahlevi pada 1979. Sejak
itu, para ulama, Sunni maupun Shiah, mulai menggeliat dan berani
berpolitik seperti yang dilakukan oleh Mullah Mohammed Omar, pendiri
Taliban di Afganistan, yang sudah mati terkapar pada 2013.
Sejarah pasti akan terulang lagi: jika para ulama berisik, tentara nanti yang akan membungkam mereka. Lihat saja...
Jabal Dhahran, Arabia