Setiap kali pagelaran politik digelar--apakah itu bernama Pilpres,
Pemilu Parpol, Pilkada--para ulama dan tokoh agama ikut sibuk menjadi
"corong” atau "echo” para politisi dan kandidat atau pasangan calon
(paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang
ikut terjun langsung menjadi "paslon” dan "cawan” (calon dewan) bersaing
dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.
Tentu saja tidak ada salahnya jika ada ulama yang terjun langsung
menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat. Itu sah-sah saja.
Berpolitik praktis adalah hak setiap individu. Yang mestinya
diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk ke gelanggang
kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di
dunia politik kekuasaan yang profan dan cenderung berpotensi korup itu.
Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni
kualitas individual, integritas moral, dan kemampuan untuk memahami
politik dengan baik.