LOKER OTOMOTIF

Wednesday, December 3, 2008

Ekonomi Islam

JUAL BELI DAN HUKUM-HUKUMNYA
oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:
DEFINISI JUAL-BELI 
Jual beli secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta.(1) Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian “fasilitas” dan “kenikmatan”, agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah. (1) Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli.” Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.DISYARIATKANNYA JUAL-BELI
Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman:“Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba..” (Al-Baqarah: 275). 
KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut:1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang.2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
a) Jual beli Bargainal (Tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b). Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual mem-beritahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain:
* Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan ke-untungan yang diketahui.
* Jual beli wadhi’ah. yakni jual dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.
* Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.
Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga dan tawar menawar.
c) Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.
Kebalikannya disebut dengan jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagang-annya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga ter-murah yang mereka tawarkan.
3. Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran
Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:
* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
* Jual beli dengan pembayaran tertunda.
* Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.  
SYARAT-SYARAT SAH JUAL BELI
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjual-belikan. Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut:a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda ter-sebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.
Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-Salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kri-terianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan bela-kangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini.
Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang ber-ada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan be-tina.
Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Na-mun yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.
b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor “ketidaktahuan” yang bisa termasuk “menjual kucing dalam karung”, karena itu dilarang.
c. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak di-ketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu diba-talkan. Itu disebut dengan “jual beli pelunasan”.
Nanti jenis jual beli akan dibahas secara terpisah dengan rinci dalam pembahasan ini, insya Allah.
JUZAF (JUAL BELI SPEKULATIF)
Termasuk hal yang tersebar di dunia usaha modern adalah penjualan sebagian aset secara kolektif dengan hitungan global tanpa mengetahui ukuran dan jumlahnya secara rinci. Itu dikenal dalam fiqih Islam sebagai jual beli juzaf. Sebenarnya sejauh mana jual beli aset dengan cara demikian disyariatkan? Itulah yang akan penulis jelaskan dalam lembaran-lembaran berikut: Definisi Jual Beli Juzaf (Spekulatif)
Juzaf secara bahasa artinya adalah mengambil dalam jumlah banyak.Jual beli juzaf dalam terminologi ilmu fiqih yaitu: Menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang atau dihitung secara bo-rongan tanpa ditakar, ditimbang dan dihitung lagi.
Contohnya adalah menjual setumpuk makanan tanpa menge-tahui takarannya, atau menjual setumpuk pakaian tanpa menge-tahui jumlahnya. Atau menjual sebidang tanah tanpa mengetahui luasnya.
Hukum Jual Beli Spekulatif
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara syarat sahnya jual beli bahwa objek jual beli itu harus diketahui. Maka materi objek, ukuran dan kriteria harus diketahui. Sementara dalam jual beli spekulatif ini tidak ada pengetahuan tentang ukuran. Namun demikian, jual beli ini termasuk yang dikecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum, karena umat manusia amat membu-tuhkannya.
Di antara dalil disyariatkannya jual beli ini adalah hadits Ibnu Umar p bahwa ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah melarang kami menjualnya sebelum kami memin-dahkannya dari tempatnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku pernah melihat para sahabat di zaman Rasulullah kalau membeli makanan secara spekulatif, mereka diberi hukuman pukulan bila menjualnya lang-sung di lokasi pembelian, kecuali kalau mereka telah memin-dahkannya ke kendaraan mereka.” HR. Bukhori
Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli spekulatif, sehingga hal itu menunjukkan bahwa jual beli semacam itu dibolehkan.
Para ulama ahli fiqih bersepakat membolehkan secara global, lain halnya pada sebagian bentuk aplikatifnya secara rinci.
Syarat-syarat Jual Beli Spekulatif
Agar dibolehkan melakukan jual beli juzaf atau spekulatif ini ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Para ahli fiqih Malikiyah telah menyebutkan sebagian di antaranya, yakni seba-gai berikut:
* Baik pembeli atau penjual sama-sama tidak tahu ukuran barang dagangan. Kalau salah seorang di antaranya mengetahui, jual beli itu tidak sah.
* Jumlah barang dagangan jangan banyak sekali sehingga sulit untuk diprediksikan. Atau sebaliknya, terlalu sedikit sekali sehingga terlalu mudah untuk dihitung, jadi penjualan spekulatif ini menjadi tidak ada gunanya.
* Tanah tempat meletakkan barang itu harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
* Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
Kalangan Malikiyah adalah yang paling banyak merinci persyaratan-persyaratan ini. Dalam sebagian persyaratan, ada juga selain madzhab Malikiyah yang ikut merincinya.
Menjual Komoditi Riba Fadhal Secara Spekulatif
Komoditi riba fadhal tidak boleh dijual dengan jenis yang sama secara spekulatif. Satu tandan kurma misalnya tidak bisa dijual dengan satu tandan kurma lain. Karena syarat dibolehkannya menjual komoditi-komoditi riba fadhal itu dengan yang sejenisnya adalah adanya kesamaan ukuran dan serah terima langsung. Se-mentara jual beli spekulatif tidak merealisasikan kesamaan ukuran itu karena berdasarkan spekulasi dan perkiraan saja. Padahal kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal ‘Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan’.
SEBAB-SEBAB DILARANGNYA JUAL BELI
Sebab-sebab Dilarang Jual Beli Bisa Kembali Kepada Akad Jual Beli dan Bisa Kepada Hal Lain Larangan yang kembali kepada akad dasarnya adalah tidak terpenuhinya persyaratan sahnya jual beli sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dan dalam kesempatan ini kita ulangi kembali pembahasannya yang berkaitan dengan objek jual beli-nya, dan ada juga yang berkaitan dengan komitmen sebuah perjanjian/akad jual beli yang disepakati.Yang berkaitan dengan objeknya adalah sebagai berikut:
§ Tidak terpenuhinya syarat adanya perjanjian. Yakni men-jual yang tidak ada, seperti menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantannya atau masih tulang dada induknya, menjual janin yang masih dalam perut induknya dan sejenisnya. 
§ Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi yang disyariatkan dari objek yang diperjualbelikan, seperti menjual bangkai, daging babi dan benda-benda haram lainnya, atau menjual barang-barang najis. Karena semua itu dianggap tidak bernilai, meskipun sebagian orang menganggapnya bernilai karena tidak memandangnya dengan hukum syariat. 
§ Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual. Seperti jual beli fudhuliy dengan menjual barang milik orang lain tanpa izinnya dan tanpa surat kuasa darinya. Sehingga juga tidak sah menjual harta wakaf, masjid, harta sedekah atau hibah sebelum diserahterimakan kepada penjual, atau menjual harta rampasan perang sebelum dibagi-bagikan, dan sejenisnya.
Yang berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual belinya ada dua macam: 
§ Karena jual beli yang mengandung riba. 
§ Karena jual beli yang mengandung kecurangan.
Sementara sebab-sebab larangan yang tidak kembali kepada akadnya atau terhadap komitmen perjanjian jual belinya, namun berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal tersebut ada dua macam:Pertama: Yang barometer larangannya itu kembali kepada terjadinya penyulitan dan sikap merugikan, seperti seorang mus-lim yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, atau menjual senjata pada masa terjadinya konflik berdarah antar sesama muslim, monopoli dan sejenisnya.Kedua: Yang barometer larangan itu kembali kepada adanya pelanggaran syariat semata, seperti berjualan ketika sudah diku-mandangkan adzan Jum’at, atau menjual mushaf al-Qur’an kepada orang kafir, kalau menurut berat sangkaan orang kafir itu akan menghinakannya, dan sejenisnya.Kemungkinan sebab paling kuat dan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan modern sekarang ini, yang menyebabkan rusaknya perjanjian jual beli adalah sebagai berikut:
§ Objek jual beli yang haram. 
§ Riba. 
§ Kecurangan. 
§ Syarat-syarat rusak yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.
Akan penulis bahas sebab-sebab ini secara rinci ketika kita membicarakan persoalan kode etik pengelolaan modal, di tengah-tengah pambahasan ini, insya Allah.
 JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
1. Menjual tanggungan dengan tanggungan Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang.Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma’ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: “Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma’ kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh.” Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: “Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih.” Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan:
Hutang yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda. Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.

Di antaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang disebut ‘Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya’. Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi. Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu’, bab: Ad-Dawab nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.
Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.
Aplikasi Keempat: Menjual Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan:
Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
Dilakukan akad dengan bentuk seperti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini, apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: “Saya tidak mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu kepadaku dengan pembayaran tertunda.” Yang demikian itu pembayaran tertunda yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah termasuk menjual tanggungan de-ngan tanggungan.
2. Jual Beli dan Syarat
Syariat Islam yang suci telah memerintahkan ditunaikannya janji dengan komitmen yang menjadi persyaratan janji tersebut, kecuali apabila syarat itu berbentuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian..” (Al-Maidah: 1).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari perawi yang sama
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Setiap persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu batil.” Hadits ini akan disebutkan nanti dalam kisah Barirah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
Umar bin Khatthab menyatakan, “Denyut hukum itu ada pada persyaratannya..” Diriwayatkan juga larangan terhadap menjual dengan “dua syarat” dari hadits Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi a melarang dua syarat dalam jual beli.” Diriwayatkan oleh Abu Daud 3504. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1234, dan beliau menyatakan: Hasan shahih

Para ulama telah membagi persyaratan dalam berbagai transaksi jual beli kepada persyaratan yang disyariatkan dan yang tidak disyariatkan. Sebelumnya telah penulis jelaskan dalam pem-bahasan ini keunggulan pendapat bahwa asal dari aktivitas jual beli dan syaratnya adalah mubah, sebelum ada dalil yang meng-haramkannya. Oleh sebab itu penulis di sini cukup menyebutkan syarat-syarat yang tidak disyariatkan. Selain dari itu, berarti dalam kondisi aslinya, yakni dibolehkan.
Kalangan Malikiyah memahami larangan dalam hadits ten-tang menjual dengan syarat, ( Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath 4361. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam Ulumul Hadits 128, yakni hadits yang amat kacau sekali. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu adalah batil dalam Majmu’ al-Fatawa VIII: 63.) bahwa syarat di situ adalah yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli atau yang menyebab-kan rusaknya harga jual.
Syarat bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu adalah seperti seorang penjual mensyaratkan terhadap pembeli agar tidak menjual kembali dagangannya itu kepada orang lain, atau agar si pembeli tidak mengenakan barang beliannya itu, atau agar ia tidak mengendarainya, tidak meninggalinya dan tidak menyewakannya. Atau bila si pembeli menjual kembali barangnya itu, maka si penjual yang lebih berhak mengambil keuntungan-nya. Para ulama mengecualikan sebagian bentuk aplikasinya yang kemudian mereka bolehkan, seperti menjual budak wanita dengan syarat harus dibebaskan, karena ajaran syariat memang mengi-nginkan sekali budak wanita itu dibebaskan. Atau seorang penjual yang memberi persyaratan agar objek jualan itu diwakafkan, dihibahkan atau disedekahkan. Karena itu termasuk amal keba-jikan yang dianjurkan oleh Islam.
Kemudian syarat yang menyebabkan rusaknya harga adalah seperti persyaratan dari salah satu pihak untuk meminjam objek jualan. Karena hal itu dapat menyebabkan ketidakjelasan harga barang, atau bisa juga menggiring kepada semacam riba, bila dili-hat dari sisi pinjaman yang mendatangkan keuntungan. Karena penentuan harga menjadi tidak adil karena pertimbangan pemin-jaman barang tersebut. Kalau syarat peminjaman itu dari pembeli, jelas itu merusak harga, karena menyebabkan ketidakjelasan harga barang karena bertambah. Peminjaman barang itu sendiri termasuk harga yang tidak diketahui. Kalau seandainya persya-ratan peminjaman itu berasal dari penjual, itu juga menyebabkan rusaknya harga karena terjadinya pengurangan. Karena pemin-jaman yang dilakukan oleh penjual itu masuk dalam harga yang tidak diketahui.
Sementara kalangan Hambaliyah menafsirkan syarat yang dilarang itu sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian, atau persyaratan yang menghilangkan konsekuensi-nya. Atau persyaratan yang menyebabkan jual beli menjadi ter-gantung.
Syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian adalah sebagaimana telah dicontohkan di atas, seorang penjual yang memberi syarat kepada pembeli agar tidak menjual, mem-berikan, membebaskan barang jualannya, dan sejenisnya. Yakni segala persyaratan yang menghalangi pembeli untuk secara bebas menggunakan hasil beliannya.
Sementara syarat yang melenyapkan konsekuensi perjanjian adalah seperti seorang pelaku memberi persyaratan kepada pihak lain sebuah bentuk perjanjian tersendiri lagi, seperti perjanjian jual beli, perjanjian as-Salm, perjanjian peminjaman, penyewaan, kerjasama dan sejenisnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah melarang hal itu. Beliau melarang kita melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli.
Adapun syarat yang membuat jual beli menjadi tergantung misalnya ucapan penjual, “Saya jual barang ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.” Atau ucapan pembeli, “Saya akan beli barang ini, kalau si Fulan sudah datang.” Kedua macam transaksi jual beli itu tidak sah menurut kalangan Hambaliyah. Karena konsekuensi jual beli adalah pemindahan kepemilikan pada saat akad, sementara dengan adanya persyaratan demikian, tentu saja tidak mungkin.
Lain lagi dengan kalangan Hanafiyah, mereka menafsirkan larangan syarat dalam jual beli itu, bahwa yang dimaksudkan dengan syarat adalah syarat yang bukan termasuk bagian perjan-jian, atau tidak relevan dengan perjanjian namun bermanfaat bagi salah satu pihak pelaku, bagi orang lain, atau bagi kepentingan objek perjanjian tersebut yang menjadi milik orang yang berhak, sementara kebiasaan tidak berjalan demikian, dan syariat juga tidak mengizinkannya.
Berkaitan dengan syarat demi kepentingan salah satu pihak yang bertransaksi mereka memberi contoh seperti menjual rumah dengan syarat si penjual boleh meninggalinya selama sebulan, atau menjual tanah dengan syarat si penjual boleh menanaminya selama setahun, atau menjual mobil dengan syarat si penjual bo-leh mengendarainya selama satu minggu, dan sejenisnya.
Syarat demi kepentingan orang lain, seperti menjual ha-laman luas dengan syarat boleh dibangun masjid di atasnya, atau menjual makanan agar si pembeli menyedekahkannya.
Sementara syarat demi kepentingan objek perjanjian itu sendiri adalah seperti menjual budak wanita untuk dibebaskan, meskipun persoalan ini masih diperdebatkan di kalangan Hana-fiyah sendiri. Mereka menganggap manfaat atau kepentingan itu sebagai bagian dari riba, karena merupakan syarat tambahan da-lam sebuah perjanjian yang tidak diberi kompensasi. Itu sama dengan riba, atau paling tidak menyerupainya.
Berkaitan dengan syarat demi kepentingan objek perjanjian itu mereka mengecualikan yang sudah menjadi kebiasaan, seperti membeli pakaian dengan syarat ditambal bagiannya yang robek, atau membeli topi dengan syarat dibuatkan pengikatnya, karena itu sudah menjadi kebiasaan. Mereka juga mengecualikan yang disahkan dalam ajaran syariat melalui dalil, seperti persyaratan pembayaran tertunda, syarat hak pilih dan sejenisnya, karena Islam telah membolehkan semua persyaratan tersebut.
Yang paling tepat menurut kami setelah memaparkan selu-ruh pendapat ini bahwa syarat yang bertentangan dengan konse-kuensi perjanjian jual beli adalah syarat yang rusak, seperti syarat agar barang yang dijual belikan tidak boleh dijual lagi, tidak boleh dihibahkan dan sejenisnya. Atau syarat yang bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat, seperti yang menggiring kepada per-buatan menghalalkan yang haram, atau menyebabkan harga barang menjadi tidak jelas, atau penggandaan jumlah transaksi, atau persyaratan adanya perjanjian lain seperti penjualan, penyewaan, peminjaman dan lain-lain. Adapun syarat demi kepentingan ter-tentu, pihak Hanafiyah sendiri mengatakan bahwa persoalan ini masih perlu diselidiki kembali, karena adanya hadits Jabir yang menceritakan bahwa ia pernah menjual untanya kepada Nabi dengan persyaratan tetap mengendarainya hingga sampai ke kota Madinah.
3. Dua Perjanjian Dalam Satu Transaksi Jual Beli
Membuat dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan adanya sejumlah dalil yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah tentang larangan Rasulullah terhadap hal tersebut.
Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau tidak ia telah mengambil riba.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Hadits Ibnu Mas’ud bahwa ia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidaklah pantas melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Para ulama berbeda pendapat tentang arti dari dua per-janjian tersebut. Ada beberapa pendapat yang kita lampirkan di bawah ini:
1. Artinya adalah jual beli dengan dua harga, kontan dan kredit dengan harga lebih mahal. Tambahan harga dengan men-jual barang secara tertunda pembayarannya namun lebih mahal dari harga sekarang, diriwayatkan dari Zainal Abidin bahwa beliau menyatakan keharamannya. Yakni keharaman menjual se-suatu lebih mahal dari harga sekarang dengan pembayaran ter-tunda. Penafsiran semacam ini telah dibantah oleh mayoritas ulama. Namun bentuk jual beli semacam ini, menurut pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, adalah disyariatkan.
2. Penjualan dengan dua harga, kontan dan kredit, dan harga kredit atau tertundanya lebih mahal, namun tidak dijelaskan. Misalnya seorang penjual berkata, “Kalau kontan bisa sekian har-ganya, dan kalau dibayar belakangan atau dibeli kredit bisa sekian.” Kemudian kedua orang itu berpisah (dari majlis) dengan ketidak-jelasan, tanpa menentukan salah satunya.
Alasan dilarangnya bentuk jual beli ini ada dua hal :
Pertama: Ketidakjelasan dan ketidakstabilan harga.
Kedua: Ada kemungkinan terjadinya riba, karena yang demikian itu berarti ia memindahkan kepemilikan dengan pembayaran satu dinar secara kontan dan dengan dua dinar bila dibayar secara tertunda. Dan yang pasti menjadi miliknya adalah salah satu dari keduanya. Jadi seolah-olah yang menjadi miliknya adalah satu dinar secara kontan, lalu ia tangguhkan pembayarannya sehingga berubah menjadi dua dinar. Atau yang menjadi kewajibannya adalah dua dinar secara tertunda, lalu ia segerakan pembayarannya sehingga berubah menjadi satu dinar saja.
3. Menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, kemudian membelinya kembali dengan pembayaran kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Jual beli ini disebut juga dengan jual beli ‘inah. Termasuk salah satu jenis jual beli yang menjadi fasilitator riba. Karena tujuannya sebenarnya adalah meminjami uang dengan dibayar uang berikut tambahan, sedangkan barang dagangan hanya dijadikan mediator semata untuk melegali-sasikan bunga tersebut. Ibnul Qayyim menyatakan dalam Tahdzib as-Sunan, “Arti hadits yang menyebutkan (diharamkannya) dua transaksi dalam satu aktivitas jual beli adalah satu arti saja, tidak ada lagi pengertian selain itu. Yaitu yang relevan dengan sabda Nabi yang melarang seseorang menjual sesuatu dengan pemba-yaran tertunda, lalu membelinya lagi secara kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Ia hanya berhak mengambil harga yang termurah dari keduanya, karena selebihnya adalah riba. Ia bisa mengambil harga yang lebih besar, dan itu adalah riba. Atau mengambil harga yang terendah, yakni harga pertama. Bisa juga artinya adalah menjual uang secara kontan dengan pem-bayaran secara tertunda dengan jumlah lebih banyak. Yang berhak ia ambil hanya uang yang menjadi modalnya saja. Mereka yang berpendapat tentang haramnya jual beli ‘inah akan menyatakan bahwa jual beli itu selain haram juga merusak, kalau betul-betul dilakukan. Dan kalau itu dilakukan dengan kesepakatan, bukan karena faktor kebetulan, maka jual beli itu batal, berdasarkan kesepakatan para ulama.
4. Arti dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli adalah memberikan syarat sebuah perjanjian lain dalam satu transaksi jual beli yang berlangsung. Misalnya si penjual mengatakan, “Saya akan menjual rumah ini kepadamu dengan harga sekian dengan syarat engkau menjual mobilmu kepadaku dengan harga sekian. Tak ada bedanya apakah ditentukan harga dan barang yang dimaksud dalam perjanjian kedua ataupun tidak. Karena kedua bentuk perjanjian itu tergabung dalam satu perjanjian jual beli, dan itu dilarang. Perbuatan itu termasuk dalam larangan umum tentang melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli.
Aplikasi jual beli semacam ini harus dibedakan dengan menjual dua jenis barang dengan satu harga, seperti menjual mobil dan rumah dengan harga satu juta dinar misalnya. Atau menjual satu barang dengan mobil ditambah seribu dolar. Yang demikian itu tidak termasuk melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, dan bahkan ini boleh dengan kesepakatan.
5. Memesan barang berjangka dengan serah terima tertunda. Bila telah jatuh tempo, barang itu kembali dijual kepadanya secara berjangka pula dengan harga lebih. Penjualan kedua ini termasuk dalam jual beli pertama. Maka harus dikembalikan kepada yang paling sedikit keuntungannya, yakni penjualan pertama. Jual beli semacam ini dilarang menurut kesepakatan para ulama.
4. Menjual Barang Yang Masih Dalam Proses Transaksi Dengan Orang Atau Menawar Barang yang Masih Di-tawar Orang Lain
Di antara bentuk jual beli yang dilarang yakni apabila sese-orang menjual sesuatu yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar orang lain.
Di antara bentuk aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah per-buatan dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebab-kan ketidaksenangan orang lain dan membahayakannya. Selain juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shahih.
Bentuknya yang lain misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Sabda Rasulullah, “Tidak sah menjual sesuatu dalam transaksi orang lain.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari pelaku transaksi atau peminang pertama.”
Sementara dalam riwayat an-Nasai disebutkan, “Janganlah seseorang menjual dalam transaksi orang lain, se-hingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut.”
Dengan alasan itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan meng-anggapnya sebagai kemaksiatan.
Parameter Keharaman Bentuk-bentuk Jual Beli di Atas
Transaksi di atas transaksi tersebut terjadi sebelum terlak-sananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua terjadi setelah terlaksananya transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin membatalkan transaksi tersebut, tidak ada larangan da-lam hal ini, karena masalah tersebut tidak menimbulkan bahaya.
Transaksi jual beli itu tanpa seizin penjual pertama. Kalau penjual pertama mengizinkannya, tidak menjadi masalah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…kecuali bila penjual pertama atau peminang pertama mengizinkannya.”
Selain jual beli, yang diharamkan dengan bentuk transaksi tersebut juga sewa menyewa, pinjam meminjam, peminjaman modal, musaqat, muzara’ah dan lain sebagainya. Kesemuanya tidak sah dilakukan bila telah didahului transaksi lain, diqiyaskan dengan jual beli, karena semuanya mengandung unsur menyakiti.
5. Menawar Barang yang Sedang Ditawar Orang Lain
Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.
Kalau kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak, penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan. Demikian juga menurut kalangan Hambaliyah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya kesepakatan mereka, agar se-mua pihak merasa senang. Namun menurut kalangan Hanafiyah, hal itu tidak mengapa. Boleh-boleh saja melakukan penawaran dengan harga lebih sekalipun, karena itu termasuk jual beli yang disebut lelang. Hal itu tidak dilarang.
Dengan terbuktinya keharaman bentuk-bentuk jual beli ter-sebut di atas, namun menurut para ulama jual beli tersebut tetap sah, karena larangan itu kembali kepada hal di luar pengertian transaksi dan berbagai komitmennya. Karena jual beli tersebut tetap tidak kehilangan satupun dari rukun-rukunnya, atau salah satu dari syarat-syarat sahnya. Larangan itu terhadap hal yang berkaitan dengan transaksi tetapi berada di luar substansi tran-saksi tersebut dan komitmen-komitmennya. Itu termasuk per-buatan yang mengganggu orang lain, namun tidak membatalkan transaksi menurut mayoritas ulama.
Pelelangan
Dari larangan terhadap penawaran barang yang masih dalam penawaran orang lain, dikecualikan sejenis jual beli yang disebut pelelangan. Pelelangan itu boleh berdasarkan ijma/konsensus kaum muslimin. Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling menawar dengan harga tertinggi, sampai kepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengambil barang yang dijual.
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya jual beli yang disebut pelelangan itu, yaitu:
Hadits Anas bin Malik -rodhiyallahu ‘anhu- yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia meminta sesuatu kepada beliau. Beliau bertanya kepa-danya, “Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menja-wab, “Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Beliau berkata, “Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Rasulullah bertanya, “Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan satu dirham.” Beliau bertanya lagi, “Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Beliau menawar-kannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau yang lain berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka beliau memberikan kedua benda itu kepada-nya. Beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki dari Anshar tersebut. Beliau berkata, “Gunakanlah yang satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu. Lalu gunakan yang satu dirham lagi untuk membeli kapak, lalu bawa kapak itu ke hadapanku.” Lelaki itu pun pergi dan kembali lagi dengan membawa sebilah kapak. Nabi meng-gunakan kapak itu untuk membelah kayu dengan tangan beliau sendiri, lalu beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan perlihatkan dirimu selama lima belas hari.” Lelaki itupun pergi mencari kayu bakar dan menjualnya. Ia pulang de-ngan membawa hasil sepuluh dirham. Uang itu ia gunakan seba-gian untuk membeli pakaian dan sebagian lain untuk membeli makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ini lebih baik bagimu daripada kebiasaanmu meminta-minta itu akan menjadi bercak hitam di wajahmu pada hari Kiamat nanti. Meminta-minta itu hanya dibolehkan bagi tiga orang: orang yang terlilit kemiskinan, orang yang terlilit hutang dan orang yang menanggung diyat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud 1641. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1218. Diriwayatkan oleh an-Nasai VII: 259. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya III: 100, 114. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan.” Inilah yang menjadi amalan para ulama.
Dan sesungguhnya kaum muslimin masih melakukan muzaayadah ini di pasar-pasar mereka tanpa ada pengingkaran. Dan sesungguhnya larangan itu hanya pada penawaran saat jual beli, sedangkan muzayadah adalah di luar jual beli.
6. Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun
Hadirah (kota) adalah lawan dari badiyah (dusun). Sementara kata hadir (orang kota) adalah orang yang terbiasa tinggal di kota-kota, perkampungan modern dan sejenisnya. Sementara bady (orang dusun) adalah orang yang tinggal di pedusunan. Dusun adalah selain kota dan perkampungan maju. Kalangan Hambaliyah bahkah memahaminya secara lebih luas lagi. Mereka meng-anggap bahwa orang dusun adalah semua orang yang tinggal di pedusunan, dan juga setiap orang yang masuk ke satu desa sementara ia bukan penduduk asli desa tersebut, baik ia orang du-sun dalam arti sesungguhnya, atau orang desa, atau orang kota lain.
Arti Dari Penjualan, ‘Orang Kota Menjualkan Barang Kepada Orang Dusun’
Yang dimaksudkan dengan istilah orang kota menjadi calo bagi orang dusun menurut mayoritas ulama adalah orang kota menjadi calo pedagang orang dusun. Ia mengatakan kepada peda-gang dusun itu, “Kamu jangan menjual barang sendiri, saya lebih tahu tentang masalah jual beli ini.” Akhirnya si pedagang bergan-tung kepadanya, menjual barangnya dan pada akhirnya ia mema-sarkan barang dengan harga tinggi. Kalau si calo membiarkannya berjual-beli sendiri, pasti ia bisa menjual dengan harga lebih mu-rah kepada orang lain.
Ada juga yang berpendapat bahwa arti terminologi itu ada-lah: Orang kota yang menjual barang kepada orang dusun karena mencari keuntungan banyak (karena orang dusun tidak mengenal harga) sehingga membahayakan orang-orang kota itu. Namun pendapat pertama lebih tepat.
Hukum ‘Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun’
Para ulama sependapat melarang jual beli semacam itu, karena adanya dalil-dalil shahih dan tegas yang melarangnya. Di antara dalil-dalil itu misalnya, Sabda shallallahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah orang kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan saling memberi keun-tungan yang satu kepada yang lain.”

Dalil lain adalah hadits Anas rodhiyallahu ‘anhu: “Kami dilarang untuk melakukan ‘penjualan orang kota bagi orang dusun’, meskipun dia itu saudaranya atau ayahnya sekalipun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu’, bab: Janganlah Orang Kota Membelikan Barang Orang Dusun Sebagai Broker I: VI: 2. Diriwayatkan oleh Muslim pada bab yang sama nomor 1523.
Dalam riwayat: “Meskipun dia itu saudara satu ayah atau saudara satu ibu sekalipun..” Diriwayatkan oleh Muslim dalam bab yang sama, nomor 1523.
Dengan alasan inilah mayoritas mengharamkan ‘orang kota menjualkan barang orang dusun’, sementara kalangan Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim (setingkat di atas makruh dan setingkat di bawah haram), berdasarkan madzhab mereka yang membedakan antara haram dengan makruh tahrim.
Namun pengharaman ini tidaklah menyebabkan jual beli tersebut batal, menurut mayoritas ulama. Karena keharaman itu tidak kembali kepada perjanjian atau akadnya. Karena tidak ada rukun yang hilang. Juga tidak kembali kepada komitmen per-janjian, karena syarat sahnya jual beli yang hilang. Namun keha-raman itu kembali kepada soal lain yang tidak bersifat permanen, seperti mengakibatkan kesulitan atau mengganggu orang lain. Namun kalangan Malikiyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa perbuatan itu membatalkan dan merusak perjanjian. Imam Ahmad pernah ditanya tentang jual beli ini. Beliau menjawab, “Saya membenci itu. Saya akan membatalkan jual beli dengan cara itu.” Al-Mughni IV: 280
Di antara hal yang layak diingat adalah apa yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad tentang pendapat yang menyatakan bahwa jual beli semacam itu adalah sah, bahkan tidak makruh. Beliau memahami hadits-hadits yang melarang jual beli itu bahwa semua hadits tersebut adalah di awal-awal Islam, karena pada waktu itu kehidupan ekonomi mereka amat terjepit.
Alasan Dilarangnya Penjualan ‘Orang Kota Bagi Orang Dusun’
Alasan dilarangnya jual beli ini menurut mayoritas ulama adalah karena jual beli ini berbahaya bagi para penduduk kota, dan dapat menyulitkan orang banyak. Karena kalau orang dusun itu dibiarkan saja menjual barangnya, tentu masyarakat akan bisa membelinya dengan harga murah, dan mereka juga akan merasa lapang. Adapun kalau orang kota itu menangani penjualan barang itu, dan dia hanya mau menjual dengan harga yang dipatok untuk kota tersebut, tentulah masyarakat akan merasa kesulitan.
Alasan dilarangnya jual beli ini menurut penafsiran lain adalah sisi lain yang dapat membahayakan para penduduk kota, di samping barang yang tidak bisa dibeli dengan murah, yakni langkanya barang kebutuhan. Karena terkadang para penduduk kota mengalami paceklik, mereka membutuhkan makan untuk mereka dan binatang-binatang ternak mereka. Sementara si orang kota hanya mau menjual barang-barangnya kepada penduduk dusun itu saja, dengan harapan besar akan mendapatkan keun-tungan lebih banyak.
Syarat-syarat Dilarangnya ‘orang kota menjualkan barang orang dusun’
Dilarangnya penjualan orang kota bagi orang dusun itu memiliki beberapa syarat. Kami singgung secara ringkas berikut ini:
Adanya kebutuhan masyarakat umum kepada barang yang ditawarkan pedagang dusun tersebut. Adapun barang yang jarang sekali dibutuhkan oleh masyarakat umum, tidaklah termasuk keumuman larangan dalam hadits.
Ketidaktahuan pedagang dusun tadi akan harga sesungguh-nya, karena kalau tidak, tentu larangan tadi tidak ada gunanya. Karena tidak ada bedanya antara si orang dusun menjualnya sen-diri, atau diurus penjualannya oleh orang kota.
Keinginan si pedagang dusun untuk menjual barangnya se-cara langsung dengan harga hari itu. Karena kalau bertujuan hendak menjualnya secara bertahap, lalu si orang kota yang mengurus penjualannya, tidak menjadi masalah. Karena pada saat itu jual beli tersebut tidak lagi membahayakan. Dan si pemilik barang juga tidak berhak lagi melarangnya mengurus dagangannya.
Meningkatnya harga barang dagangan secara bertahap dari harga jual pada saat pertama. Karena peningkatan harga itulah yang diinginkan oleh pedagang dusun dari bantuan si orang kota, sehingga mengakibatkan kesulitan masyarakat.
Hendaknya si pedagang dusun mengambil barang-barang itu untuk dijual. Kalau ia mengambilnya untuk simpanan atau untuk dikonsumsinya sendiri, lalu datang orang kota itu mendo-rong untuk menjualnya, maka ini justru memberi kelapangan, bukan menyulitkan.
Para ulama berbeda pendapat tentang saran pendapat orang kota kepada pedagang dusun untuk tidak melakukan langsung proses penjualan tersebut. Sebagian ulama membolehkan dan se-bagian lain melarang.
7. Menjual Anjing
Jual beli anjing bukanlah bisnis yang Islami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Mas’ud -rodhiyallahu ‘anhu- telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu’, bab: Hasil Menjual Anjing, nomor 2237. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat, bab: diharamkannya hasil menjual anjing, nomor 1567.
Dalam hadits Juhaifah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil menjual darah, anjing dan hasil usaha budak wanita..” HR. al-Bukhari
Dengan alasan ini, kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual anjing, anjing apapun juga, mes-kipun anjing yang sudah dilatih berburu. Sementara kalangan Malikiyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara, se-perti anjing buru, dan anjing penjaga, dengan anjing-anjing lain. Kelompok pertama mereka membolehkan untuk dijual, sementara selain itu tidak boleh, karena hadits:
“Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i).
8. Berdagang Alat-alat Musik dan Hiburan
Sudah jelas, bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu, tentu Allah juga mengharamkan menjualnya dan memperdagangkannya. Dengan alasan itu, mayoritas ulama mengharamkan berjualan alat-alat musik dan hiburan yang diharamkan, kecuali yang boleh digunakan (duff/rebana). Bahkan mereka secara tegas menyatakan bahwa jual beli barang-barang semacam itu tidak sah.
Sengaja diberi tambahan kriteria ‘yang diharamkan’, agar tidak termasuk di antaranya catur misalnya, bagi mereka yang menghalalkan. Dan agar tidak termasuk di antaranya rebana, karena boleh digunakan di saat-saat gembira dan sejenisnya. Al-Bukhari menyebutkan hadits ini dalam Shahihnya pada bab: Menabuh Rebana dalam Pernikahan dan Pesta Pernikahan. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, dalam kitab an-Nikah, bab: Menabuh Rebana dalam Pernikahan dan Pesta Pernikahan, nomor 5147.
Dalam bab itu Imam al-Bukhari menukil hadits Rubai’ binti Mu’awwidz bin Afra bahwa ia menceritakan, “Suatu hari Nabi a datang, dan menemuiku pada hari pernikahanku. Beliau duduk di atas hamparan milikku seperti Anda duduk di sisiku. Tiba-tiba datang budak-budak wanita kecil milik kami pula sambil mena-buh rebana dan bernyanyi meratapi kematian bapak-bapak kami di perang Badar. Salah seorang di antaranya berkata, ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui kejadian di hari esok.’ Beliau berkata, ‘Jangan ucapkan kalimat itu. Namun silahkan ulangi kembali ucapan sebelumnya.”
Dengan alasan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat akan haramnya menjual semua alat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan. Karena semua alat-alat itu dibuat untuk per-buatan maksiat, sehingga tidak lagi bernilai dan transaksi penju-alannya batal, seperti halnya minuman keras. Karena salah satu dari syarat objek transaksi adalah harus bisa dimanfaatkan sesuai syariat, meskipun sedikit kegunaannya, seperti tanah misalnya. Diharamkannya alat-alat tersebut menggugurkan fasilitasnya yang sesuai dengan syariat, sehingga menjualnya juga haram.
9. Berjualan Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at
Di antara fenomena yang tidak lepas dari pandangan mata di tengah masyarakat barat adalah tersebarnya satu bentuk fenomena, yakni jual beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at. Padahal sudah ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dalam Kitabulla, yakni dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada meng-ingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui…” (Al-Jum’ah: 9).
Para ulama tidak berbeda pendapat sedikitpun, bahwa jual beli pada saat itu diharamkan, berdasarkan dalil ini.
Adzan yang dimaksud di sini adalah adzan yang dikumandangkan ketika khatib sudah naik mimbar (setelah khatib mengucapkan salam. Red) . Yakni adzan yang biasa dilakukan pada zaman Nabi. Itulah arti dari adzan atau panggilan bila disebutkan secara lepas. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dari as-Saib bin Yazid bahwa ia men-ceritakan, “Dahulu adzan Jum’at dikumandangkan ketika khatib sudah duduk di atas mimbar, yakni pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Di masa Utsman, karena umat Islam sudah terlalu banyak, maka ditambah satu adzan lagi yang dikumandangkan di az-Zura.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab ash-Shalah, bab: Adzan di Hari Jum’at, nomor 912.
Dari sisi lain, sesungguhnya jual beli pada saat adzan diku-mandangkan ini menyebabkan seseorang melalaikan shalat, akhir-nya meninggalkan sebagiannya atau bahkan seluruhnya.
Paremeter Haramnya Jual Beli Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at
Diharamkannya jual beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at tentu saja dengan beberapa paremeter tertentu. Di anta-ranya:
- Orang yang melakukan perjanjian jual beli harus orang yang tidak wajib shalat Jum’at. Maka Jual beli boleh dilakukan oleh kaum wanita, anak-anak kecil dan orang sakit. Karena Allah melarang jual beli dengan alasan memerintahkan mereka agar segera berangkat ke masjid. Orang-orang yang tidak terkena perintah itu, tentu saja tidak dilarang untuk tetap melakukan jual beli. Dan juga karena diharamkannya jual beli itu karena alasan menyibukkan diri hingga lalai shalat Jum’at. Dan alasan itu tidak mengenai diri mereka.
- Tidak dalam kondisi mendesak untuk melakukan jual beli. Seperti orang yang dalam kondisi darurat harus membeli ma-kanan, menjual kafan untuk orang mati yang dikhawatirkan akan membusuk kalau ditangguhkan. Kalau tidak dalam kondisi demikian, jual beli diharamkan pada saat itu.
- Orang yang sibuk bertransaksi tersebut sudah mengetahui larangan tersebut. Karena hukum tidak bisa diberlakukan kepada seseorang yang belum mengetahuinya.
- Jual beli itu berlangsung ketika mulai berkumandangnya adzan khutbah, atau adzan kedua.
Menganalogikan Semua Jenis Perjanjian Jual Beli dengan Jual Beli dalam Pengharaman
Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan terhadap jual beli pada saat adzan Jum’at berkumandang juga berlaku pada semua jenis usaha lain seperti sewa menyewa, kerjasama dagang, syuf’ah dan sejenisnya yang bisa melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at. Bahkan mereka menegaskan larangan terhadap segala hal yang menyebabkan kelalaian terhadap shalat Jum’at, seperti me-nenun selendang, makan, menjahit, memproduksi barang, bahkan juga ibadah-ibadah lain yang menyibukkan.
Pendapat resmi dari madzhab Hambali bahwa larangan itu khusus untuk jual beli saja, karena disebutkannya larangan ter-hadap perjanjian jual beli tersebut saja. Dan bentuk kegiatan bisnis lain tidak bisa disamakan karena jarang terjadi, sehingga apabila dibolehkan tidak akan menyebabkan orang meninggalkan shalat Jum’at. Dengan demikian, tidak bisa dianalogikan dengan per-janjian jual beli.
Hukum Orang yang Wajib Shalat Jum’at Menjual Barang Kepada Orang
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at, dikecualikan dari larangan untuk berjual-beli ketika adzan Jum’at dikumandangkan. Kalau ada dua orang yang sama-sama tidak berkewajiban shalat Jum’at melakukan perjanjian jual beli, tidak ada masalah sama sekali.
Namun kalau salah seorang di antaranya wajib shalat Jum’at sementara yang lain tidak, maka menurut pendapat mayoritas ulama keduanya berdosa. Orang yang wajib shalat Jum’at berdosa karena ia telah melakukan perbuatan terlarang. Sementara yang tidak wajib shalat Jum’at berdosa karena ia menolong orang lain berbuat dosa.
 JUAL BELI YANG DIPERDEBATKAN
Pertama : Penjualan kredit dengan tambahan harga Jual beli dalam fiqih Islam terkadang dilakukan dengan pembayaran kontan –dari tangan ke tangan–, dan terkadang dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda, hutang de-ngan hutang. Terkadang salah satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda. Kalau pembayaran kontan dan penyerahan barang tertunda, maka itu disebut jugal beli as-Salm. Kalau penyerahan barangnya langsung dan pembayarannya tertunda, itu disebut jual beli nasi’ah. Pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus. Terkadang di-bayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu tertentu. Itu disebut jual beli taqsit atau kredit. Kredit di sini merupakan cara memberikan pembayaran barang dagangan.Jual beli kredit itu hanyalah salah satu bentuk dari jual beli nasi’ah. Syariat yang suci membolehkan jual beli nasiah itu dengan pembayaran tertunda, demikian juga dengan jual beli as-Salm dengan penyerahan barang tertunda, sesuai dengan syarat-syarat yang akan dijelaskan pada kesempatan lain.
Disyariatkannya Jual Beli Nasi’ah (berhutang terlebih dahulu)
Para ulama telah bersepakat tentang dibolehkannya jual beli nasiah karena banyaknya hadits-hadits yang tegas yang diriwa-yatkan tentang jual beli itu. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta para perawi lainnya bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran ter-tunda. Beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu’, bab: Nabi Membeli dengan Pembayaran Tertunda, nomor 2068, 2069, dan bab: Membeli Makan dengan Pembayaran Tertunda 2200. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musqat, bab: Penggadaian dan Pembolehannya, nomor 1063.)
Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga dibolehkan jual beli secara kredit. Karena jual beli kredit tidak lain adalah jual beli dengan pembayaran tertunda, hanya pembayarannya yang dicicil selama beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu. Tidak ada perbedaan dalam hukum syariat terhadap jual beli dengan pem-bayaran tertunda dalam satu waktu atau pada beberapa waktu berbeda.
Hukum Jual Beli Kredit Dengan Tambahan Harga Karena Faktor Waktu Penundaan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada asalnya jual beli kredit telah disepakati kehalalannya. Akan tetapi terkadang ter-jadi hal yang kontroversial dalam jual beli semacam ini, yakni bertambahnya harga dengan ganti tenggang waktu. Misalnya har-ga suatu barang bila dibeli secara kontan adalah seratus juneih. Lalu bila dibayar dengan kredit, harganya menjadi seratus lima puluh juneih. Pendapat yang benar dari para ulama adalah diboleh-kannya bentuk jual beli kredit semacam ini, berdasarkan alasan-alasan berikut:
Keumuman dalil yang menetapkan dibolehkannya jual beli semacam ini. Penjualan kredit hanyalah salah satu dari jenis jual beli yang disyariatkan tersebut (jual beli nasi’ah). Para ulama yang melarangnya tidak memberikan alasan yang mengalihkan hukum jual beli ini menjadi haram.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282).
Ayat tersebut secara umum juga meliputi penjualan barang dengan pembayaran tertunda, yakni jual beli nasi’ah. Ayat ini juga meliputi hukum menjual barang yang berada dalam kepemilikian namun dengan penyerahan tertunda, yakni jual beli as-Salm. Karena dalam jual beli as-Salm juga bisa dikurangi harga karena penyerahan barang yang tertunda, maka dalam jual beli nasi’ah juga boleh dilebihkan harganya karena pembayarannya yang tertunda.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Emas boleh dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, asal sama ukuran atau takarannya, diserahterimakan dan dibayar secara langsung. Kalau jenis yang satu dijual dengan jenis yang lain, silahkan kalian menjual sekehendak kalian, namun harus tetap dengan kontan.” (Diriwayatkan oleh Muslim kitab al-Musaqat, bab: Money Changer, dan Barter Emas dengan Perak Secara Kontan, nomor 158)
Dalam hadits ini ada indikasi terhadap beberapa hal berikut:
Apabila emas dijual dengan emas, gandum dijual dengan gandum, disyaratkan harus ada kesamaan ukuran atau takaran dan langsung diserahterimakan (asal sama ukuran atau takaran-nya, diserahterimakan dan dibayar secara langsung). Maka diha-ramkan adanya kelebihan berat atau takaran salah satu barang yang ditukar, dan juga diharamkan pembayaran tertunda.
Namun kalau emas ditukar dengan perak, atau kurma de-ngan jewawut, hanya disyaratkan serahterima dan pembayaran langsung saja, namun tidak disyaratkan harus sama ukuran mau-pun takarannya. Dibolehkan ketidaksamaan ukuran dan takaran, karena perbedaan jenis, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahan barang dan pembayarannya.
Apabila emas ditukar atau dijual dengan gandum, atau pe-rak dengan kurma, boleh tidak sama ukuran/takarannya dan boleh juga ditangguhkan penyerahan kompensasi dan pemba-yarannya. Karena dibolehkannya kelebihan salah satu barang tersebut oleh perbedaan jenis, juga disebabkan oleh perbedaan waktu.
Penjualan emas dengan emas ada kesamaan, sehingga tidak bisa diberlakukan jual beli nasiah,yakni dengan sistem penye-rahan barang tertunda, karena penundaan itu bisa menghilangkan kesamaan tersebut. Namun syarat itu tidak berlaku pada pen-jualan emas dengan gandum misalnya. Oleh sebab itu boleh ada kelebihan salah satu barang yang dipertukarkan, baik karena perbedaan kualitas, bisa juga karena perbedaan waktu.
Kacaunya Alasan-alasan Mereka yang Melarang Jual Beli Ini
Dalam mengharamkan jual beli ini (kredit dengan harga lebih besar) mereka beralasan bahwa tambahan tersebut sebagai padanan dari pertambahan waktu. Mengambil keuntungan tam-bahan dari pertambahan waktu termasuk riba.
Alasan ini bisa dibantah, bahwa tambahan tersebut tidak bisa digolongkan sebagai riba yang diharamkan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bahwasanya semua komoditi riba fadhal yang enam bila dijual dengan yang sejenis, maka diharam-kan sebagai riba karena kelebihan salah satu barang transaksinya dan karena penundaan serah terima (emas dengan emas atau dolar dengan dolar). Dan kalau sesuatu itu dijual atau dibarter dengan jenis lain namun memiliki kesamaan ‘illah/ alasan hukum (emas dengan perak, dolar dengan juneih), boleh dilebihkan salah satunya, namun tidak boleh dilakukan dan serah terima tertunda. Dan apabila yang dibarter adalah barang dengan yang tidak sejenis dan tidak sama ‘illat-nya (emas dengan gandum atau dolar dengan kurma) boleh dilebihkan salah satunya dan juga dibo-lehkan serah terima tertunda. Yakni dibolehkan perbedaan harga karena perbedaan jenis, dan dibolehkan perbedaan harga karena penangguhan serah terima.
Mereka yang mengharamkan juga beralasan dengan nash-nash umum yang mengharamkan riba, bahwa jual beli ini juga tergolong riba. Namun keumuman nash ini dikonfrontasikan dengan nash-nash umum lain yang menghalalkan jual beli secara kontan dan tertunda pembayaran atau serah terima barangnya. Dan jual beli ini juga termasuk di antaranya.
Mereka juga beralasan dengan riwayat larangan melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli, maka ia harus mengambil keuntungan terendah, bila tidak berarti ia melakukan riba.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud 2461. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 4974. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1231. Diriwayatkan oleh an-Nasai VII: 296. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim II: 45, dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim.)
Namun alasan ini dapat dibantah kalau pun dimisalkan hadits ini shahih, maka dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli itu ditafsirkan sebagai jual beli ‘inah, bukan jual beli dengan pembayaran tertunda semacam ini. Maksudnya (‘inah) adalah membeli barang untuk dibayar tertunda, kemudian mengem-balikan barang itu kepada penjual dan menjualnya dengan harga lebih murah secara kontan. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah jual beli manipulatif sebagai riba tersembunyi dengan cara yang menyamarkannya, di mana barang dagangan hanya dijadikan se-bagai mediator kosong saja, untuk melegalitas peminjaman uang berbunga.
Ada juga yang berpendapat bahwa arti dua transaksi dalam satu jual beli itu adalah terjadinya dua jual beli pada satu barang transaksi. Caranya adalah dengan memberikan pinjaman uang satu dinar untuk membeli satu kilo gandum misalnya dan dibayar tiga bulan kemudian. Bila sudah datang waktu pembayarannya, si penjual itu berkata, “Juallah kepadaku gandum milikmu itu dengan lima ratus kilo dalam jangka enam bulan,” misalnya. Ini adalah jual beli kedua yang masuk dalam jual beli pertama. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah seseorang yang mengatakan, “Kamu jual kepadaku barang ini dengan syarat engkau juga menjual rumahmu kepadaku.” Ini adalah penafsiran Imam asy-Syafi’i. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah bila seseorang berkata, “Saya jual barang ini kepadamu secara kontan dengan harga sepuluh juta, dan dengan harga lima belas juta bila dibayar dalam jangka setahun.” Lalu si pembeli mengambil barang itu tanpa menentukan harga mana dengan jangka waktu yang mana yang dia pilih. Ini adalah penafsiran Malik dan salah satu pendapat asy-Syafi’i. Alasan dilarangnya jual beli ini adalah adanya manipulasi yang muncul dari ketidaktahuan ukuran harga yang sesungguhnya.
Yang perlu diingatkan di sini bahwa apabila pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak dibolehkan bagi penjual untuk memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keter-lambatannya. Namun ia berhak untuk menuntut pembayaran sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu ter-masuk dalam akad kreditnya.
Penjelasan Majelis Ulama Fiqih Tentang Hukum Jual-beli Kredit
Pembolehan jual beli dengan pembayaran tertunda dengan tambahan harga yang telah kami paparkan sebelumnya, demikian juga tidak bolehnya memberikan sanksi denda bila terjadi keter-lambatan, adalah pendapat yang dipilih oleh Majelis Ulama Fiqih yang ikut dalam Organisasi Muktamar Islam. Dalam muktamar-nya yang keenam di Jeddah pada bulan Sya’ban tahun 1410 H. ditetapkan sebagai berikut:
“Dibolehkannya tambahan harga kredit dari harga kontan. Juga dibolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu-waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih, kontan atau kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu-raguan antara kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka jual beli itu tidak sah secara syar’i.
Menurut ajaran syariat, ketika terjadi proses jual beli ini tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga kontan, sehingga ada keterikatan dengan jangka waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan tertentu, atau tergantung dengan jumlah penam-bahan waktu saja.
Kalau pembeli sekaligus orang yang berhutang terlambat membayar cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, tidak boleh memaksa dia membayar tambahan lain dari jumlah hutang-nya, dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk riba yang diharamkan.
Orang yang berhutang padahal mampu membayar tidak boleh dia memperlambat pembayaran hutangnya yang sudah tiba waktu cicilannya. Meski demikian, juga tidak boleh memberi per-syaratan adanya kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keter-lambatan pembayaran.
Menurut syariat dibolehkan seorang penjual meminta pe-nyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya, selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi transaksi.
Penjual tidak boleh menyimpan barang milik pembeli sete-lah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa meminta syarat untuk sementara barang itu digadaikan di tempatnya seba-gai jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya.
Kedua : Jual Beli ‘Inah
‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan mi-salnya: si Fulan melakukan ‘ain, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga penjualan. Jual beli ini disebut‘inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah ‘ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ‘ain (benda) yang dia jual.
Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pem-bayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.
Hukum Jual Beli ‘Inah
Para ulama sependapat bahwa jual beli ‘inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua ke dalamnya.
Namun para ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya. Di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama:Haram.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Di antara dalil-dalil mereka dalam menetapkan keharamannya yaitu:
Riwayat Atha dari Ibnu Umar -rodhiyallahu ‘anhu- bahwa ia menceritakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya). (Diriwayatkan oleh Abu Daud 3456. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi V: 325. Namun dalam sanadnya terdapat Atha al-Khurasani ia perawi yang lemah. Ia meriwayatkan dari Ishaq bin Usaid al-Khurasani, yang juga tidak diketahui identitasnya. Demikian dinyatakan oleh Abu Ahmad dan al-Hakim. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Iyyasy, dari al-A’masy. Dikeluarkan oleh Ahmad (4875 cet. Syakir) Ibnu Iyyasy ini juga lemah, ia menjadikan riwayat ini dari Atha bin Abi Rabbah. Lihat Sunan al-Baihaqi V: 316 dan juga Nashbur Raayah IV: 16 dan juga asy-Syarhul Kabir terhadap al-Muqni’ IV: 54.)

Indikasi hadits terhadap haramnya jual beli ini amat jelas. Karena berjual beli dengan sistem ‘inah merupakan salah satu sebab turunnya bencana. Alasan dengan hadits ini dapat dibantah dari dua sisi:
Sisi pertama: Dari sisi sanad. Karena dalam sanad hadits itu terdapat Ishaq bin Usaid al-Khurasani yang haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam sanad hadits itu juga terdapat Atha al-Khurasani. Ia juga masih diragukan.
Sisi kedua: Dari sisi indikasinya terhadap keharaman jual beli ‘inah. Karena jual beli ‘inah dalam hadits itu diseiringkan dengan berbagai hal lain yang tidak diharamkan, seperti membajak de-ngan sapi dan sibuk bercocok tanam.
Jelas sekali bahwa bantahan ini lemah sekali. Karena hadits ini menggabungkan beberapa hal yang berbeda dalam satu alur pembicaraan, padahal hukum masing-masing dari semua hal tersebut berbeda-beda tergantung dengan niat dan tujuan. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Hasil profesi tukang bekam adalah busuk. Hasil upah seorang dukun adalah busuk. Upah bagi seorang pelacur adalah busuk.( Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat bab: Diharamkannya Menjual Anjing, nomor 1568.)
“Padahal upah kerja seorang pembekam tidaklah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berbekam dan memberikan upah kepada si tukang bekam.” ( Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5151. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2164, dan sanadnya shahih. Lihat Tahdzibus Sunan V: 101)
Diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Abu Ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah radhiyallah ‘anha bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, “Aku pernah menjual budak kepada Zaid seharga delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku membelinya kembali seharga enam ratus dirham kontan.” Aisyah berkata, “Sungguh tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid, bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah, kecuali kalau ia bertaubat!” Wanita itu berkata, “Bagai-mana kalau yang kuambil hanya modalku saja?” Aisyah menjawab, “Allah berfirman:
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (Al-Baqarah: 275).
Indikasi hadits tersebut terhadap keharaman jual beli ter-sebut jelas sekali. Bahkan Aisyah menganggap perbuatan itu dapat membatalkan pahala haji dan jihad, kecuali kalau pelaku-nya bertaubat.
Namun alasan dengan dalil ini juga dapat dibantah dari dua sisi pula:
Pertama: Dari sisi sanad hadits. Istri Abu Ihshaq di sini tidak diketahui identitasnya, dan dia juga belum pernah mendengar hadits dari Aisyah. Namun ia mendengarnya dari istri Abu as-Safar, dan dia lebih tidak dikenal lagi identitasnya.
Kedua: Dari sisi indikasi hadits. Karena mustahil bila Aisyah sampai menetapkan batalnya pahala jihad seorang sahabat besar karena satu perkara yang paling banter beliau hanya bisa dihu-kum sebagai seorang mujtahid yang keliru. Beliau berhak menda-patkan satu pahala, bukan sebaliknya malah divonis telah batal pahala haji dan jihadnya! Bagaimana tidak? Beliau adalah salah seorang yang turut melakukan baiat di bawah pohon ar-Ridhwan. Keridhaan Allah terhadap para pelakunya tercatat dalam ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh umat manusia sepanjang masa?
Kemudian alasan mereka yang lain adalah beberapa riwayat daripada sahabat tentang haramnya jual beli ini.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas y bahwa ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menjual sehelai sutera kepada orang lain seharga seratus dirham. Kemudian ia membelinya kembali seharga lima puluh dirham saja secara kontan. Ibnu Abbas men-jawab, “Itu artinya menjual dirham dengan dirham secara berbu-nga, namun mediatornya adalah sehelai sutera.”
Di antaranya lagi riwayat dari Anas bin Malik ketika ditanya tentang jual beli ‘inah –yakni dengan sutera sebagai mediatornya-, beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah tidak mungkin dikelabui. Itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Apabila seorang sahabat Nabi mengatakan, “Diharamkan oleh Allah dan RasulNya,” demikian juga bila ia mengatakan, “..diperintahkan oleh Allah dan RasulNya,” maka hukumnya seperti hadits marfu’, yakni yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam langsung.
Namun alasan dengan riwayat-riwayat itu juga masih bisa dibantah, yakni bahwa semua riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang menetapkan bolehnya jual beli tersebut. Maka pendapat para sahabat yang melarangnya itu bisa ditafsirkan, bila jual beli itu dilakukan dengan kesepakatan, bukan secara kebetulan.
Pendapat kedua: Boleh. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Abu Yusuf dan azh-Zhahiriyah. Di antara dalil-dalil mereka misalnya:
Keumuman nash atau dalil-dalil tegas tentang halalnya jual beli. Jual beli ‘inah adalah salah satu dari bentuk jual beli. Tidak akan keluar dari asal hukum jual beli, kecuali dengan dalil.
Namun pendapat ini bisa dibantah, bahwa semua dalil-dalil umum tersebut telah dikhususkan oleh berbagai dalil lain yang dijadikan alasan oleh para ulama yang melarangnya.
Beberapa riwayat dari sebagian sahabat.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya bahwa ada seorang lelaki yang pernah menjual pelana kuda namun tidak mengambil langsung bayarannya. Pemilik pelana baru yang mem-beli pelana itu darinya, berencana menjualnya kembali. Orang yang menjual pelana tadi mau membelinya kembali dengan harga lebih murah. Persoalan itu ditanya kepada Ibnu Umar, namun beliau menganggap jual beli itu sah-sah saja. Ibnu Umar berkata, “Bisa jadi kalau ia menjualnya kepada orang lain, ia juga akan menjualnya dengan harga itu, atau bahkan lebih murah lagi.”
Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi bahwa ada seorang lelaki yang menjual unta kepada orang lain (dengan pembayaran ter-tunda), lalu ia berkata, “Berikan kembali kepadaku untamu itu, dan akan kubayar kontan tiga puluh dirham.” Mereka mena-nyakan persoalan itu kepada Syuraih, dan beliau menganggap hal itu tidak menjadi masalah.
Kalau jual beli itu tidak sah, tidak akan dibolehkan oleh Ibnu Umar dan Syuraih!
Alasan dengan hadits ini masih bisa dibantah, bahwa hadits-hadits ini bertentangan dengan berbagai riwayat lain yang justru melarang, sebagian di antaranya telah dipaparkan sebelumnya.
Memilih Pendapat yang Benar
Yang bisa kita simpulkan setelah memaparkan beberapa pendapat tersebut, bahwa yang benar jual beli semacam itu dilarang, untuk menutup jalan menuju riba dan memutus jalan bagi orang-orang yang suka membuat penyamaran terhadap bentuk usaha yang haram, agar tujuan mereka tidak tercapai.
Ketiga: Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni kapan penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yakni me-ngembalikan barangnya, kalau si pembeli mengembalikan uang bayarannya.
Selayang Pandang Sejarah Jual Beli Wafa
Bentuk jual beli ini terjadi pertama kali di Bukhara dan Balkh pada awal abad ke lima hijriyah. Yang menjadi pemicunya adalah karena kebanyakan orang yang berharta tidak mau meminjamkan uangnya secara baik, sementara mereka merasa berat melakukan riba, di sisi lain orang banyak amat membutuhkan harta. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan keluar yang mereka anggap dapat merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.
Manfaat bagi penjual karena bisa mendapatkan uang yang dia inginkan tanpa harus dengan terpaksa menjual barang mati yang bisa jadi dia niatkan secara keras agar tidak keluar dari kepemilikannya.
Manfaat bagi pembeli sehingga dapat mengembangkan har-tanya, jauh dari lingkaran perbuatan riba yang terang-terangan.
Proses Transaksi Jual Beli Wafa
Jelas bahwa transaksi semacam itu mengandung improvisasi berbagai macam hukum jual beli dan berbagai hukum pegadaian.

Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misal-nya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya penggu-naan dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual.
Jual beli itu juga mengandung hukum-hukum pegadaian, se-perti tidak adanya hak pembeli untuk mengkonsumsi barang dagangan atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu juga tidak bisa dipakai untuk syuf’ah, dan biaya pera-watannya atas penjual di samping pembeli juga harus menjaga komitmen untuk mengembalikan barang itu bila si penjual telah mengembalikan uang pembayarannya.
Hukum Wafa
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa ini.
§ Ada di antara ulama yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa me-nempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat. 
§ Di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai pega-daian yang sah, sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku di dalamnya. 
§ Di antara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling mengembalikan. 
§ Ada juga di antara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian. Namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena dibutuhkan.
Yang benar, bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda, sementara fasi-litas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya. Namun sebutan sebagai jual beli pelunasan atau jual beli amanah tidak lepas dari jual beli sepeti itu karena yang dilihat adalah hakikat dan tujuan sesung-guhnya dari jual beli tersebut, bukan bentuk aplikatif dan tam-pilan lahiriahnya saja.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sejenis jual beli yang mereka perlihatkan yang disebut jual beli amanah yang dalam jual beli itu mereka bersepakat bahwa apabila telah dikem-balikan pembayaran si penjual, barang juga dikembalikan, adalah jual beli batil menurut kesepakatan para imam, baik dengan per-syaratan yang disebutkan dalam waktu akad atau melalui kesepa-katan sebelum akad. Itu pendapat yang tepat daripada ulama”.Keempat: Jual Beli dengan Sistem Panjar/Uang MukaPanjar dalam bahasa Arab adalah urbun. Secara bahasa arti-nya adalah yang dijadikan perjanjian dalam jual beli. Diucapkan urbun. Adapun arbun, tidak umum diucapkan oleh orang-orang Arab.
Adapun arti terminologisnya yaitu: Sejumlah uang yang dibayarkan dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si pen-jual. Bila akad itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dima-sukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka men-jadi milik si penjual.
Hukum Panjar/Uang Muka
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum panjar ini.
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa jual beli urbun itu tidak sah. Dalil-dalil yang mereka gunakan di antaranya:
§ Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata, “Rasulullah melarang jual beli dengan sistem urbun.” 
§ Bahwa jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya. 
§ Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar (hibah) dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. 
§ Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui. Kalau disyaratkan harus ada pengembalian ba-rang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan, “Saya punya hak pilih. Kapan mau akan saya kembalikan, namun harus dikembalikan uang bayarannya.”
Dalam hal ini kalangan Hambaliyah berpendapat lain de-mikian juga sebagian ulama lainnya. Mereka menyatakan bahwa jual beli semacam itu boleh. Di antara dalil mereka misalnya: 
§ Diriwayatkan oleh Nafi bin al-Harits pernah membelikan buat Umar sebuah bangunan penjara dari Shafwan bin Umayyah, yakni apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak men-dapatkan uang sekian dan sekian. Al-Atsram berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Apakah Anda berpendapat demikian?’ Beliau bertanya, ‘Apa yang harus kukatakan? Ini Umar y (berpendapat seperti itu)’.” 
§ Lemahnya hadits Amru bin Syu’aib yang menjelaskan dila-rangnya jual beli itu. 
§ Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya. 
§ Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui, karena syarat diboleh-kannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batallah analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
Ketetapan Majelis Fiqih Islam Seputar Masalah PanjarDi antara hal yang patut diingat adalah bahwa Majlis Fiqih Islam pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bahwa ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Na-mun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Perjanjian ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti mem-beli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memi-liki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang tran-saksi di lokasi akad (jual beli as-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang meng-haruskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila pembelian berlanjut. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.Kelima: Jual Beli Istijrar
Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret.
Secara terminologis ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu membayarnya sesudah itu.
Hukum Jual Beli Istijrar
Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda sampai waktu penghitungannya. Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah,sehingga termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang me-netapkan disyariatkannya jual beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang menjadi perdebatan di antara para ulama.
Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena tidak diketahuinya harga pembayaran.
Kalangan Hambaliyah dalam salah satu riwayat dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan. Itulah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Hal itu menurut mereka sama dengan sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah mahar. Jumlah mahar itu dikembalikan dengan standar mahar secara umum. Dan harga barang dalam jual beli ini pun dikem-balikan kepada harga standar. Kemungkinan di antara dalil yang paling jelas yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini adalah karena bentuk jual beli ini sudah demikian populer di berbagai negeri dan belahan dunia, sampai di kalangan mereka yang mela-rangnya sekalipun. Dan tak seorangpun di antara mereka yang berani menyatakan bahwa jual beli itu batal.
Abu Daud menjelaskan dalam al-Masail bab: Membeli Tanpa Mengetahui Harga, “Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang seorang lelaki yang mengirim orang ke tukang sayur dan mengambil kebutuhannya satu demi satu, baru di kemudian hari ia menghitung semua pembeliannya. Beliau menjawab, ‘Saya harap jual beli semacam itu tidak ada apa-apa.’ Beliau ditanya, ‘Apakah saat itu juga disebut sebagai jual beli?’ Beliau menjawab, ‘Tidak’.”
Ibnul Qayyim 5 menyebutkan dalam I’lamul Muwaqqi’in: “Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga diputuskan tanpa perkiraan harga barang sesung-guhnya pada saat transaksi. Bentuk aplikatifnya: Jual beli yang dilakukan dengan rekan bisnis, seperti tukang roti, tukang daging atau penjual minyak samin, atau yang lainnya. Ia mengambil kebutuhannya dari mereka dan menghitung seluruhnya di awal bulan atau awal tahun, lalu membayarnya. Namun sebagian besar ulama melarangnya. Mereka menganggap serah terima barang itu tidak memindahkan kepemilikan. Itu adalah serah terima rusak seperti halnya serah terima barang rampasan. Karena serah terima itu dilakukan dengan transaksi yang rusak. Namun mereka semua juga melakukan jual beli tersebut, selain orang yang bersikap ekstrim. Karena mereka tidak menemukan jalan lain, meskipun mereka menyebutkan fatwa bahwa jual beli semacam itu batil, dan bahwa barang itu masih dalam kepemilikan oleh si penjual. Ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu, dalam arti mereka tidak mungkin menawar setiap kali ia membutuhkan sesuatu yang diambil, murah atau mahal. Kalau serah terima barang harus dilakukan dengan pelafalan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan pelafalan ijab dan qabul (serah terima).
Kemudian Ibnul Qayyim 5 melanjutkan:
“Pendapat kedua: –dan inilah pendapat yang tepat– yakni yang selalu diamalkan oleh umat Islam di segala masa dan di segala tempat, yakni dibolehkannya jual beli itu sampai batas har-ga termahal. Itulah pendapat yang dinyatakan oleh Ahmad dan dipilih oleh guru kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 5. Aku pernah mendengarnya berkata, “Itu lebih menyenangkan hati pembeli daripada tawar menawar. Dalam hal ini saya juga memi-liki panutan. Saya hanya memilih pendapat yang telah diambil oleh ulama selain saya.” Kemudian beliau melanjutkan, “Orang-orang yang melarang jual beli semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut. Bahkan mereka turut melakukan-nya juga. Sementara dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah bahkan juga ijma’ kaum muslimin, atau sekedar pendapat seorang sahabat maupun qiyas yang sah, tidak ada yang menjelaskan keharamannya. Di sisi lain umat Islam telah bersepakat mengang-gap sah nikah tanpa mengetahui jumlah mahar dengan memberi-kan mahar standar. Bahkan kebanyakan ulama juga membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan pembayaran standar, seperti me-nyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan, tukang membersihkan dan dapur. Namun setidaknya jual beli tersebut dengan meng-gunakan harga standar. Jual beli semacam itu dibolehkan, sebagai-mana halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli ini ataupun jual beli lainnya. Inilah qiyas yang tepat, yang hanya dengan analogi inilah kepentingan umat dapat ditegakkan.
 KESIMPULAN
Jual Beli dan Hukum-hukumnya
Jual beli adalah menukar harta dengan harta. Menurut ter-minologi ilmu fiqih, artinya: Bentuk usaha penukaran terhadap yang bukan fasilitas atau kenikmatan. Asal dari jual beli adalah mubah, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya.
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak macam, melalui su-dut pandang yang berbeda-beda.Dilihat dari jenis barang yang dijadikan perjanjian, jual beli terbagi menjadi beberapa macam: Jual beli bebas, yakni menukar barang dengan uang. Money Changer, yakni menukar uang de-ngan uang. Serta barter, yakni menukar barang dengan barang.
Dilihat dari sisi cara penetapan harga, jual beli dibagi menja-di beberapa macam pula: Pertama, jual beli tawar menawar. Yakni jual beli, yang penjualnya tidak memberitahu harga modal ba-rangnya. Kedua, jual beli amanah. Yakni jual beli, yang penjual-nya menyebutkan harga modal barangnya yang dengan cara itu harga bisa ditetapkan. Ketiga, jual beli lelang. Yakni menjual barang kepada yang memberikan harga tertinggi.
Dilihat dari cara pembayaran, jual beli terbagi menjadi bebe-rapa macam pula: Jual beli dengan penyerahan barang langsung dan pembayaran kontan, disebut jual beli kontan. Lalu jual beli dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda, disebut jual beli hutang dengan hutang. Jual beli dengan pembayaran tertunda, disebut jual beli nasi’ah. Serta jual beli dengan penye-rahan barang tertunda, disebut jual beli as-Salm.
Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang harus selu-ruhnya dipenuhi agar akad jual belinya menjadi sah. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat, yakni kompetensi dalam melakukan aktivitas. Ada yang berkaitan dengan barang yang dijual belikan, yakni mengetahui jenis barang jualan dan mengetahui harganya, serta keberadaan barang tersebut yang harus suci, bermanfaat dan bisa diserah-terimakan, serta merupakan milik si penjual ketika terjadi akad, kemudian tidak ada pembatasan waktu.
Jual beli borongan juga diperbolehkan, yakni jual beli barang yang biasa ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun sesuai dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Mali-kiyah.
Namun menjual komoditi riba fadhal (enam jenis) dengan yang sejenisnya dengan cara borongan tidak diperbolehkan, ka-rena adanya syarat kesamaan ukuran atau takaran dalam barter barang komoditi riba fadhal. Sementara kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal itu adalah: Ketidaktahuan akan kesamaan sama hukumnya dengan mengetahui ketidaksamaan.
Sebab-sebab dilarangnya jual beli ada dua macam: sebab-sebab perjanjiannya dan yang bukan dari perjanjiannya.
Sebab-sebab karena perjanjian di antaranya ada yang ber-kaitan dengan substansi perjanjiannya, seperti tidak terpenuhinya syarat adanya barang yang dijual belikan atau adanya nilai barang tersebut, atau hak kepemilikan penjual terhadap barang itu. Ada juga yang berkaitan dengan komitmen akadnya, karena mengan-dung riba atau manipulasi.
Sementara sebab-sebab yang bukan dari akad jual beli yang dilakukan di antaranya adalah kembali kepada bentuk memper-sulit orang lain, mengganggu atau melakukan penipuan.

Adapun sebab-sebab kerusakan akad jual beli ini ada empat: Diharamkannya barang yang diperjualbelikan, riba, manipulasi dan syarat-syarat yang rusak yang menggiring kepada perbuatan riba, manipulasi atau bahkan kedua-duanya.
Jual Beli yang Diharamkan
Menjual Tanggungan dengan Tanggungan
Tidak dibolehkan menjual tanggungan dengan tanggungan, yakni hutang dengan hutang. Bentuk aplikatifnya ada beberapa macam:
§ Menjual pembayaran tertunda dengan pembayaran tertunda. Yakni aplikasi dari satu jenis jual beli “Tangguhkan saja pemba-yaran hutangku kepadamu, nanti akan kutambahkan.” Dan ini adalah bentuk riba yang paling jelas. 
§ Menjual pembayaran tertunda dengan barang dagangan tertentu yang juga tertunda penyerahannya. Aplikasinya adalah bahwa seseorang menjual kepada orang yang berhutang kepada-nya sebuah barang tertentu yang belum diserahkan dalam sebuah ikatan perjanjian jual beli. Jual beli semacam ini tidak menjadi masalah, karena mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta kepada Jabir, lalu Jabir memberi syarat untuk menyerahkan untanya itu di kota Madinah, dan penyerahan bayarannya juga di kota Madinah. 
§ Menjual pembayaran tertunda dengan barang yang dijelas-kan kriterianya namun juga diserahkan secara tertunda dalam sebuah akad jual beli. Bentuk aplikasinya, bahwa seseorang mem-beri hutang kepada orang lain. Lalu ia membeli barang dari orang yang berhutang kepadanya itu, yang dijelaskan kriterianya namun diserahkan secara tertunda. Apabila orang yang berhutang itu ingin disegerakan pelunasan hutangnya agar bisa menjadi uang muka untuk membeli barangnya, tidak apa-apa. Tetapi kalau tidak, jual beli tidak berlaku karena tidak terpenuhinya syarat didahulukannya pembayaran harga modal. 
§ Menjual barang yang disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda, dengan barang yang juga disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda juga. Kalau dilakukan seperti jual beli as-Salm maka itu tidak disyariatkan, karena tidak terpenuhinya syarat pembayaran di muka harga modal. Namun kalau dalam bentuk istishna’, tidak menjadi masalah, menurut para ulama yang menja-dikan pemesanan itu sebagai bentuk perjanjian jual beli tersendiri.
Jual Beli dengan PersyaratanTidak boleh jual beli dengan syarat. Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan aplikasi bentuk jual beli ini.Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa jual beli bersyarat ini adalah jual beli dengan syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad jual beli. Seperti syarat agar tidak menjual lagi barangnya atau tidak menggunakannya. Atau yang menyebabkan rusaknya harga, seperti syarat peminjaman dari salah satu pihak yang terlibat.Sementara kalangan Hambaliyah memahami jual beli ber-syarat itu sebagai jual beli yang bertentangan dengan akad –telah dicontohkan sebelumnya– dan bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat. Seperti mempersyaratkan adanya bentuk usaha lain, baik itu jual beli lain atau peminjaman, karena ada larangan terhadap dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli. Atau persyaratan yang membuat jual beli tergantung, seperti menga-takan: “Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sementara kalangan Hanafiyah memahami jual bersyarat sebagai jual beli yang menetapkan syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut namun bermanfaat bagi salah satu pihak yang terlibat. Seperti menjual rumah dengan syarat untuk dibangun masjid di atasnya. Atau bermanfaat bagi objek perjanjian, seperti menjual seorang budak wanita dengan syarat memerdekakannya.
Syarat manfaat yang dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah di atas masih harus diteliti lagi, berdasarkan hadits Jabir yang men-jual untanya kepada Nabi lalu memberikan persyaratan untuk memanfaatkannya hingga sampai ke kota Madinah.
Dua Perjanjian dalam Satu Transaksi Jual Beli
Tidak boleh melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli, namun masih diperdebatkan bentuk aplikasinya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
Jual beli dengan dua harga; harga kontan dengan harga kredit yang lebih mahal. Larangan terhadap jual beli ini masih perlu diselidiki. Bahkan larangan itu tertolak oleh berbagai dalil umum dan juga ketetapan berbagai Majelis Ulama.
Jual beli ‘inah. Yakni menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah dari harga pertama.
Mensyaratkan Transaksi Lain Dalam Perjanjian Jual Beli
Menjual barang dengan penyerahan tertunda. Bila telah datang waktu penyerahan barang, dijual lagi barang itu secara tertunda pula dengan harga lebih mahal. Dalam kondisi demikian, ia harus mengambil harga terendah, yakni harga pertama.
Menjual dalam Proses Transaksi dengan Orang Lain dan Menawar Barang yang Masih Ditawar Orang Lain
Yakni apabila itu dilakukan sebelum selesainya transaksi se-belumnya dan tanpa izin dari penjual pertama. Dan dalam masa-lah tawar menawar yang dilarang ini, dikecualikan yang terjadi dalam jual beli pelelangan, karena ada nash yang membo-lehkannya.
Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun’
Orang kota tidak boleh menjualkan barang orang dusun, dalam arti menjadi brokernya/calo, karena dapat membahayakan para penduduk kota dan menyulitkan mereka.
Dilarangnya orang kota menjualkan barang orang dusun ini tentu saja ada syarat-syaratnya: Kebutuhan umumnya masyarakat kepada barang transaksi yang ditawarkan oleh orang dusun tersebut. Ketidaktahuan pedagang dusun itu akan harga barang. Niat pedagang dusun itu untuk menjual barangnya secara lang-sung dengan harga sekarang, meningkatnya harga barang ter-sebut secara bertahap dari harga wajar, dan keberadaan pedagang dusun itu yang mengambil barang untuk dijual, bukan untuk disimpan sendiri.

Menjual Anjing
Tidak boleh menjual anjing berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarangnya. Masih diperselisihkan anjing yang diizinkan seperti anjing penjaga kebun atau anjing buru. Kalangan Malikiyah membolehkannya, namun kalangan madzhab lain melarangnya.
Menjual Alat-alat Musik dan Hiburan
Mayoritas ahli fiqih mengharamkan menjual alat-alat musik dan alat-alat hiburan yang diharamkan. Namun bila ada dalil yang memberi keringanan pada jenis alat tertentu seperti rebana, tidak apa-apa.
Jual Beli Saat Adzan Jum’at Berkumandang
Diharamkan jual beli saat adzan Jum’at berkumandang karena ada dalil yang secara tegas melarangnya. Adzan yang dimaksud di sini adalah adzan ketika khatib berada di atas mimbar. Tran-saksi usaha selain jual beli bisa diqiyaskan dengannya menurut mayoritas ulama. Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, hendaknya ia sudah mengetahui larangan itu serta tidak dalam kondisi darurat untuk melakukannya.
Kalau ada dua orang yang tidak wajib shalat Jum’at mela-kukan transaksi saat adzan berkumandang maka ini tidak apa-apa. Namun kalau salah satunya wajib shalat Jum’at, maka kedua-nya berdosa. Yang satu karena telah melakukan perbuatan terla-rang, sementara yang lain karena menolong orang lain berbuat dosa.
Beberapa Jual Beli yang Masih Diperdebatkan
Penjualan Kredit dengan Harga Lebih Mahal
Dibolehkan memberikan tambahan harga pada harga ter-tunda dari harga kontan, menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat para ulama yang ada. Namun jual beli itu hanya sah bila kedua pihak menegaskan mana di antara bentuk penjualan yang dipilih.
Jual Beli ‘Inah
Yakni sejenis jual beli manipulatif agar pinjaman uang diba-yar dengan lebih banyak. Jual beli semacam ini tidak disyariatkan menurut mayoritas ulama demi mencegah terjadinya riba. Namun Imam asy-Syafi’i membolehkannya kalau itu terjadi tanpa dise-pakati sebelumnya.
Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Jual beli ini tidak dibolehkan menurut pendapat para ulama yang paling benar. Karena tujuan sebenarnya dari jual beli ini adalah riba. Yakni dengan cara mem-berikan uang untuk dibayar secara tertunda, dan fasilitas barang itu dijadikan sebagai keuntungan alias bunganya.
Jual Beli Berpanjar
Yakni membeli barang dengan membayarkan sejumlah uang muka kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Namun bila tidak jadi, uang itu menjadi milik penjual.
Jual beli semacam ini boleh menurut pendapat para ulama yang paling benar, kalau diberi batasan waktu menunggu secara tegas dan uang itu akan menjadi bagian dari harga bila jual beli telah dilaksanakan, serta menjadi hak penjual kalau si pembeli tidak jadi membeli barangnya.
Jual Beli Istijrar
Yakni mengambil kebutuhan dari penjual sedikit demi sedikit, kemudian baru selang beberapa waktu membayarnya. Jual beli ini tidak apa-apa menurut pendapat ulama yang paling benar. Bahkan bisa jadi akan lebih menyenangkan pembeli dari-pada jual beli dengan tawar menawar.
Sumber Artikel: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=indexekonomi
Ads by Google
Entri ini dituliskan pada 28 Januari, 2008 pada 2:23 am dan disimpan dalam Tak Berkategori. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri. 
.com.

0 komentar: